Keenan
Pertama kali menjabat
tangannya, panas. Sepertinya cewek ini kebanyakan makan kambing. Katanya,
namanya Aruna. Keenan curiga itu bukan nama sebenarnya, ia lebih cocok dinamakan
Mashed Potato—jenis makanan yang
terdengar sophisticated, tapi
ternyata hanya kentang yang dibejek-bejek. Rasanya uwek. Aruna memang jenis cewek murah senyum khas divisi marketing, tapi caranya memperhatikan
orang lain berbicara—jelas-jelas ia sedang berpura-pura tertarik. Ah, selamat
datang lagi di dunia kerja yang penuh
kepalsuan, batin Keenan pahit. Selamat datang di dunia tanpa teman sejati.
Aruna
Pertama kali mengintip
CV-nya, Aruna sadar sekali akan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Bukan,
bukan jatuh cinta, bodoh. Keenan Putra, game
master, pengalaman marketing dua
tahun di Leopard Game House. Cih. Diam-diam, Aruna merasa kesal terhadap
dirinya sendiri, ia sama sekali tidak suka main game—walau sudah bekerja di game
company selama hampir setahun. Aruna masih memamerkan gigi cantiknya begitu
melepas jabat tangannya dengan Keenan, dalam hati mengumpat gaya Keenan yang
bersedekap sok cool begitu, minta
dibejek-bejek jadi mashed potato!
***
“Kepikiran buat sekolah atau
kerja lagi di luar negeri?” tanya Aruna, tiga bulan setelahnya.
“Iya, dong!” Keenan menjawab
sambil mengangguk kuat-kuat, “Emangnya lo nggak mau?” mata bulat Keenan melotot
heran begitu melihat Aruna yang manyun.
“Mau sih, tapi maunya kawin
sama bule. Percuma rasanya punya pacar bule, tapi visa masih di-PHP terus. Gue
pengen ketemu musim dingin, kalo ngomong ada asapnya, kan luuucuuuu. Terus pake
mantel kece, sama... ke museum Louvre, tempat-tempat bersejaraaaah, aaaaa!”
pipi Aruna menggempal saking lebarnya tersenyum.
“Aruna, oh Aruna. Coba waktu
pertama kali kita kenalan, gue bisa lihat binar kayak gitu di mata lo; senyum
lo yang tulus lepas, ck!” gerutu Keenan sambil mengunyah burger-nya lagi.
Aruna meringis, “Kalo lo
nggak pake topeng, Tuan, lo bakal digasak sama orang-orang di luar sana. Lo
pikir, kenapa kita bisa sahabatan kayak gini? Karena gue diam-diam udah nge-tes
elo, karena lo nggak berbahaya, makanya gue bisa traktir lo makan kayak
sekarang!” jelas Aruna sengit.
“Dasar wanita. Lo pikir gue
pria sembarangan yang mau diajak makan junk
food begini? Itu juga karena gue udah tahu strategi dan level lo,” balas
Keenan santai, “karena waktu bareng elo, gue bisa bebas jadi diri gue sendiri—"
“—ya iya, lah!” seloroh Aruna
dengan suara tinggi, “Lo pikir, manusia macam apa yang bisa mendiskusikan
bentuk upil sama suara kentut lo—sekaligus merancang masa depan lo sebagai
pemilik kerajaan game online?
Gueee... cuman gueeee...” Aruna. Sambil monyong-monyong.
“Dan cuman gue, yang bisa
mendeteksi bacotan lo, mana yang palsu; mana yang asli. Titik,” balas Keenan yang
tetap santai, “eh, ya, sekaligus gue mau merancang itin.”
“Itin?” Dahi Aruna
mengeriting. Keenan memang orang paling random,
bicara dengannya, topik bisa berganti dari kemoceng menjadi tongkat sihir.
“Itinerary. Gue mau ngebuka mata orang kampung kayak lo, yang menganggap
kebahagiaan cuma bisa diperoleh lewat pergi-ke-luar-negeri,” jawab Keenan,
dibalas lagi dengan suara tinggi Aruna yang membela diri kalau dia bukan orang
kampung, tralala, tralala. Keenan hanya bisa tertawa-tawa, baginya persahabatan
seperti ini—yang ia dapatkan dari tempat kerjanya, hanyalah bonus. Bonus yang
ia nikmati dengan sepenuh hati, karena ternyata Aruna hanyalah cewek jujur yang
terlalu takut dikucilkan, sehingga terus berpura-pura. Keenan lega, akhirnya ia
bertemu orang yang mau men-judge
setiap perbuatannya, tapi cukup sabar untuk mendengar setiap alasannya. Sahabat
jenis ini, satu saja sudah cukup. Cukup membuatnya merasa dunia ini adil.
***
Dua lembar tiket pesawat.
Selembar surat cuti dan selembar surat sakit yang menyusul esok harinya.
Kata
Keenan, Indonesia itu indah dan punya banyak keajaiban, hanya saja masih banyak
orang Indonesia yang tidak menjadikan travelling
sebagai prioritas, padahal inilah cara paling efektif untuk meningkatkan
produktivitas. Aruna manggut-manggut, setelah dipikir-pikir, terakhir kali ia
pergi ke luar negeri itu... hanya di alam mimpinya. Halah, Sukabumi adalah kota
di luar Jakarta yang pernah ia kunjungi, itu pun sudah setahun lalu, itu pun
karena dipaksa Mama-nya untuk menghadiri kondangan sepupunya. Kali ini, jangankan
ke luar negeri, Keenan hanya mengajaknya ke kota yang ditempuh selama... dua
jam dari Jakarta: Yogyakarta.
“Tapi, bukan ini yang mau gue
tunjukin ke elooooo!” dumel Keenan, “Ke sini memang cuma dua jam, tapi nanti...
empat jam! Siap-siap encok!”
“Maksud lo, Dieng? Kayaknya
itu pelajaran geografi pas SD. Ngapain sih, ke situ? Itu kayak kampung gitu,
kan? Si Nera abis dari sana bulan lalu, gue liat di Facebook-nya, jalan-jalan di
Indo aja udah excited nggak jelas,
apalagi ke Mount Everest, hellloooooo...”
Aruna monyong-monyong lagi.
Keenan menepuk jidat, dasar kodok dalam tempurung kelapaaaaa,
batinnya gemas, “Heeeellooo, barbie,
ngapain ke Mount Everest, hah? Nyusah-nyusahin tim SAR?” ledek Keenan sambil
terbahak, Aruna memang jenis cewek gila yang angkuh nan bloon, jelas sekali
bacaan terakhir yang ia baca adalah buku pelajaran geografi, “Lagian nih ya, dulu
pas SD kita udah belajar banyak, ada Gunung Krakatau, Merapi, Jaya Wijaya,
Rengasdengklok—oke ini nggak nyambung—Kerinci, Dataran Tinggi Dieng... lengkap
sama ketinggian dan tetek bengeknya! Masa nggak ada sih, satu aja, tempat yang
bikin lo kepengen eksplor?!”
Aruna termangu sambil menatap
Keenan, “Pengen,” cicitnya, “tapi kan... kita juga belajar peta dunia?” senyum
tipisnya terkulum. Jiwa internasionalisme Aruna patut diacung jempol.
“Step by step, dong. Negeri sendiri aja ngga cinta, gimana mau cinta
sama negeri orang?”
Taksi mereka akhirnya tiba di
Keraton. Selanjutnya, tak sulit melihat gurat senyum Aruna yang menyatu dengan
pipi gempalnya sewaktu menyaksikan abdi dalem yang mendendangkan tembang, disusul
dengan pertunjukan wayang yang membuat Aruna mengerutkan dahi, persis seperti
nenek-nenek. Tak jarang, ia bertanya siapa itu Arjuna dan Gatotkaca, siapa pula
Baratayuda.
“Baratayuda bukan nama
oraaaaaaang, Arunaaaaaaa!!!” Keenan hampir nangis darah.
Ternyata masih banyak
orang Indonesia yang tidak familiar dengan budaya bangsanya sendiri. Ah! Sedih bukan
main.
***
Perjalanan bukan untuk
mengoleksi foto; namun mengoleksi momen.
Bukan pula untuk melihat-lihat
pemandangan, karena semua yang indah hanya akan lengkap bila dirasakan.
Aruna mendekap
dirinya sendiri kuat-kuat, sambil menatap hamparan awan di depannya. Awan.
Begitu dekatnya sampai-sampai ia merinding. Tak lama, semburat sinar matahari
mulai menggelitik pipi yang hampir beku oleh dinginnya suhu di Dieng.
Pelan-pelan, hangat mulai merayap dan berkawan dengan tubuh Aruna yang
menggigil. Ia jatuh cinta pada cerah matahari yang berani namun malu-malu,
serta semilir angin yang masih enggan beranjak. Perasaan seperti ini... tidak
mampu dibeli di manapun, dengan apapun.
“Dataran Tinggi Dieng, 2.565
dari permukaan laut. Merupakan dataran tertinggi ke-dua setelah Nepal. Gile
juga ya, berdiri di tempat yang tinggi-tinggi, bikin gue jadi lebih berani
bermimpi setinggi-tingginya.” Keenan yang berdiri di samping Aruna mengembuskan
nafas, setengah melamun.
“ASTAGA!! ADA ASAPNYAAA!!”
teriak Aruna girang.
Keenan terbelalak, heran.
“Hah!” Aruna mencoba
membuat hembusan nafas sendiri dan melonjak-lonjak senang, “HUH HAH!
WOOOOOOHHHH!!! Ini kayak di film-film Koreaaaa...”
Sambil menggeleng-geleng,
Keenan hanya bisa terbahak melihat Aruna yang benar-benar kayak orang kampung.
Orang seperti ini, mau kawin sama
bule? Disaster.
“Keenan!” seru Aruna
tiba-tiba, “Bicara tentang mimpi, semalam gue dapet kabar kalau visa gue udah
di-approve! Mimpi gue selanjutnya...
gue mau jalan-jalan ke manaaaaa aja, tanpa nge-judge terlebih dahulu. I
wanna enjoy all of the goodness Mother Earth presents to me!”
Ada jeda sedetik. Sebelum
akhirnya, Keenan—untuk pertama kalinya—melemparkan tubuhnya ke Aruna,
memeluknya erat, “Thanks, God. Gue...
turut bahagia.”
Ada detak yang hilang ketika
Aruna merasakan Keenan yang perlahan beringsut menjauhinya, walaupun senyum
Keenan masih saja selebar daun kelor. “Next
destination... France, baby! Louvre!” seru Aruna, mengabaikan perasaan aneh
tadi.
Seperti biasa, Keenan
tertawa-tawa, lalu memeluk Aruna sekali lagi. Cukup untuk menghangatkan sisa-sisa
dingin sejak tadi subuh, cukup pula untuk menghangatkan perpisahan yang sudah
di ujung mata. Kata Dalai Lama, “Once a
year, go some place yo’ve never been before.” Keenan sudah tidak sabaran,
menunggu tahun depan, bertemu Paris dan sosok Aruna yang baru, karena
bagaimanapun, Keenan tak percaya jarak bisa menghanguskan kualitas suatu
hubungan dan persahabatan.
Aruna percaya, waktu bukanlah
patokan. Cukup tiga bulan, persahabatan yang ia jalin dengan Keenan terasa
seperti selamanya. Ia mengenal lalu jatuh cinta pada kualitas Keenan yang tak
akan pernah ia miliki: ketenangan dan jiwa petualangan. Dasar wanita, jatuh
cinta memang perkara mudah, tapi persahabatan yang tidak ada akhirnya seperti
ini... bahkan lebih akut dari sekedar cinta-cintaan.
Naif memang, Keenan dan Aruna
ini. Jarak dan waktu tentu saja akan jadi persoalan.
Namun, persahabatan adalah
perjuangan—saling memperjuangkan, and
never ever give up on each other. Bukankah begitu?
http://www.tinggly.com/journal/wp-content/uploads/2015/01/1122.jpg |
*Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis
No comments:
Post a Comment