Tuesday, December 31, 2013

#Nuliskilat : Jangan 'Pelit' di Seribu Parit



Jangan 'Pelit' di Seribu Parit

Arka masih sibuk menyetir seperti tidak terjadi apa-apa, masih saja tersenyum tipis sambil sesekali bersiul. Semua perasaan ingin menangis sudah mendidih di hati—berusaha kutahan sekuat tenaga. Aku menggenggam seatbelt kuat-kuat, begitu ujaran ringan Arka terdengar, “Jo, ini lagu favoritmu kan? Nyanyi dong.” Ia mengencangkan volume radio, lagunya Taylor Swift.

Because the last time you saw me
Still burns in the back in your mind...

Aku terkesiap. 
Katamu, ini lagu yang paling aku gilai, jauh sebelum kecelakaan hebat merenggut semua ingatanku. 
Katamu, gara-gara lagu ini juga aku kehilangan lesung pipi berikut senyum lebar yang katanya adalah kebanggaanku. Lalu, kapan semua ingatanku bisa kembali? Aku sudah mulai kangen, dan bosan bertanya-tanya.
            “Pas banget ya, ini desember. So sorry we can’t celebrate this new year in here.” Arka tetap tersenyum santai, “tapi, aku jamin, countdown di kampung halamanku juga pasti berkesan kok.”

Aku sudah tidak sanggup menekan gelegak amarahku lagi, “Iya! Dan kita akan terus-menerus countdown di tempat itu sampai kita tua!” suaraku meninggi, dan kulihat alis Arka yang sekarang mengerut. “Oke, kamu bisa balik ke Jakarta kapanpun kamu mau kok!”
Oh, baiklah. Pertengkaran kita yang pertama. Setelah usaha heroik Arka yang katanya menyelamatkanku dari kecelakaan parah di tol, membawaku ke rumah sakit dan menjadi satu-satunya dokter yang berani mengambil resiko untuk mengoperasiku. Lalu, cerita pun bergulir seperti drama korea yang menjijikkan—namun benar-benar terjadi di hidupku. Tentu saja bagiku ini tidak manis, karena drama korea biasa akan berakhir di letusan pesta kembang api di tepi pantai, lalu aktor yang berlutut di depan aktris memintanya untuk menikah, blablabla. Dan Arka? Ia melamarku sehabis CT scan-ku yang terakhir, tepat di depan ruang operasi. Itupun kalau aku setuju untuk ikut pulang ke kampung halamannya. Papa Arka menderita alzhemeir, dan Arka terpaksa harus mengambil alih toko kelontong keluarganya yang sudah melegenda di sana.

Melepaskan karir dokter di salah satu rumah sakit swasta terkenal Jakarta, hanya untuk toko kelontong yang legendaris itu? Are you crazy?! Sesaat tiba-tiba aku tersadar, aku tidak marah pada kenyataan akan pindah dari gemerlapnya kota Jakarta, menuju daerah kecil yang sama sekali tidak bisa kutemukan di Google Maps. Aku juga tidak marah karena Arka terkesan memaksaku untuk tinggal bersamanya di sana. 
Aku.... marah, sebab Arka akan seperti berlian yang dicemplungkan ke dalam lumpur. Segala mimpinya tentang penelitian dan eksperimen pengobatan yang lebih canggih dan hemat akan kandas begitu saja. Dan aku... harus menyaksikan mimpi-mimpinya yang megah itu perlahan hilang ditelan waktu, sampai akhirnya anak-anak kita nanti hanya akan mengenal Papa mereka sebagai seorang bos besar yang tiap hari duduk di kasir menghitung duit.

***

Kata orang, bila ingin menikah, kita tidak hanya akan menikah dengan orang tersebut, tapi juga dengan keluarganya. Aku tambahkan, dengan lingkungannya juga. Aku mencintai segala tentang Arka, pemikirannya yang mainstream namun terkadang begitu menakjubkan. Sifatnya yang terlalu jenaka dan santai, tapi sangat seram kalau lagi naik pitam. Arka sama sekali tidak punya wibawa dokter yang charming seperti malaikat, dia lebih mirip dokter anak—mepet-mepet kayak badut. Tapi, tanpa Arka, aku tidak akan pulih segini cepatnya. Di penghiburan dan buket bunga yang dia bawakan setiap pagi, terselip banyak sekali semangat hidup yang membara—hingga aku berhasil menemukan keluargaku kembali.
            “Ar, nanti bawa Joanna balik ke Jakarta lagi ya, mau Mami pingit dulu 3 bulan sebelom dilepas ke kampungmu itu, hahaha...” Ibuku begitu bersyukur, anak bungsu-nya selamat dari maut, sehingga kalimat apapun yang keluar dari mulut Arka dianggap sebagai permata.
            “Ih, Mami norak banget. Kalo sayang anaknya, jangan dikasih hidup di desa, dong,” selorohku asal.
            “Udah aku bilang, Tembilahan itu bukan desaaaa...” Arka mengacak rambutku gemas, “yah, nanti kamu juga tau lah,”
            “Pokoknya Mami serahkan si Joanna sama ahlinya aja. Dijaga baik-baik ya!” Lihat saja tatapan Ibuku ke Arka, udah kayak ngeliat Obama.
            “Kalo Arka tiba-tiba bilang mau ngebeli aku seharga lima ratus ribu juga dikasih kali ya sama Mami,” ujarku sarkartis. Ibu terlihat kaget, lalu menepuk pundakku sambil tertawa, “Ya iyalah! Anggep aja emas kawin, dibayar tunai.”
            “Mamiiiiiiiiiiii...” desisku sambil menggigit gigiku, disusul tawa nyaring mereka berdua. See, the influence of Arka works? Well, manusia selalu berutang budi pada mereka yang telah memberi nyawa, dan menjaga nyawa. Ibu melambaikan tangan dengan senyum lebar khasnya, dan taksi kami pun meluncur ke bandara.

Hari ini, kami memulai perjalanan yang sangat amat panjang. Kata Arka, Tembilahan itu terletak di pulau Sumatra—yang berarti aku sudah pindah pulau sekarang. Provinsi Riau, yang terkenal akan kelapa sawitnya. Arka berjanji akan mengajakku minum kelapa muda setiap hari, asli langsung dipetik dari pohonnya. Dari Jakarta, kami terbang ke Pekanbaru. Tidak, perjalanan tidak berakhir sampai di sana. Masih ada 7 jam yang harus ditempuh dengan mobil, sepanjang jalan terlihat pohon-pohon monoton diselingi dengan rumah warga yang kecil-kecil, sampai akhirnya kuputuskan untuk tidur saja.

I’d go back to december, turn around and make it all right
I go back to december all the time...

Suara wanita yang melengking tinggi, decitan rem dan pandangan yang mengabur karena asap. Tabrakan beruntun. Suara orang yang samar-samar minta tolong, dan sirene ambulans yang memekakkan telinga. Suara pria yang terngiang, “Saya sudah terbuka sama kamu, tapi setelah kamu tahu semuanya, kamu tidak menerima saya apa adanya! Saya paling benci orang kayak gini! Tinggalin aja!” suara yang pelan-pelan tertutup kabut asap yang makin menebal, sampai baunya memenuhi seisi rongga dada...
            “Jo! Joanna!!”
Aku terbangun di antara panggilan Arka yang makin gelisah, aku mengerjap dan menemukan tangan Arka menggenggam tanganku terlalu erat—sampai sakit. Raut wajah Arka memantulkan kekhawatiran, dan tanpa harus kuberitahu, aku tahu ia tahu. Aku menatap mata Arka sambil berusaha mengatur nafasku yang masih terseok, “just... switch another song.” Aku menunjuk radio mobil yang melantunkan lagu Back to December. Lagu ini gila, berani-beraninya ia merasuk sampai ke mimpi, sampai ke alam bawah sadar. Aku mengerang dan memperbaiki posisi sandaranku, “Masih berapa lama lagi, Ar?”
            “Satu jam lagi. Well, welcome to Negeri Seribu Parit!”
Aku tersenyum tipis. Kesadaranku masih merayap dari gamangnya mimpi tadi. Sebentar-sebentar, mobil kita melewati jembatan kecil, lagi dan lagi. Seperti tiada habisnya, kadang jembatan itu—saking kecil dan pendeknya lebih mirip dengan polisi tidur yang terlalu besar. Kelapa sawit di mana-mana, atau hanya sekedar ilalang.
            “You know, satu hal yang bikin aku suuuukaaaaa banget sama kamu itu adalah senyum pelitmu itu. Senyum nanggung, antara tersipu atau terpaksa. Bikin penasaran, tau.” Arka menowel pipiku sebentar di sela tawa renyahnya.
            “I miss my lesung pipi. Kayaknya dulu aku lebih cakep deh.”
Arka mengedik, “Entahlah, tapi dulu aku ngga naksir tuh sama kamu. Terlalu cantik soalnya, saingannya banyak,” kata Arka ringan, “eeeh, jangan ngeliatin aku kayak gitu juga, kali. Dulu hubungan kita sudah terlalu baik, rasanya kaku banget kalo harus ‘ganti kulit’. Ini aja aku mau pacaran sama kamu gara-gara kamunya hilang ingatan, seenggaknya sifat jeleknya juga ngga separah dulu, hahaha...”
            “Iya. Dulu aku orangnya galak, kan. Shouting everywhere, to everyone.” Aku menyambung ucapan Arka tanpa senyum, dan dibalasnya lagi dengan tawa renyah. Entahlah, dibalik candaan Arka tadi, aku tahu kali ini dia serius. At least, hubungan kita tidak se-korea yang aku bayangkan. Arka bukan dokter cakep nan single yang tiba-tiba jatuh cinta denganku—dia adalah teman SMA-ku yang cukup dekat. Dan dia orang satu-satunya yang bisa kupercaya pasca kecelakaan itu.
            “Tembilahan itu daerah rawa-rawa. Pertama kali aku belajar berenang itu bukan di kolam, loh. Tapi di sungai. Look, aku dibesarkan oleh omega 3. Tiap hari selalu ada seafood segar di meja makan, entah itu ikan, kerang, udang atau kepiting. For my childhood, this is the perfect place. Banyak teman sepantaran di mana-mana. Ya, ngga heran sih, soalnya ini kan daerah kecil, semua bokap nyokap pada saling kenal. Tiap kali ketemu, pasti nanya-nya, “Kamu anaknya Toko Cahaya Jaya, kan?” hahaha..” mata Arka menerawang, penuh nostalgia, “oh ya, di sini juga bisa banjir, tapi ngga bikin menderita kayak di Jakarta. Namanya air pasang, akhir tahun begini, jangan heran kalo ada separo jalanan bisa tergenang air. Hehehe.. tapi pas aku kecil juga seru banget maen begini—walaupun balik-balik pasti dihukum sama nyokap sih.”
            “Tau ngga, awalnya aku pikir, Tembilahan itu sama kayak desa-desa di film-film gitu. Ada orang-orangan padi beserta hamparan sawah dan irigasi, anak-anak kecil lagi bawa baling-baling di tengah jalan sempit, dan gubuk di mana nenek-nenek duduk santai mengunyah sirih.” Aku berasa sedikit dumbfounded, definisi kampung halaman ternyata lebih jauh dari apa yang pernah kubayangkan.
            “Hahaha.. Itu kan desa di Pulau Jawa. Sekarang lihat yang di sini dong. Ini bukan desa walaupun masih ada petani dan nelayan. Tembilahan itu... ibarat kota yang terlalu kecil, tapi semua kebutuhan basic bisa terpenuhi. Udara yang masih bersih dan seger, suasana kekeluargaan yang akrab... that’s why i love being here, darling,”Arka mengedip genit sambil melempar pandangannya ke arah jalan yang sudah semakin melebar—mobil kita yang sudah mulai mencapai jantung kota kecil ini. Motor-motor terlihat berlalu lalang dengan santai, toko-toko kecil yang berjejer lengang di sela jalan raya.
            “Aaaaa.. aku rindu jajanan pasar!” seru Arka riang begitu mobil melewati pasar dadakan yang menjual sayur dan buah, serta... “aaaaa.. lagi musim duren!!! See? Sure you will enjoy here much..” ia terlihat begitu antusias. Aku masih dilanda culture shock. Entahlah. Aku terlalu capek untuk memamerkan seulas senyum tipis, hanya ingin mandi dengan air hangat, lalu tepar setepar-teparnya.
            “Ck! Pelit banget sih senyumnya!” protes Arka, sebentar saja. Lalu ia kembali sibuk berdecak kagum, seperti kembali berkenalan dengan kampung halamannya. Sudah sembilan tahun ya, Ar, memang sudah saatnya kamu kembali ke pelukan mereka yang membesarkanmu.

***

Aku mencintai semua tentang Arka, kecuali tempat dia dilahirkan! Swear! Lelek-lelek terompet—atau yang biasa kita kenal sebagai Mas-mas penjual terompet sama sekali tidak menarik perhatianku. Kota ini...terlalu tidak nyaman. Arka bilang, sebagian kecil warga di sini memang memiliki penghasilan pasif dari sarang burung walet, yang bertengger di ruko-ruko tempat mereka tinggal. Suara burung walet dari kaset rekaman yang mengganggu tidur siangku, air untuk mandi yang berwarna cokelat muda! Astaga! Dan aku lebih terperanjat lagi begitu tahu warga di sini sudah terbiasa dengan air seperti itu, apa boleh buat... aku memilih mandi dengan air galon.
            “Hahaha.. We’ll see, sampe kapan kamu bertahan. Mungkin cuma sampe kita merit kali ya, abis itu Mamaku pasti mencak-mencak deh sama kamu, hahaha...” Arka sampai jujur banget bercandanya, “eh, senyum kamu serem loh, pelit banget. Becanda deh, becandaaa..” ia lagi-lagi menowel pipiku sambil tersenyum polos. Tapi harus kuakui bahwa aku suka makanan di sini. Sarapan dan nongkrong di kedai kopi sambil mengamati para manusia yang bersantai dan menyesap teh hangat, semangkuk mie pangsit atau lontong soto. Satu hari yang paling berkesan selama 2 minggu keberadaanku di sini adalah saat Arka mengajakku keliling kota Tembilahan. Sore yang tidak begitu ramai, namun tidak pula sepi. Tidak panas, tidak dingin.
            “Ini sekolahku dulu, lantainya masih ada yang pake papan, ada kolam di depan kelas. Aku masih inget banget ada buanyak bunga teratai di sana dan ikan, hehe.. Jadi tiep seminggu sekali, ada gotong royong ngebersihin kolam ini. Kalo telat ato ngga dateng, hukumannya disuruh bawa satu sak semen. Rese banget ngga sih, hahaha..” Arka tergelak, “and see, di sini berjejer lelek-lelek yang jual makanan, mulai dari ayam goreng, siomay, bakwan pake sambel yang enak banget, sate sosis, dan mie kriuk-kriuk.”
            “No worry kamu dulu gendut banget,” celetukku.
            “Trus ini tuh deket jalan ke rumah guru matematika-ku. Lucu deh, dulu waktu SD nge-les di sana, aku sama temenku sempet nyebur ke parit di sini nih, gara-gara dikejar si bapak guru,” cerita Arka.
            “Emangnya kenapa?”
            “Sepedanya terlalu unik sih, sepeda ontel warna pink ngejreng. Trus kita orang rese deh, nyembunyiin koncinya. Rencananya sih mau nyobain naik sepedanya, eh ketahuan, jadi ya gitu deh. Hehehe..”
            Aku tersenyum diam-diam. Beneran deh, dengan karakter Arka yang sekarang, sudah tertebak masa kecilnya yang seperti apa. Sejenak, aku iri—kecelakaan itu melahap segala memori, termasuk masa kecilku. Tapi tidak apa-apa, sejenak aku bisa meminjam cerita kocak Arka. At least untuk sementara, sebelum aku sembuh total—atau tidak sama sekali.
            “Jo, kamu lagi bengong, ya?!” Suara renyah Arka yang setengah berteriak mengganggu khayalanku.
            “Hah? Enggak kok,” Aku menjawab, “ini kita mau kemana?”
            “Hmm.. makan baklor, yuk! Sebenernya cuma telor dadar goreng pake kecap sih, tapi enak deh!”
            “Oke!”
Mengobrol sambil berkendara motor dengan angin yang kadang sedikit kencang butuh suara yang lebih keras, dan entah kenapa aku begitu menikmatinya.
            “ARKA!”
Arka mengerem motornya mendadak. Seorang pria berkulit hitam dengan singlet putih dan celana pendek melambaikan tangan kanannya, tangan kirinya memegang selang cuci motor.
            “HEEEEEEI!” balas Arka antusias, ia segera memarkir motornya sambil berbisik, “ini mukanya familiar banget deh, kayaknya temen SMP-ku. Tapi aku lupa namanya.” Arka mengedip padaku sambil menarik tanganku, mendekati pria itu.
            “Masih ingatkah sama kawan kau satu ni?” suara nyaring pria itu begitu antusias, ia menepuk pundak Arka sambil bersalaman. Oh ya, did i tell you, mayoritas penduduk di sini bersuku Melayu dan Banjar, kadang aku sama sekali tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Sedikit-sedikit masih oke sih.
            “Ingat lah. Cam mana pulak bisa lupa.” Arka menyengir.
            “Kalau gitu, siapa nama aku? Tau, leh? (tau, kah?)” pancing pria itu, dan tidak lama kemudian mereka sama-sama terbahak. Namanya Sahrudin, dipanggil Udin. Teman satu bangku Arka ketika SD kelas 6, teman main layangan, main guli, main lompat tali sambil gangguin cewek, dan teman berebut tamagochi. Sekarang, ayah dari dua anak ini sudah punya usaha cuci motor dengan warung sembako di sebelahnya.
            “Kau ingat leh, dulu pas kecik, kita main gambaran di kelas, habis tu kenak marahi sama ibuk guru. Habis gambaran kita diambilinya, pas pulangan baru dibalekkannya. (Kamu ingat ngga, waktu kecil, kita main gambaran di kelas, trus dimarahi Ibu guru. Ibu guru mengambil semua gambaran kita, waktu pulang sekolah baru dikembaliin)” Logat banjar Udin begitu kentara, aku harus pasang kuping baik-baik nih supaya mengerti.
            “Gambaran itu apa sih?” celetukku, penasaran.
            “Gambaran itu, kayak kartu kecil-kecil dari karton. Gambarnya macem-macem, ada power rangers, ksatria baja hitam... Nah, kita biasa ngumpulin itu dari main tebak-tebakan ato main tos-tosan. Siapa yang paling banyak, itu yang menang. Oke din, lanjut!” Arka begitu tertarik dengan cerita Udin.
            “Kemaren aku barusan beberes, trus liatku, ternyata ada hak tulisan ibuk tu di belakang. Dia kayak tulis kata-kata mutiara gitu, pang. Sayang pulak aku nak buangi, tapi kalau tarok rumah takut disobek anakku. Nanti besarek mamaknya. Kau mau leh? Buat kenang-kenangan. (Kemarin aku habis beres-beres, trus aku lihat ada tulisan Ibu Guru di belakang. Dia nulis kata-kata mutiara, gitu loh. Sayang kalo dibuang, tapi kalo ditaro di rumah, takut disobek anakku. Nanti dimarahi Mamanya. Kamu mau, kah?)”
            “Boleh lah juak (Boleh juga). Hahaha...” Arka sedikit takjub dengan kemampuan berbahasa banjar dia... yang ternyata masih bisa diperhitungkan. Udin saja tergelak. Ia masuk ke dalam rumahnya dan keluar dengan sekantong plastik gambaran. Arka terperanjat, tertawa, dan menerimanya. Senyumnya ceria sekali, aku sampai tidak tahan untuk tidak tersenyum... pelit.
            “Tadi pagi aku nampak Ricko. Dia ada balek ke rumah kau, tak?”
Tahok. (tauk.) Coba aku liati di rumah. Aku balek dulu ya. Magrib dah. Nanti ada waktu ke sini lagi. Makasih lah!”
            “Ayuhak. Mun kadak aku aja ke sana. (Oke deh. Kalau tidak, aku aja yang ke sana). Hati-hati lah...”
Arka mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menyambar kantong plastik yang hampir saja ketinggalan. Sepanjang jalan, Arka hanya bersiul-siul pelan seperti biasa, kelihatannya sudah capek ngobrol. Aku mengambil satu gambaran—gambar power rangers warna kuning melawan monster bermata capung, dibaliknya tertulis: apa yang sudah menjadi milikmu, tidak akan pernah lari darimu. Demikian pula apa yang bukan milikmu, tidak akan pernah bisa kamu miliki.
Sejenak. Deja vu.
Aku pernah datang ke kota ini...
Aku tidak pernah seyakin ini, dan aku juga tidak pernah seragu ini...

***

Suara terompet di mana-mana. Letupan bunyi kembang api kadang terdengar, pantulan sinarnya di langit hitam menyala sebentar-sebentar. Jagung-jagung berjejer rapi di pemanggangan, tante Arka yang sibuk mengipasi sambil sesekali bergosip dengan anak ceweknya. Keponakan kembar Arka yang asyik bermain kembang api batangan, dan adik laki-laki Arka yang sibuk pacaran di sudut rooftop dekat bunga-bunga. Aku duduk menghadap balkon, setengah melamun, setengah berpikir keras. Memori seperti sudah di ujung otak, tapi kenapa tidak ada titik terang? Semua yang terjadi tadi sore begitu jelas, seperti terulang untuk kedua kalinya. Tapi, kenapa tidak ada Arka dalam setiap flashback yang kupikir kutemui?
            “AAAAAAH! Sosisnya kadaluarsa!” teriak Karin, anak tetangga Arka yang sudah remaja itu. Pipinya yang tembem terlihat mengunyah sate yang baru dibeli oleh tante Arka.
            “Tapi kami udah lapar, udah lapar...” keponakan Arka yang kembar merengek-rengek.
Aku beranjak menghampiri Karin dengan segera, “Rin, aku pergi beli sosis aja, ya? Di minimarket biasa, kan?” tanyaku.
            “Ng... tapi... memangnya Kakak dibolehin Kak Arka ya, pergi sendiri?”
            “Ngga papa. Aku bakal cepet balik kok, lagian Arka biasa kalo mandi lama kan? Hehe.. sini kunci motor kamu,” aku berusaha tersenyum semeyakinkan mungkin.
Karin tampak berpikir sejenak, lalu dengan kikuk menyerahkan kuncinya. Aku menyambut kunci itu dengan perasaan lega. Setidaknya bisa lari dari hingar-bingar keluarga Arka sejenak, dan mungkin saja angin di luar bisa memberi jalan keluar.

Tiba-tiba aku kangen Carrefour, padahal minimarket di sini begitu minimalis dan cukup lengkap. Entahlah, mungkin suasana yang begitu asing, namun sepertinya juga tidak asing. Harga 3 pak sosis yang barusan aku beli entah kenapa terasa lebih berat. Aku memarkir motorku di depan pintu rumah, dan bersiap membuka pintu. Handphone ku sudah meraung-raung, sepertinya Arka sudah selesai mandi.
Pintu terbuka.
Aku terkesiap.
Dan sosok di depanku, tinggi menjulang dengan ekspresi datar. Wajah yang sama dengan Arka, hanya saja sedikit lebih hitam; tatapan yang lebih tajam dengan alis yang lebih tebal; dan rahang yang tegas. Sekelumit cerita di balik tatapan sosok itu tiba-tiba membanjir, semakin lama... semakin banyak. 
Jantungku serasa copot ke lantai... namanya Ricko.
Dan dia, teriak-teriakan kita, rem yang berdecit, asap yang mengepul, dan sirene yang berdenging...

Awalnya Arka tidak bermaksud untuk menyelamatkanku, dia ingin menyelamatkan abangnya. Lalu kebetulan menemukanku juga. Bukankah begitu?
Ricko mengangguk sopan, dengan senyum kering nan pelit yang dipaksakan. Sekarang aku mengerti, mengapa Arka selalu bilang bahwa ia suka dengan senyum pelitku. Ini sama sekali bukan caraku tersenyum.
Aku menatap Ricko dengan nanar, setelah pertengkaran yang diakhiri dengan kecelakaan itu, kami hanya bertukar senyum formal? Sesederhana itu, kah? 
Duniaku serasa runtuh.
            “Sori, saya mau lewat.” Ricko melewatiku begitu saja, dengan Karin yang mengekor di belakang. Aku menelan ludah, pahit. Semua ingatan yang kembali terlalu bertubi-tubi, menyisakan banyak sekali pertanyaan mengapa-tidak-ada-yang-memberi-tahu.
            “RICKO!” aku berbalik dan meneriakkan namanya. Ia tampak kaget, namun sedetik kemudian ekspresinya kembali datar.
Aku menarik nafas, memungut sisa-sisa keberanian. “Kenalin, nama saya Joanna.” Aku mengulurkan tanganku—sedikit gemetar. Ricko menatap tanganku yang menggantung di udara dalam diam, lalu menyalamiku dengan tangan kirinya, “Kamu ajaibnya sudah tau namaku, ya. Sori pake tangan kiri, tapi tangan kananku udah ngga bisa dipakai lagi.” Ricko tersenyum samar.
            “Ngga papa. Saya tunangannya Arka. Kalau diijinkan, saya mau mengenal calon adik ipar saya, lebih dekat dan lebih apa-adanya.”
Sesaat Ricko tampak tertegun, kedua bola matanya tak berkedip. 
Aku melemparkan senyum pelit, lalu membalikkan badan dan seluruh pipiku mulai basah. Nafasku terasa sesak dan hidungku mulai tersumbat. Kulihat Arka yang berdiri mematung di depanku, dan sayup-sayup suara Ricko, Karin, dan para tetangga meneriakkan countdown tahun baru. Riuh rendah bercampur dengan letus-letusan kembang api dan terompet.
            “Lima... Empat... Tiga... Dua... Saaaaatuuu... Happy New Yeeeeaaaarr!!!!”
Aku membenamkan diriku dalam pelukan Arka yang semakin mengencang, sambil sesekali menyeka ingusku yang tak henti-hentinya berderai.
            “Sorry, Joanna. Aku tidak pernah berani untuk kasih tahu kamu, kecelakaan itu, tidak hanya merenggut ingatanmu, tapi ingatan Ricko juga. This is what i only can do, i am so sorry...”
Tubuhku gemetaran. Aku menggeleng, “I’m okay, Ar. It’s okay. Sekarang aku udah mengerti, aku ngga papa. Tapi, aku akan selalu membawa senyum pelitnya Ricko. I just... can’t smiling like yours, anymore. Ngga papa, kan?”
            “I can wait, just take your time. My smile, used to be yours, too. Senyum kita itu sama kali, dulunya.” Arka menepuk kepalaku pelan sambil tertawa pelan, “anyway, happy new year.

***

            “Kak Ricko berusaha menerabas masuk ke hall. Gimana nih?” tanya Karin gelisah. Aku mendongak, heels ku masih belum terpakai sempurna. Gaun pengantin ini terlalu panjang dan mengembang, kakiku entah ngumpet di mana.
            “Kenapa?”
            “Eh, Kak Joanna. Kak Arka mana?” Karin terlihat sedikit salah tingkah.
            “Lagi di toilet. Just tell me, kenapa sih?” aku tersenyum lebar, berusaha menenangkan kegelisahan Karin.
            “Ngg... Kak Ricko bilang,” Karin menggaruk kepalanya, sangat uneasy, “...dia udah ingat semuanya...”


...apa yang sudah menjadi milikmu, tidak akan pernah lari darimu. 
demikian pula apa yang bukan milikmu, tidak akan pernah bisa kamu miliki.

Monday, December 30, 2013

Hello Year-end! (2013)

steps, freely yet carefully.

Kembang api sesayup sudah berkoar di mana-mana. 
Barangkali sebagai ucapan selamat tinggal yang sopan, kepada 365 hari yang sudah terlalui—dengan macam-macam warna dan corak. 
2013 adalah tahun yang mendorong saya untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak berani saya lakukan, membiarkan saya mengambil keputusan-keputusan yang mengantarkan saya sampai pada saya yang sekarang, saya yang masih belajar untuk tidak rewel, tidak mengeluh dalam melakukan hal-hal yang sudah sepatutnya harus saya lakukan, dan tentunya yang paling krusial adalah... bangun pagi.

Baiklah, saya rasa memang itu yang harus jadi PR saya nomor satu di 2014. 
Terlalu memanjakan rasa kantuk ternyata membawa sial yang beruntun, yang selalu saya maklumi. Ah, ini tentu tidak baik, dan semua orang tau itu. Tapi, saya terlalu berbelas kasih dengan sifat jelek saya yang satu ini, dan kadang menyogoknya dengan seonggok bubuk kopi untuk menampar mata saya agar senantiasa awas. Bagaimanapun, berpesta di tengah malam sambil tenggelam dalam tebalnya buku atau layar laptop selalu menjadi candu. Ah, burung hantu.

Anyway, saya kembali dipertemukan dengan segala hal baik—ya, segala yang terjadi adalah hal yang baik yang membantu saya untuk bertumbuh—dan saya sangat berterimakasih atas itu. 
Tentang definisi kebebasan saya yang perlahan mulai menemukan ‘rumah’ barunya, 
tentang hubungan dan menjaga hubungan dengan orang-orang sekitar yang sangat saya sayangi, 
tentang menjaga diri saya sendiri dari segala energi yang tidak mungkin dihindari—namun sangat mungkin untuk ditanggulangi, 
tentang mengambil alih tugas ‘dunia luar’ yang bertanggungjawab atas kebahagiaan saya menjadi tugas saya sendiri (and it was truly deliberating), 
dan tentang menjadi yang terbaik yang diri saya bisa.

Tahun ini, saya juga belajar tentang yang namanya keberanian. Bukan hanya berani naik roller coaster paling cepat di dunia di Trans Studio Bandung, menonton film horror karena dipaksa teman-teman sialan saya, atau nekat membawa bonyok saya ke Malaka padahal saya tidak pernah kesana sebelumnya dan pernah punya pengalaman buruk ketinggalan pesawat, namun juga berani menghadapi keputusan yang telah saya ambil. 
Ini tentu saja tidak mudah, karena saya begitu terbiasa untuk lari dan bersembunyi saja dalam tawa tolol atau ‘kelupaan’ yang ‘imut’. Namun, saya terkagum-kagum atas rasa setelah berhasil melewatinya, lega yang menenangkan, walaupun saya tahu kemudian akan datang ‘ancaman-ancaman’ lain yang menodong keberanian saya untuk maju lagi. 
Lama-lama itu semua menjadi seru, dan perasaan menyalahkan diri sendiri perlahan menjadi pudar.

Pemaafan atas diri sendiri dan segala konsep yang sudah tertanam dalam benak ternyata juga butuh usaha yang berkesinambungan. Bukan hanya sekali, namun terus....menerus. Tapi itu semua seakan membukakan mata, untuk melihat apa-adanya. 
Bukan semata-mata karena asuhan dari generasi atas, namun juga pohon keluarga dan sebatas dunia yang mereka ketahui. Jadi, sekarang saya bebas untuk melepaskan ajaran apapun yang saya rasa tidak cocok, dan dengan bebas memilih apa yang terbaik untuk diri saya. Wow! Rasanya begitu senang! 
Dan menerima dengan baik, bahwa memori di otak tidak begitu bisa diandalkan, begitu pula dengan semua kenangan—saat kita menengok ke belakang. It’s okay to look back, but just don’t live there.

Saya akan membawa hal-hal baik yang bisa saya lakukan, mendoakan hal-hal baik untuk terjadi kepada semua orang—terutama yang di sekitar saya, dan menjadi alasan bagi kebahagiaan orang lain. Sesederhana itu, dan hidup saya berubah menjadi lebih baik.

Oh ya, satu lagi. Mimpi saya di tahun 2013 satu-satu tercapai dan membawa bahagia yang membuncah. Namun, ada juga yang masih ‘mengantri’. Ada yang sudah mengantri saaaaangat lama, sudah capek untuk marah dan kesal—dan akhirnya menunggu lagi. 
But, it won’t be forgotten, darling. Saya sedang mengusahakannya, karena saya sendiri juga sedang terus menjaga mimpi itu. Semoga 2014 terwujud! *fingercrossed*. Dan berhubung saya sekarang adalah seorang sarjana, maka mimpi baru saya sudah dibangun pelan-pelan, dan apa yang ingin saya kerjakan adalah pekerjaan yang bisa mendekatkan diri saya dengan mimpi saya. Semoga semua berjalan lancar, and yes, i’m very ready to explore every experiences!


2014. grow and glow!

“The so-called home isn't always the place where you raised and grew. 
It's where you can be fully accepted as an human being.. 
it's also the place that allows you to grow and glow, 
to push your limit, to let you fall down, cry, but never want to give up. 
Place where you giving your all passionately, 
to be a better person with a fairer sight of view, 
to service with all your heart and love. 
Place that makes you safe, yet make you always on fire...
on catching your own breath.”
-4 September 2013-



 Bonjour 2014!