Thursday, August 27, 2015

Serendipity, a meaning of prayer.


prayer will definitely answered
  in an unimaginable way before
as long as you patient enough
or you will be surprised one day, it has been answered

prayers will always change
so do this life
then,
when the prayer in the past
has been answered now
and make your future worries
well, that's funny.

if prayer is defined as wind
tell me how to stop the chasing wind?

close the door.
 and pretend that you are facing storms.

silly, though.
and now i pray for serendipity
the best way to do with expectation
is to stop playing with it.

let just happen,
or let just be unbroken.

Tuesday, August 25, 2015

Dihanyutkan Windy Ariestanty di #AwesomeJourney

Jangan pernah berhenti berdoa. 
Walaupun dari kata-kata biasa yang terlontar sewaktu mengobrol dengan teman:

"Eh, yuk lah, ada workshop kepenulisan lagi nih di salah satu co-working space di Selatan." Minggu lalu, saya mengajak teman kantor saya yang juga suka menulis.

"Pembicaranya yang ini biasa ajaaa, Naaa.. Lu bagusnya ke acara yang pembicaranya sekelas Windy Ariestanty, dkk."

Saya hanya manggut-manggut saat itu. Entah kapan, entah bagaimana. Level kekepoan saya melaporkan, penulis satu ini adalah spesies traveler yang (kayaknya) jarang menetap di Jakarta. Tapi, sesederhana itu semuanya terjawab beberapa hari kemudian. Nulisbuku akan menyelenggarakan Writing Your Awesome Journey menggandeng Mbak Windy! DEMI APAAAA. Singkat kata, sampailah saya di Comic Cafe, Tebet - sabtu pagi - bersama segambreng manusia-manusia yang dikabarkan membludak demi ikutan acara ini juga.

konon katanya, ini adalah acara Nulisbuku dengan
jumlah peserta terrrrrbanyak! Uye!

A Life Traveller, A Summary.
Kesan pertama, Windy Ariestanty... charming. Ia seakan punya energi yang melesakkan semua pengunjung untuk masuk dan terlibat bersama kisah-kisahnya. Mulai dari Yapen, Maroko dan Kota Biru, Myanmar, pulau kecil di dekat Labuan Bajo (kalau mau tahu informasi detil tentang tempat-tempat yang diceritakan, bisa intip tulisan teman saya di sini)... seakan-akan saya sendiri yang sedang traveling ke sana. She is one of the best story teller i've ever seen. Jujur, lantang dan konyol! Gesturnya, caranya menyisir rambut dengan jarinya sambil ngobrol nyablak dan kadang pake 'sound effect' (apalagi di bagian ia berinteraksi dengan masyarakat sekitar memakai bahasa yang sama-sama tidak dimengerti, tapi bisa nyambung terusss)... pokoknya seru, aja!

Satu yang berkesan, Mbak Windy menunjukkan pada saya pentingnya menjadi terbuka; tidak membungkam diri dan bebas sepenuhnya menjadi diri sendiri. Traveling, berinteraksi dengan manusia-manusia sama halnya seperti membiarkan kita mengenal diri kita lebih dalam lagi. Mengizinkan diri kita terlibat dan membuka benteng. Di situlah interaksi dan komunikasi dimulai. Membuka mata. Traveling, meruntuhkan dinding-dinding dan batasan yang pernah kita ciptakan sendiri agar bisa pulang ke rumah.

Menulis, mendongengkan pengalaman dan rasa, melampaui ruang dan waktu.

"Orang sukanya diberi cerita, bukan diberi tahu. Dan itu berlaku untuk segala umur." 
Seorang penulis tak ada bedanya dengan story teller. Menulis, sama mudahnya dengan bercerita. Mengobrol.
Setiap yang membaca, yang mendengar adalah tamu. Tugas kita sebagai tuan rumah adalah selalu memberikan yang terbaik; menceritakan dari sisi diri yang paling true dan apa adanya. Tidak usah sengaja dirunut, tidak usah pula dilabeli apa-apa, karena tidak ada tempat yang ingin dilabeli oleh pengunjungnya.

Menulis tentang perjalanan, membiarkan diri kita ditemukan oleh cerita itu sendiri. Kita hanya perlu menentukan satu premis nya - satu starting point untuk mengeksplorasi cerita kita. Saya umpamakan premis sebagai benang layang-layang. Layang-layang bisa menjamah seluruh langit, ke mana saja, namun kita sebagai penulis lah yang memegang benangnya, memastikan tidak terputus dan hilang arah. Dengan adanya premis, kata kunci, peristiwa kunci,  kita bisa menulis 'kronologi' yang lebih fleksibel. 

Terakhir, sampaikanlah cerita dengan tepat; dengan cara yang khas. Tulislah dengan sungguh-sungguh... dan jangan pernah berharap untuk menciptakan tulisan yang memukau, karena memukau adalah hasil. Jadi, menulislah dengan buruk, tapi edit-lah dengan baik!


Tan and charming, thank you for the energy, Mbak Windy!

And A Short Conversation
"Terima kasih buat semua yang udah dateng...."
Nah! Tiap kali mendengar ucapan seperti ini dari MC, pasti muncul pertanyaan yang belum sempat ditanyakan di sesi. Untungnya, saya bisa punya kesempatan untuk 'konsultasi' dadakan bersama Mbak Windy. Terima kasih sudah mengingatkan saya untuk berpegang teguh pada tujuan dan untuk-apa-dan-siapa kamu menulis, menikmati hidup sepenuhnya dan menebarkan pengetahuan dengan cara apapun yang kamu bisa. Saya terenyuh ketika ada seseorang yang mengajak Mbak Windy untuk mengajar baca-tulis. Mbak Windy langsung menyambut tawaran itu, "Hanya itu yang bisa saya lakukan." ujarnya saat itu. Nyessss. Terenyuh, bo.

Saya: "Mbak, kalo traveling gitu, di tempat yang bahasanya ngga dipahami, emangnya ngga takut ditipu atau dijahatin, ya?"

Mbak Windy: "Lho, kenapa mesti takut? Toh, ngga ada tempat yang aman di dunia ini. Kamu mau di Jakarta pun, bisa aja ditipu, toh?"

Juara!

Setiap kali ikut acara seperti ini, 
selalu menyulut kembali bara untuk menulis dengan lebih baik lagi, 
dengan penuh kesungguhan, 
dan entah sesibuk apapun... 
tetaplah menulis. 
Karena menulis, adalah menuang momentum. 
Karena menulis, adalah cara merayakan saat ini.


Credits
Terima kasih banyak kepada Tim Nulisbuku yang menjadikan semua ini nyata, tak pernah lelah menjadikan mimpi-mimpi kami, para penulis pemula, untuk bertemu dengan tokoh-tokoh inspiratif. 

Terima kasih kepada Mbak Meutia Ayu sebagai bintang tamu yang memperkenalkan puisi dengan cara yang lebih 'manusiawi.' Semoga ada kesempatan untuk saling berbagi puisi di kelak hari.

Terima kasih Yayasan KEHATI dan pengumuman pemenangnya, dunia memang sempit, saya mendengar nama teman saya, Kingkin Kinamu yang dinobatkan menjadi salah seorang pemenang! Yay!

Tuesday, August 18, 2015

Saya gagal menjadi orang gagal.

Saya terlalu banyak berpikir. Kepala memang tidak pecah, namun segalanya terbelah. 
Antah berantah. 
Apakah ini yang benar, apakah itu yang benar, ataukah sebenarnya tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada pula yang benar-benar tidak benar. Lalu, apa pula itu benar?

Terlepas dari segalanya, kebenaran mungkin bukan hal penting yang patut diperjuangkan. Di atas segalanya, saya mengandalkan hati. Hati tahu segala yang perlu tindaklanjut ketika tidak sedang teraduk emosi. Hati tahu jalan apa yang bisa dilewati ketika segala pikir sedang berkecamuk.

Dan hati saya, sekarang teramat tidak nyaman.

Mengapa sulit menyingkirkan perasaan sesal karena melakukan hal yang sudah tahu tidak tepat? 
Apakah karena di waktu itu tidak tahu bahwa hal itu ternyata tidak tepat? 
Saya benci penyesalan yang datangnya belakangan, walaupun yang datang duluan itu biasanya pendaftaran. 
Saya benci perasaan tidak mampu mengelola perasaan, karena saya tahu saya bisa lebih mampu dengan pengetahuan yang sudah saya pelajari.

Kadang dunia ini lucu, atau saya-nya yang lebih lucu. 
Untuk apa dunia berkata yang tidak benar tentang saya? 
Untuk apa saya menganggap dunia telah berkata hal yang tidak benar tentang saya? 
Lalu, apakah saya berhak melarang dunia beserta seluruh anggapannya? 
Atau, saya berhak dilarang dunia untuk berpikir bahwa dunia telah menganggap saya sedemikian rupa?

Baiklah, mari tidak membuat ini semua rumit dan terus melulu berputar di dimensi dan derajat yang melelahkan.
Sebut saja, saya sedang berpikir. Terlalu memikirkan.

Sudah malam, pikiran kadang mengecoh, kadang terkecoh. Kalau tidur bisa menyelesaikan masalah - atau hanya menunda masalah untuk kelak menghampiri lagi, baiklah. Saya ingin duduk berhadapan dengan pikiran, bertanya apa maunya dan mengapa ia terus mencipta kabut-kabut membubung yang melesakkan segala emosi saya hingga saya terlihat seperti orang tak punya hati lalu melakukan hal bodoh yang semestinya tidak usah capek-capek saya lakukan.

Sini.
Ke sini kau.

Dan hati saya, sekarang teramat sedih.

Pikiran-pikiran menggiring ke janji, komitmen pada diri sendiri lagi-lagi tidak sesuai dengan ekspektasi. Mungkin - lagi-lagi mungkin, saya terlalu banyak berkutat pada kemungkinan yang tak mungkin senyap... Hei, mengapa pula kau bersedih? Apakah karena rasa sesal tercecap seperti membohongi diri sendiri?

Saya hanya ingin hari ini menjadi bermakna, sehingga saya bisa menghadiahkan makna hari ini pada seseorang yang sangat saya hormati yang sedang berulangtahun. Saya sedih, karena saya merasa tak bisa maksimal mempersembahkan sesuatu.  

Hidup yang berani. Saya tak boleh melesak terlalu lama, saya sudah boleh melesat dan kembali bertanggungjawab dengan apapun yang telah saya perbuat, dengan berani.

Hari ini,
saya berkenalan lebih dalam lagi dengan sosok saya yang selalu mengutamakan "saya," dengan sosok peragu yang ingin segera lekat dengan kebenaran sesungguhnya, 
sosok yang berbisik halus di hati, "Jangan paksakan rumput untuk tumbuh. Ia akan tumbuh sendiri." 

Bertumbuh dalam pengalaman apapun yang ada.
Mengalami pertumbuhan apa adanya, tanpa pestisida, tanpa harus meresahkan akan menjadi ilalang atau bunga. 

Bertumbuh, saja.

Saat-saat paling sepi,
sisi-sisi paling sunyi,
kau dapat dengar kicau dari benakmu meracau,
kacau balau yang parau,
dan kau tetap terpukau.
Kau... jatuh hati lagi.

Jakarta, 18 Agustus 2015

Tuesday, August 4, 2015

Belabar 2015 Bersama Om Salim: Kura-kura Dalam Perahu, Ada Jawaban yang Tak Perlu Ditahu


Ini tahun ketiga saya.
Waktu melesat seperti cahaya, namun menerapkan ajaran Om selalu membawa perubahan yang sedikit-sedikit, tanpa disadari menggeser arah hidup—yang dahulunya kurang terarah—menjadi lebih cerah dengan suluh kepedulian.

Ada pohon di amazon tumbang, tapi tidak ada orang yang mendengar.
Pertanyaannya, apakah pohon tersebut bersuara?

Berbeda dengan Belabar tahun sebelumnya yang berkesan ‘adem’ dan tak banyak pertanyaan yang merongrong, Belabar kali ini menyeret saya pada banyak pertanyaan tak tuntas yang terus berkecamuk di benak—walau kadang saya mengerti itu hanyalah pertanyaan yang mungkin tak butuh jawaban, melainkan butuh verifikasi. Dan Om seakan tahu bagaimana pertanyaan tersebut harus bermuara, entah pada jawaban yang menganga atau ditebas dengan tegas.

Adyavesaya.
‘Cara pandang bahwa suatu kejadian harus seperti yang saya harapkan.’

Berkali-kali, Om menutup pertanyaan dengan mengungkit istilah ini. Saya bingung, bukankah suatu kebenaran harus dipertanyakan, dibolak-balik dari berbagai sisi, hingga akhirnya kita yakin akan kebenaran tersebut? Saya hanya menyayangkan diri saya yang menyetujui segala sesuatu yang ‘disebut dharma,’ namun ketika digoyahkan dan dipertanyakan… segala keyakinan luluhlantak menjadi pertanyaan lagi. Kalau sudah begitu, untuk apa?

Adyavesaya, lagi-lagi.

Di satu titik, lamat-lamat saya seperti mengerti bahwa mencari jawaban bukanlah membongkar batu-batu untuk menemukan udang di baliknya, melainkan membongkar rasa ingin menemukan itu sendiri. 
Saya juga bersyukur dan tersentuh, karena di sela-sela pencarian, banyak teman-teman yang pengertian dan sabar dalam menjelaskan. Di sela-sela penjelasan itulah, pertanyaan-pertanyaan menjadi kabur dan saya pun menjadi semakin bingung dan di saat bersamaan semakin paham pula.

Ada jawaban, yang seiring waktu dan kapasitas akan menjadi semakin jelas, saya belajar menjadi lebih terampil dengannya. 

Ada jawaban, yang entah harus dijelaskan berapa kali agar akhirnya masuk ke hati. Agar gema ajarannya tidak hanya menggaung, tapi jernih dan (akhirnya membuat) merinding. 

Ada jawaban yang menjadi benderang ketika kita sudah terlalu lelah dan memutuskan untuk menyerah.

Each year, we discover new things, here.

Ajaibnya, setiap penjelasan Om dari tahun ke tahun, selalu membawa pengalaman dan pengertian yang berbeda. Demikian pula dengan pengetahuan yang dipelajari zaman sekolah dulu. Contohnya korelasi Catur Ariya Saccani yang dihafalkan sebagai: cara mengatasi dukkha, munculnya dukkha, sebab dukkha, berhentinya dukkha. Sekarang saya mengerti maksud dari 'semua ini seperti lingkaran, tidak ada awalnya.' Dulu, konsep ini selalu saya anggap sebagai one way yang sekali-jalan-lalu-selesai,  yang artinya sekali kita mengerti cara mengatasi dukkha, pastilah semua dukkha kita di hidup ini se-le-sai dan... TADAAA! Kita pun akan hidup bahagia selamanya karena sudah mencapai Nibbana! Ternyata, bukan begitu maksud Buddha. Ajaran-Nya lebih mirip sirkuit: jalan - selesai -tambah jago jalannya - selesai - jalan lagi... terus menerus seperti itu, dan dalam proses itu, kita terus menerus melatih dan mengembangkan sati agar senantiasa tajam, terampil dan menjadi berguna bagi sesama.

Solusi. Opsi. Om selalu hadir dengan lapangnya lahan yang sebenarnya bisa kita tumbuhkembangkan dalam hati ini, beserta ulasan sutta-sutta yang masih membuat kepala mengepul; hati kian bersyukur. Ada satu sutta yang begitu mengena di ulu hati:


Lokasamudaya Sutta: Sumber (Adanya) Loka
Samyutta Nikaya 35.107

Apakah sumber loka itu?
Dengan adanya mata dan wujud, muncullah kesadaran melihat (penglihatan).
1. Adanya mata, wujud, kesadaran melihat, terjadilah kontak (phassa)
2. Adanya kontak sebagai prasyarat, muncullah sensasi (vedana)
3. Adanya sensasi sebagai prasyarat, muncullah rasa tak berkecukupan (tanha)
3. Adanya rasa tak berkecukupan sebagai prasyarat, muncullah rasa butuh (upadana)
4. Adanya rasa butuh sebagai prasyarat, muncullah bhava ('menjadi')
5. Adanya bhava ('menjadi') sebagai prasyarat, muncullah jati ('kelahiran')
6. Adanya jati ('kelahiran') sebagai prasyarat, muncullah penuaan dan kematian (jaramarana), kesedihan, ratapan, penderitaan, kepedihan dan keputusasaan.


Sekilas, ini tampak mengerikan, sama 'jauh'nya ketika saya menghafalkan istilah pali di zaman sekolah dulu, seakan tidak ada harapan untuk kita keluar dari lingkaran ini dan kita akan terrrrruussss bertumimbal lahir. Satu-satunya yang bisa dilakukan hanyalah berbuat baik, dengan harapan terlahir menjadi orang yang baik pula. Tapi, hei, ternyata bukan seperti itu maksud Buddha! Hidup adalah proses yang berkesinambungan: ini ada, itu ada. Proses ini seperti rentetan pengalaman yang kita alami dari momen ke momen; kita yang terus mencipta 'sosok' dan cerita baru, memerankannya di alam kita sendiri. 'Kelahiran' alias jati-pun tidak bisa serta-merta diartikan harafiah sebagai seorang-ibu-melahirkan-anak. Hei, bukankah kita 'lahir' setiap momennya di cerita yang berbeda terus? Kalau begitu, Sumber Loka dalam sutta tersebut merujuk ke hidup kita setiap saat, dong! Ah, ini menakutkan sekaligus melegakan. Menakutkan karena mirisnya, kita sudah begitu sering tergulung-gulung di dalam Loka dan menganggap semuanya benar-benar terjadi. Melegakan karena... ada cara lebih elegan untuk mulai berupaya:


Lokasamudaya Sutta: Sumber (Adanya) Loka
Samyutta Nikaya 35.107

Apakah sumber loka itu?
Dengan adanya mata dan wujud, muncullah kesadaran melihat (penglihatan).
1. Adanya mata, wujud, kesadaran melihat, terjadilah kontak (phassa)
2. Adanya kontak sebagai prasyarat, muncullah sensasi (vedana)
3. Adanya sensasi sebagai prasyarat, muncullah rasa tak berkecukupan (tanha)
3. Adanya rasa tak berkecukupan sebagai prasyarat, muncullah rasa butuh (upadana)
4. Adanya rasa butuh sebagai prasyarat, muncullah bhava ('menjadi')
5. Adanya bhava ('menjadi') sebagai prasyarat, muncullah jati ('kelahiran')
6. Adanya jati ('kelahiran') sebagai prasyarat, muncullah penuaan dan kematian (jaramarana), kesedihan, ratapan, penderitaan, kepedihan dan keputusasaan.



Sekarang saya lebih mengerti Om, kenapa Om selalu menekankan pentingnya Kepedulian (Appamada). Awalnya, saya hanya melakukannya sebisa saya, karena secara kasatmata memang make sense bahwa kepedulian akan membawa kebahagiaan untuk orang yang lebih banyak. Namun dengan tahu lebih dalam, ternyata kepedulianlah yang menjadi antidot dari rasa tak berkecukupan! Dan dengan rontoknya rasa tak berkecukupan (diganti dengan kepedulian ini), maka kita bisa meruntuhkan sisa-sisa di bawahnya, yakni upadana, bhava, jati, jaramarana

Wow. Sungguh wow. "Siapa yang akan menganggap suatu kejadian sebagai penderitaan bila orang yang mengalami kejadian tersebut sama sekali tidak menderita?" Ini dia. Ini dia yang melegakan!

Senang atau sedih, semuanya bisa terjadi. Tapi kita tidak harus menderita. Karena 'menderita' adalah lapisan berikutnya, ketika kita merasa ADA yang SEHARUSNYA menderita, karena secara konvensional (menurut konvensi - persetujuan dari banyak pihak), ketika ada hal tidak enak terjadi, maka seharusnya ada penderitaan! Well, sekarang kita mengerti tentang konsep dan pilihan yang bisa kita ambil. 

Selain itu, meditasi doing nothing yang paling rese (karena tidak ngapa-ngapain dan bikin bingung) nyatanya membawa kesan mendalam. Ada begitu banyak kicau-kicau kacau yang parau terus datang dan pergi, kadang juga senyap hingga dikira lenyap - tapi ternyata masih menetap. Ini meditasi yang menantang, mengenal sisi diri yang lain dan sedang dilatih untuk dirutinkan hingga kini. Bila tiap hari bisa menyisihkan kesempatan untuk mengikis kilesa dengan bermeditasi, tunggu apa lagi?



Om and his best laughter captured! :)
Oh yes, another best laughter! :D

Semakin ikut Belabar, semakin saya bersyukur telah mengenal Om yang begitu charming dan penuh kehangatan. Beliau tak pernah lelah mengulang, menjelaskan dan memakai contoh-contoh yang berbeda sesuai dengan pengalaman kita masing-masing. Kisah yang dibagi oleh teman-teman Belabar pun begitu menggugah dan berani, hati ini tak hentinya tersentuh dan merinding, betapa... betapa beruntungnya kita semua.

Om yang tergelak menonton persembahan drama yang kocak, Om yang beranjali, Om yang dengan suara penuh kehangatan bertanya, "you all good?" sambil melirik jam, Om yang memperhatikan kita semua ketika bermeditasi dan encourage kita dari hari ke hari...



Terima kasih. Terima kasih banyak, Om. 


Untuk terus mengingatkan kita bahwa, memang dalam hidup ini banyak hal yang tak berjalan sesuai dengan rencana kita, tapi bukan berarti kita tidak bahagia dengan semua yang di luar rencana kita itu. Bahkan, malah lebih bahagia.

Untuk lebih tahu dan skillful. Merangkul daripada menolak, memberi daripada meminta. Punya mentalitas yang tidak lagi terus menuntut ataupun menyesal. Karena semuanya terjadi di dalam, kita pun punya inner strength and inner peace untuk selalu yakin pada apapun yang terjadi, kita pasti mampu menghadapinya.

Untuk segala pengetahuan yang memenuhi semesta ruang kita, selalu majunya bertahap, baby step, sehingga tidak perlu ada biji kacang hijau yang harus dipaksa menjadi kecambah; tidak perlu ada pengetahuan yang harus dipaksa untuk dimengerti sekarang juga.
Shunyata.
Thank you for the warmest hugs, Om. Feels like home as always.