Wednesday, March 2, 2016

Tentang Kenyamanan dan Kafe Outdoor di Senja itu.


Aku juga heran mengapa akhirnya aku mengajak orang seperti Phillip keluar untuk sekedar menikmati senja di kafe outdoor yang tak sengaja kita temukan, menyesap bau keringat para pekerja kantoran yang berlalu lalang menyambut kebebasan mereka di tengah-tengah kemacetan yang membahana. Alasanku sederhana, aku bosan. Alasannya pun tak kalah sederhana, dia butuh teman bicara, dia sudah hampir mati karena tidak ada interaksi di ruang apartemennya yang sudah sesak dengan ide dan idealisme-nya. 

"Menurutmu, bagaimana seseorang harus memperlakukan zona nyamannya?" Aku menghirup chamomile sambil memejamkan mataku sejenak, lalu menghela nafas berat. Orang bilang, chamomile bisa meruapkan efek yang menenangkan, tapi kepalaku juga tak kalah penuh dengan idealisme yang ingin segera memberontak dan memburai menjadi ketakutan.

"Memperlakukan?" Alis Phillip yang tebal itu mengernyit, "Zona nyaman itu sama sekali tidak eksis. Zona nyaman itu hanya akal-akalan yang dibuat oleh diri sendiri, seperti membangun jeruji dan menjebloskan diri sendiri ke dalamnya," Phillip terhenti sejenak dengan mata yang menunda berkedip, "bahaya juga, ya?" lalu ia melirikku sambil tersenyum kecut. Senyum yang tidak totalitas, tidak seperti senyum-senyum miliknya yang biasanya boros.

Aku menggeleng. Berbicara dengan Philip seperti berhadapan dengan tembok polos dimana aku tidak akan mengerti apa-apa, tapi kadang setelah sekian lama menatap tembok polos akan muncul 'penemuan' yang tak disangka-sangka. Tapi kali ini, aku belum mendapat pencerahan apa-apa. Phillip masih saja penuh dengan tanda tanya dalam kata-katanya, atau mungkin hanya aku yang terlalu bodoh. "Jadi, zona nyaman itu tidak baik?" tanyaku, ini seperti anak SD yang membeda-bedakan baik dan buruk. Bila baik, maka hendaknya diikuti. Bila buruk, maka hendaknya dihindari. Nyatanya, dunia ini tidak sesederhana baik atau buruk. Demikian juga dalam hal membuat keputusan. 

"Saya sama sekali tidak bilang begitu. Bagi seseorang yang ingin hidup aman dan tenang dari ancaman dunia luar, penjara tentu saja tempat paling membahagiakan, bukan begitu?" Phillip mengerling, ia tahu bahwa aku tahu. Sudah tak ada gunanya menggunakan berbagai metafora untuk menuju topik ini. Topik yang melelahkan: mengenai rasa bersalah.

"Belakangan saya sadar, semakin saya mencari-cari cara untuk menenangkan diri, entah itu tidur lebih panjang, mengulur-ulur waktu, menonton lebih banyak film, pergi party atau... sekedar minum teh seperti ini... semakin saya jauh dari diri saya sendiri. And it's torturing." Suaraku pelan, sedikit bergetar, aku butuh pelukan.

"Mungkin kamu tidak menyediakan cukup waktu untuk berkomunikasi dengan dirimu yang sebenarnya, lalu larut terlampau jauh dalam pemikiran-pemikiran aneh. Like always, you." Phillip tersenyum simpul.

Aku menunduk sambil mengaduk-aduk teh itu lagi, sudah dingin dan gula pasirnya juga sudah larut entah ke mana, kuhela nafas sambil menjawab, "Ya, aku mengaduk diriku sendiri dalam kebingungan, sampai-sampai bingung di mana letak semua kebingungan ini. Complicated, ya?" 

Phillip mengangguk-angguk, "Itu... zona nyaman kamu?" 

Kuangkat kepalaku. Sekejap, senja hari ini terasa begitu jelas, entah itu udara yang kuhirup, bayangan Philip yang sedang mengerjap menatapku juga terlihat lebih beresolusi tinggi, bunyi gelas ditaruh di meja sebelah yang terdengar lebih nyaring. 

Semua terasa begitu ringan, terutama kepalaku. 

Lamat-lamat aku mengangguk. Sepertinya aku mengerti sekarang. 

Zona nyaman itu, siapa yang menciptakan?
Zona nyaman, apakah hanya lingkaran yang kita gambar sendiri di sekitar kita sebagai pembuktian bahwa kita 'ada' di muka bumi ini? Ada untuk bersedih, ada untuk marah dan bingung, ada untuk mempertimbangkan segala sesuatu yang bahkan belum pernah ada... 
Apakah zona nyaman yang tadi kupertanyakan itu, juga tercipta dari kebingungan? 

Bagaimana mungkin kita bisa menjawab kebingungan? Mustahil. 
Kebingungan mungkin sekali adalah pusaran yang harus diamati dengan sabar, seperti.. menatap pusaran air teh setelah sendok diletakkan. Begitu saja, sudah. Begitu saja rasa bersalah akan pelan-pelan tersipu malu dan bersembunyi di dasar. Setelah itu, mungkin kita bisa menelaah rasa dengan lebih tenang dan tidak begitu emosional.

Aku tak perlu lagi melempar pertanyaan bertubi-tubi kepada Phillip. Hari ini, pertanyaanku tuntas terjawab dengan pertanyaan darinya. Karena kata orang, jawaban itu sebenarnya sudah ada jauh dalam dirimu sendiri. Kamu hanya butuh orang yang pas untuk memancing jawaban tersebut.

"Boleh peluk nggak?" tanyaku, tak bisa membendung senyumku. Senyum merayakan sedikit 'kebebasan.'

Tidak begitu emosional, tapi tetap saja, satu pelukan bisa lebih menenangkan daripada menenggak teh yang sudah dingin.

Bagaimanapun, kita semua hanya butuh teman bicara. Teman yang kebetulan betul-betul ada dan bersedia mendengar dengan tulus. Tanpa syarat dan pamrih.

Lalu kemudian aku tersadar, tujuanku mengajak Phillip ke kafe outdoor ini, bukan karena aku bosan. Mungkin aku pun sama dengannya, sesak dengan isi kepala sendiri dan butuh teman bicara. 



--
Jakarta, 2 Maret 2016.
11.52

Monday, February 29, 2016

Komposisi 'Makanan' Para 30 Under 30 versi Majalah Forbes

Muda, ambisius, berprestasi. 
Masa-masa muda memang kurang rela bila dihabiskan hanya dengan bersenang-senang tanpa menciptakan sesuatu. Masa-masa muda pula merupakan waktu paling tepat untuk menyalakan bara serta mengukir nama, kalau bisa nama yang tersohor hingga jauh. 

Minggu lalu, saya tak sengaja menemukan foto seorang kakak kelas di Facebook yang bertebar ucapan selamat. Ternyata si doi masuk ke dalam daftar 30 Under 30 versi Majalah Forbes Indonesia! Tentu saja, itu merupakan prestasi yang begitu mencengangkan. Mereka yang namanya ada di sana, adalah mereka yang memberikan impact pada hidup kebanyakan orang, mereka yang membakar ide hingga menjadi kenyataan dan pantang menyerah. Yakk, ini terdengar seperti pidato kenegaraan, tapi bagaimanapun, momen itu membuat saya merenung sedikit lebih lama dari biasanya. 

Muda, ambisius, berprestasi. 
Ini kan, alasan saya memilih tetap berada dan berjuang di Jakarta, dibanding pindah ke kota lain atau kembali ke kampung halaman. Saya ingin merasa terus terbakar, dan akhir-akhir ini memang sedikit lebih 'mati' oleh rutinitas. 

Saya seakan 'hidup' lagi begitu melihat fakta yang disajikan dalam data Forbes ini, mostly mengenai pola pikir, gaya hidup, definisi kesuksesan, latar belakang dan seterusnya, dan seterusnya. Ternyata ada yang salah dengan cara pikir saya selama ini. 


1. Dream Mentors


 2. Lifestyle & Relationship Status


3. About Deciding & Definition of Success
Poin terpenting dari bagan ini:
1. Namanya anak muda, pasti seringnya galau. Dan mereka yang sudah sukses saja, masih ada 19% yang still deciding. So, it's okay to be in doubt. Yang paling penting, tetep action dan do the best.

2. Definisi kesuksesan bagi mereka yang paling penting ternyata BUKAN MENJADI KAYA DAN BERKUASA, tapi mencintai diri sendiri dan profesi yang dijalani, sekaligus berhasil mencapai potensi diri sendiri. 
Diri sendiri, bukan pembandingan dengan orang lain. That's fantastic! Kalau kita sudah bisa melakukan apa yang kita suka dengan sepenuh hati, maka kekayaan adalah bonus. Hasil akhir yang PASTI kita dapatkan. 


4. Residence & Generation


5. Mobile Apps


 6. Education & Colleges

7. Invention & Reasons Why
Ini lagi bagan yang menurut saya cukup menarik:
1. Kita tidak harus menunggu segala sesuatu siap dulu untuk memulai impian. Begitu sering saya dengar, "Habis kuliah mau kerja dulu, belajar sama orang, kumpulin duit yang cukup, baru habis itu saya mulai usaha sendiri." Well, prinsip seperti itu mungkin sudah kurang kece lagi sekarang, karena buktinya, setelah kita bekerja, idealisme kita pelan-pelan akan terkikis (atau kita harus berjuang mati-matian memperjuangkan idealisme kita, menjaganya baik-baik sehingga kita menjadi lebih pragmatis). Atau, setelah beberapa tahun bekerja, kita akan terlena dengan fasilitas kantor, lalu keinginan untuk memulai usaha sendiri atau menekuni hobi baru akan dimulai menjelang masa pensiun. Uhh.

2. Alasan mengapa memulai usaha pun ternyata bukan untuk nyari duit. Lagi-lagi bukti nyata bahwa kekayaan tidak bisa dijadikan alasan dasar untuk memulai suatu usaha. 
Impian untuk mengubah dunia menjadi lebih baik, pencapaian diri ternyata bisa menjadi alasan yang kuat. Isn't it feels good when we can do what we think we can't? 
Nilai tambahnya lagi, usaha yang dilakukan, bisa bermanfaat dan membawa efek baik bagi orang-orang di sekitar kita. How great!



8. Wealth & Where's the Fund Comes From
Mereka yang mau berjuang, mereka yang mau berjuang! (Perhatikan bagan).

*Sumber diperoleh di Forbes Website



Muda, ambisius, berprestasi. 
Kamu kah salah satu dari mereka di tahun mendatang? 

Friday, February 26, 2016

Review Film Zootopia - Dunia tak Sebaik yang Kau Pikirkan!

Ketika film ini berakhir di bioskop kala itu, kesimpulan pertama yang meloncat dari benak saya adalah: kisah seekor kelinci yang menyelamatkan hidup si rubah. That's a fantastic idea mengingat hukum rimba yang berlaku: karnivora akan selamanya menjadi pemangsa untuk herbivora.

kelinci... menyelamatkan hidup seekor rubah?
Merupakan hal yang lumrah bila herbivora seperti kelinci akan selalu 'kalah' dari hewan seperti rubah, itulah kesan pertama saya ketika tokoh utama, si kelinci kecil yang bercita-cita menjadi polisi ini dicakar oleh rubah ketika ia hendak menolong domba-domba yang di bully. Sikap rubah kecil yang kejam dan penuh ancaman ini sama sekali tidak menggoyahkan niat mulia si kelinci untuk menjadi penegak keadilan dan membawa perubahan baik bagi dunia. Tapi apa daya, di dunia ini (yes, our world, too), seperti sudah ada paradigma bahwa jenis hewan tertentu pasti harus mengikuti jalan hidup dan pakem tertentu, sesuai sifat alamiah dari hewan tersebut. Ras kelinci, seharusnya membawa perubahan baik bagi dunia dengan menanam wortel, bukan menjadi polisi. 

Hey, welcome!

Film ini mengangkat isu keadilan dan anti-rasisme yang dituangkan dalam bentuk yang menarik. Ya, bukan Disney namanya kalau tidak berhasil menyentuh sisi emosional dan intelektual para dewasa; di saat bersamaan menginspirasi para bocah. Berbeda dengan hukum rimba yang kita kenal, penonton diajak bertanya-tanya mengenai bagaimana rasanya bila semua hewan bisa hidup harmonis bersama tanpa saling memangsa dan mencelakai? Bagaimana rasanya tinggal di tempat dimana semua hewan bisa menjadi apa saja?

Yes, yes! Welcome to Zootopia!

Zootopia adalah kota impian Judy Hopps, si kelinci yang 'batu' dan tidak mengindahkan segala cercaan mengenai fisik dan ras-nya, sehingga berhasil mejadi kelinci pertama dengan karir sebagai polisi! Inilah film pertama yang berpesan bahwa ketika impian sejak kecilmu tercapai, bukan berarti kamu sudah langsung bahagia! Tidak ada 'akhir' yang bahagia, karena hari pertama kerja Judy Hopps ternyata malah seperti neraka! Untung saja, optimisme dan keceriaan si kelinci (dengan kuping yang selalu terangkat naik) membuatnya bertahan hidup di Zootopia, kota besar yang menawarkan begitu banyak kesempatan sekaligus mengajar setiap pribadi yang hidup di dalamnya untuk berpikir lebih realistis.
"Everyone comes to Zootopia, thinking they could be anything they want. But you can't. You can only be what you are. Sly fox. Dumb bunny." -Nick Wilde

Judy Hopps melihat realita kehidupan yang kejam dan memilih untuk tetap menjadi positif. Judy Hopps juga tidak membawa larut kekesalannya ketika dibohongi oleh si rubah Nick Wilde yang memanfaatkan kebaikan dan kepolosan hatinya. Mereka berdua malah bekerjasama ketika si kelinci menerima tantangan dari Kepala Opsir untuk mencari hewan hilang di Zootopia. Dari kasus hewan hilang inilah, petualangan mereka berdua dimulai dengan penuh 'tipu-muslihat' yang cerdik, rentetan kejadian yang menyebalkan, menegangkan hingga yang kocak-kocak, krisis kepercayaan pada diri sendiri dan persahabatan, hingga akhirnya perjuangan mengungkap konspirasi yang berakhir mencengangkan.



Jarang sekali ada film animasi dengan rasa Die Hard. Dengan rasa film action. Memang sih, di dalamnya tetap ada imajinasi yang terlihat begitu nyata, seperti pemandangan Judy Hopps selama perjalanan di kereta. And yes, saya sangat terhibur, apalagi di bagian Sloth yang bernama Flash itu! Benar-benar menggemaskan dan bikin orang kepingin flip table! Hahaha.. selain itu, candaan yang cerdas juga saya temukan di bagian Nick Wilde saat bertemu dengan domba bernama Dawn Bellwether yang menjabat sebagai Deputy Mayor, Nick begitu penasaran akan rasanya menyentuh langsung bulu domba, yang dilarang keras-keras oleh Judy. Judy mengingatkan bahwa menyentuh kepala Bellwether adalah tindakan yang tidak sopan, sehingga akhirnya Nick Wilde hanya bisa berceletuk, "Can't she count herself as she going to sleep?" Jenius mana yang kepikiran hal seperti itu? Hehehe.


I want to touch her hair!


Tiga Pesan Moral versi #NyarisPuitis:

1. Membebaskan diri dari dogma dan pandangan masyarakat ternyata bisa membuat diri sendiri menjadi lebih bebas. 

Rasis. Rasis. Rasis. Kalau saja Judy Hopps adalah hewan yang rasis, ia pasti tidak bisa menikmati sifat Benjamin Clawhauser, si cheetah gembul yang hobi makan donat dan berjoged. Ia pasti akan terbahak begitu mengetahui perawakan Mr. Big yang ternyata.... ah, sudahlah. Ia juga pasti tak habis pikir mengapa Chief Bogo begitu mengidolakan Gazelle.


2. Berani mengakui kekurangan diri sendiri dan dengan tulus memohon bantuan.
"Wait, listen! I know you'll never forgive me. And I don't blame you. I wouldn't forgive me either. I was ignorant and irresponsible and small-minded. But predators shouldn't suffer because of my mistakes.
And after we've done, you can hate me, and that'll be fine, because I was a horrible friend... And you can walk away knowing you were right all along. I really am just a bunny."
Bagi saya, sosok Judy Hopps ini sudah perfect. Ia bagaikan matahari yang sanggup menyinari dirinya sendiri; tipe yang tahan banting dan tidak bisa dikalahkan di mana saja, karena bara semangatnya tak pernah padam. Tapi, ia cukup jujur ketika ia rapuh dan butuh bantuan, dan momen ketika ia menangis di depan Nick Wilde untuk meminta maaf.. ah, so sweet.


3. Pemaafan dan Penerimaan
Pelan-pelan saya baru menarik benang merah bahwa Hopps kecil pernah dilukai oleh rubah; Hopps yang beranjak dewasa lagi-lagi diperdayai oleh rubah! Namun, mengapa Hopps tidak mempersoalkannya dan malah menjebak rubah untuk bekerjasama merunut kasusnya? Sampai-sampai pada akhirnya, Hopps begitu yakin akan kualitas diri si rubah Wilde dan menyelamatkan hidupnya dari pekerjaan rutinnya yang tidak 'halal'!
Isn't it amazing?! 

Dimulai dari tekad untuk mengubah dunia menjadi lebih baik, seekor kelinci berhasil menyelamatkan dunia, ah ini terlalu luas dan melibatkan banyak orang, tapi yang pasti... seekor kelinci berhasil menyelamatkan hidup si rubah!


Dimulai dari tekad, apa yang ingin kamu ubah dari duniamu?

Life's a little bit messy. We all make mistakes. No matter what type of animal you are, change starts with you.
Change.... start... with... you....

Sunday, February 14, 2016

Si Rumit, Pemanis Buatan dan Hari Valentine.

Serumit apa isi kepala seorang jomblo sehingga ia perlu memutar otak mencari alasan pintar untuk merayakan Valentine bersama orang-orang yang bukan berstatus pacar? 

Mereka yang jomblo belum tentu disengaja, sama halnya seperti sejoli yang jatuh cinta tanpa disengaja. Mari kita bicara sedikit mengenai cinta, mblo. Itupun kalau kamu bersedia.



Hai, kamu yang memilih untuk (masih) sendiri, apakah kamu sudah lelah memerangi kesepian yang mengelabui kepalamu dan kadang membuat hatimu kelabu?

Ataukah... kamu belum siap mengurai benang-benang segala ke-baper-an yang rumit antara cinta-sahabat-praduga-kenyamanan dan segala cerita yang membuat dirimu sendiri terasa begitu rumit?



Dan, hai, kamu yang sedang dimabuk cinta di hari kasih sayang. 

Semoga kamu menikmati setiap kerlingan matanya, gurat senyum di matanya, suara tawanya yang khas dan gelembung-gelembung pikiran yang meledak di sela-sela waktu bersama-sama.

Oh ya, selamat mencintai dan dicintai, tanpa perlu memasukkan pemanis buatan apapun, karena kamu sudah terlalu manis untuk mencicip manis yang artifisial. 



Siapapun kamu, di manapun kamu, apapun yang kamu rasakan saat ini, mengapa tak kita rayakan saja momen yang berbinar-binar ini dengan... segelas harapan?

Bersulang dengan kesendirian yang megah atau berdansa dengan kenyamanan yang penuh toleransi. Apapun itu, jangan lupa bahagia.
Mari rayakan apapun itu, di era penuh 'harapan.'
---


Bagaimanapun, hari Valentine hanyalah salah satu hari dari 365 hari di kalender. 
Dibawa baper-baper 'dikit tak apalah. ;)



Credits (dengan perubahan seperlunya + wording)
Picture 1: © Flora Chang | HappyDoodleLand.blogspot.com
Picture 2: © sashafavorov.tumblr.com
Picture 3: © Fireworks Canvas Print by Marcelo Romero

Thursday, February 11, 2016

Perempuan dalam mimpi itu, hujan yang masih bersembunyi di musim kemarau.




Perempuan dalam mimpi itu
adalah hujan yang masih bersembunyi di musim kemarau.

Ia lupa, bahwa hujan tidak bisa dipaksakan, 
dan pawang hujan sedang mengambil cuti panjang.

Ia lupa, bahwa hujan akan membuat ibukota banjir, 
dan dia memang tidak suka memanjat ke gedung-gedung pencakar langit 
untuk mengeringkan kakinya.

Ia ingat, masa-masa hujan begitu romantis. 
Ia bisa mengarahkan payung ke perempuan yang suka menangis dan takut kehujanan, 
supaya punya kesempatan untuk sekedar menjadi pahlawan kecil yang dielukan.

Ia ingat, masa-masa hujan meruapkan wangi yang tak bisa dibeli di toko parfum manapun. 
Wangi yang alami dan membunuh ruang untuk kewarasan,
karena yang tersisa hanyalah ingatan yang menipu.

Ia tak pernah lupa, bagaimana kemarau lamat-lamat menerkam,
sebelum ia sempat menyimpan sisa air hujan
dalam botol kaca kelak ia arungkan ke samudra.

Ia tak pernah lupa, sayap-sayap mimpi yang menjadi sayat-sayat,
bagai ayat-ayat yang tak pernah lelah ia ingat-ingat.

Ia tak pernah ingat, mengapa awalnya ia memulai,
semua yang kelak akan dituai,
hingga tiba saatnya kenangan memuai dan menyaru dalam udara.

Ia tak pernah ingat, apa alasannya berjalan sejauh ini,
bersama perempuan yang ia harap bisa menemaninya tertawa dan menangis,
perempuan dalam mimpi itu
adalah hujan yang masih bersembunyi di musim kemarau.


Karena ketika hujan turun,
laki-laki itu baru teringat bagaimana perempuan itu bisa menjadi hujan
yang menenggelamkan segala kegilaan,
yang membekukan segala gemertak gigi yang menggigil.

Sekarang sudah musim hujan, bung.
Bolehkah kau cari-cari lagi payungmu?


Mungkin,
kau masih bisa temukan perempuanmu di batas-batas udara, 
di sela-sela deru yang hampir mencapai bumi.



----
Bulan Februari, dan masih saja hujan
hampir menenggelamkan beberapa tempat.
Stay safe, peeps.

Monday, February 1, 2016

He is quiet and so am I. A Poem by Mahmoud Darwish

Saya mulai mencari tahu tentang Mahmoud Darwish ketika saya mengunjungi Salihara. Entah di lantai berapa, terpajang sepotong puisi karya penyair dari Palestina ini. Cukup singkat, hingga akhirnya saya mulai kepo dan jatuh cinta sama beberapa potongan puisinya, salah satunya ini: He is quiet and so am I.

Bercermin, tidak pernah seindah ini. 
Interpretasi mengenai puisi ini? Entahlah. Mungkin tentang interaksi yang saling takut-takut? Interaksi yang mengaitkan begitu banyak perbedaan yang mengantarkan pada persamaan dan perasaan...
Puisi ini, menyelinap masuk ke benak, cukup menggelitik untuk dibaca, sekali lagi. Untuk dibagikan, sekali lagi.

#NyarisPuitis

#NyarisPuitis

#NyarisPuitis


"He is quiet and so am I. 
He sips tea with lemon, while I drink coffee. 
That's the difference between us. 

Like me, he wears a wide, striped shirt, 
and like him, I read the evening paper. 
He doesn't see my secret glance. 
I don't see his secret glance. 

He's quiet and so am I. 
He asks the waiter something. 
I ask the waiter something… 
A black cat walks between us. 
I feel the midnight of its fur 
and he feels the midnight of its fur… 

I don't say to him: The sky today 
is clear and blue. 
He doesn't say to me: The sky today is clear. 
He's watched and the one watching 
and I'm watched and the one watching. 

I move my left foot. 
He moves his right foot. 
I hum the melody of a song 
and he hums the melody of a similar song. 
I wonder: Is he the mirror in which I see myself? 
And turn to look in his eyes…but I don't see him. 

I hurry from the café. 
I think: Maybe he's a killer… 
or maybe a passerby who thinks 
I am a killer. 
He's afraid…and so am I."

-Mahmoud Darwish


Menurutmu, bagaimana?

Wednesday, January 27, 2016

Matahari, bulan dan garis-garis di antaranya. #NyarisPuitis

1. Pernahkah kamu, begitu 'gemes' dengan orang yang terlihat polos,
tidak menginginkan apa-apa?
Orang-orang yang dunianya hanya ada "hitam" dan "putih"


2. Ada pula manusia yang masuk terlalu dalam,
percaya bahwa ia berdiam di dunia yang kejam
Bagi orang-orang yang dunianya hanya ada "hitam" dan "putih"
mereka-mereka ini adalah petaka.


3. Dan ya,
sayangnya mereka hidup di dunia yang sama.


4. Ia takut.


5. Ia juga takut.


6. Namun, apa yang lebih penting daripada
menjaga rasa damai di hati masing-masing?
Persahabatan, kadang bisa jadi jawaban.


7. Apalah manusia ini, 
hanya makhluk bernafas yang...
takut tidak diakui
dan
takut kesepian.



Monday, January 25, 2016

Sarah Kay & Phil Kaye in Jakarta! (A Night for Spoken Word - Project Voice)

"When love arrives, say, 
welcome, make yourself comfortable."

It was about one year ago, my best friend showed me their show in Youtube and it took no effort to fall in love with 'When Love Arrives.' Performing Spoken word, Sarah Kay and Phil Kaye translated their connectivity in a weird way, but beautiful enough to fly butterflies around stomach. I always love how they connect all the coincidences into beautiful lines and precise; punctual meaning. But the nice performance was once forgotten until i met Ayu Meutia performed her spoken words in a writing workshop. Spoken word, turned out to be a way to express feeling with a very personal way, that not-so-poetic, rationally smart, importantly minimalist and yet still left the audience heart-touched.

Sarah Kay and Phil Kaye shared their stories in Goethe Haus, Central Jakarta.

Yeah, i was heart-touched and verrrrrry excited in the same time when Sarah Kay and Phil Kaye finally appeared in front of Indonesian audience. Actually, my very basic reason to watch them is to feel the atmosphere, you know, this kind of show was not the type of 'take-home delivery' as you watch them streaming, it need to be enjoyed in time. So I was so glad to share breathless breaths (of their amazing performance) with all of those ‘weird’ audience that night, sharing the same time and space. And everything, still hanging in the air, i could still hear their voices banging in my head, from bicycle, tire, toothpaste, separation, 24 years old, candy, beach with waves turns to golden, and another stories, another stories. Their voices are still sharp and clear, i barely can hear the particles sprinkle around my fingers, ready to turn them into another writings. 

and yes, it's 'A Light Bulb Symphony.' Signed by The Poet: Phil Kaye!

Eventually, the most interesting part was letting myself being dragged by their continuous-unrelated-too much imagination stories. I was like… voluntarily, willingly plunge to a space where they mix all their fantasies and realities into tens of spoken words, flying here and there without questioning any further. Sometimes, their spoken words are pointless, but i enjoyed to the tiniest bit. Getting carried away, trapped in between, lost in screaming and hand-clapping, out of expectation, melting in how they adorn and torn the sentences… and Phil Kaye definitely cracked me up when he told about how he lost his virginity. Lol!

And i looove how Phil danced, witty! :3

Well, sometimes, dreams are so reachable yet in sight, it was kind of unbelievable to finally meet them in persons. Because the exclusiveness of enjoying this kind of show was they couldn’t be kept by any forms, by any stories… because how they made me feel was priceless and particular! Oh, maybe i could bring home my numb palms because i was clapping too often, my warmer heartbeat and my tired lips because i smiled ear to ear too often. Well, impressive show.



"Thank you for stopping by.”



Sneak a peak their interview with Jakarta Globe, here.

Tuesday, January 19, 2016

Tentang Monster dari Bawah Ranjang. #FaceYourMonster #Cerpen

Bakat menjadi kalong sudah mendarah-daging dalam tubuh Olin sejak ia kecil, Bunda sering menggunakan berbagai macam cara untuk mengajaknya tidur, mulai dari membacakannya dongengyang berakhir dengan pertanyaan membanjir dan ajakan berdebat tentang mengapa Gadis Berkerudung Merah tidak pernah shalat—demikian pula dengan menimangnya sambil mengelus-elus rambutnya, karena Olin akan sangat gampang untuk tertidur dengan cara seperti itu. Cara lain? Bunda akan memarahi Olin dengan sepenuh hati, karena Bunda sudah teramat lelah dengan mata Olin yang tak kunjung terpejam kala lampu-lampu kota sudah padam.

Memarahi Olin adalah cara paling ampuh untuk membuat gadis ini meringkuk di dalam selimut tebalnya, ditambah dengan bumbu "Kalau kamu tidak tidur juga, hati-hati dengan monster dari bawah ranjang yang akan menerkammu!" Lengkap dengan deskripsi monster tersebut: taring yang mengilat, senyum yang penuh kepura-puraan, kurus ceking—kulit tipisnya yang bersisik dan berlendir hijau hanya berfungsi melapisi tulang di tubuhnya, yang bisa patah kapan saja. Tapi jangan salah, sekali monster ini berhasil menangkap salah satu bagian tubuh dari manusia manapun, seketika manusia itu akan menjadi seperti rupa si monster. Sama persis! Dengan cara itu, Bunda bisa tersenyum tenang sambil melirik jam dinding, pukul 11 dan Olin yang mendengkur halus, misi Bunda untuk hari itu akhirnya selesai juga.

Sampai Olin dewasa, ia tetap mencintai statusnya sebagai kalong. Menjadi desainer in house di sebuah agensi periklanan mengharuskan ia tetap terjaga di tengah malam buta, kadang dengan minuman isotonik dengan label kesehatan. Sambil bersandar di ujung ranjangnya, kaki yang berselonjor, laptop di pangkuan dan tirai jendela yang menari malas terkena angin malam. Ia sering tertidur ketika hampir subuh dengan jendela yang terbuka, karena ia takut ketika kakinya menyentuh lantai saat hendak menutup jendela, kakinya akan ditarik monster dari kolong ranjang. Tangan monster yang berlendir hijau dan bersisik akan menggenggam kuat pergelangan kaki Olin, sambil menggeram halus, Olin akan terseret masuk ke dalam kolong ranjang sambil meronta-ronta, mengikis lantai dengan kuku-kuku dan keberaniannya yang tersisa. Persis seperti film horor Jepang! Hiiiy! Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdisko! Makanya, Olin memutuskan untuk bersembunyi saja di balik selimut tebalnya, berhemat menggunakan oksigen secukupnya. Inilah rutinitasnya sejak kecil.

Kadang, khayalan Olin suka mengawang di langit-langit kamarnya sendiri. Tentang desainnya yang lebih banyak ditolak klien dan pertimbangan untuk loncat ke perusahaan lain yang lebih menghargainya, tentang Patrick yang sepertinya tertarik padanya tapi lebih tertarik dengan hobi otomotifnya, tentang orangtuanya yang mewanti-wanti Olin untuk tidak memutuskan hal yang 'abnormal' yang bisa mendadak dilakukannya: pergi ke bar bersama teman yang baru dikenalnya dari tempat ibadah, traveling ke pulau Buru di Maluku bersama teman-teman sekantor karena ia percaya di sana ada alien, menjual seluruh buku referensi desainnya untuk menyewa truk berwarna pink cerah supaya ia bisa menjual es krim keliling, dan... ide-ide absurd lainnya. 

Kadang mimpi-mimpi absurd itu bercampur dengan bagaimana jika ternyata di bar ada cicak yang berenang di gelas bir-nya, bagaimana kalau alien itu ternyata memiliki rupa yang sama dengan monster di bawah ranjang atau pembunuh berdarah dingin yang sudah lama mengincarnya itu akan menyekapnya di siang bolong ketika ia sedang berjualan es krim. Lama-lama, Olin capek hidup dalam khayalannya sendiri!
"Bunda, apa benar ada monster di bawah ranjangku?" 
Tentu saja pertanyaan ini tidak pernah sampai ke telinga Bunda, atau Olin akan mendekam di Rumah Sakit Jiwa. Tapi, setiap malam, di depan cermin, Olin selalu menanyakan pertanyaan yang sama. Yang sama. Yang sama. Yang sama. Sampai semua hanya seperti gaung-gaung yang menggantung di udara. Sampai-sampai ia sampai pada jawaban, bahwa monster di bawah ranjang sudah menjelma menjadi cicak di gelas bir, wajah alien, pembunuh berdarah dingin, ketidakpastiannya terhadap Patrick, hasil-hasil desain yang ditolak dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain!

Malam itu, Olin mendengar suara berderak dari bawah ranjangnya.
"Semakin lama kau berlari, semakin besar pula ketakutanmu, sampai akhirnya kau sudah tak punya keberanian untuk menghadapinya lagi."
Your monster, your... face?

"Bunda, apa benar ada monster di bawah ranjangku?"

Bunda tak berhak menjawab pertanyaan ini lagi. Karena, Olin bertanggungjawab atas kamar Olin sendiri.

Olin mengambil sapu di samping wastafel nya, mengendap-endap menuju ranjangnya sendiri.



-----
Credits:
Cerpen ini ditulis karena begitu tersentil dengan tutur seorang Adriano Qolbi,  stand-up comedian yang awalnya saya pikir hanya bisa membahas hal-hal dangkal yang mengocok perut. Tapi, yang ini bermakna. Terutama di bagian monster, pelarian, musik, menjadi lebih 'cuek'—dan hal-hal absurd lainnya. Well, i like the way you laugh (even laughing at yourself, lol). Terima kasih, ya. 

Juga kepada The Lovely Mas Adjie Silarus yang membuka kesempatan, untuk saling menemukan kesempatan di Sane Step. Terima kasih, ya.