Jangan 'Pelit' di Seribu Parit
Arka masih sibuk menyetir seperti tidak terjadi apa-apa,
masih saja tersenyum tipis sambil sesekali bersiul. Semua perasaan ingin
menangis sudah mendidih di hati—berusaha kutahan sekuat tenaga. Aku menggenggam
seatbelt kuat-kuat, begitu ujaran
ringan Arka terdengar, “Jo, ini lagu favoritmu kan? Nyanyi dong.” Ia
mengencangkan volume radio, lagunya Taylor Swift.
Because
the last time you saw me
Still
burns in the back in your mind...
Aku terkesiap.
Katamu, ini lagu yang paling aku gilai, jauh
sebelum kecelakaan hebat merenggut semua ingatanku.
Katamu, gara-gara lagu ini
juga aku kehilangan lesung pipi berikut senyum lebar yang katanya adalah kebanggaanku. Lalu, kapan
semua ingatanku bisa kembali? Aku sudah mulai kangen, dan bosan bertanya-tanya.
“Pas banget
ya, ini desember. So sorry we can’t
celebrate this new year in here.” Arka tetap tersenyum santai, “tapi, aku
jamin, countdown di kampung halamanku
juga pasti berkesan kok.”
Aku sudah tidak sanggup menekan
gelegak amarahku lagi, “Iya! Dan kita akan terus-menerus countdown di tempat itu
sampai kita tua!” suaraku meninggi, dan kulihat alis Arka yang sekarang
mengerut. “Oke, kamu bisa balik ke Jakarta kapanpun kamu mau kok!”
Oh, baiklah. Pertengkaran kita yang pertama. Setelah usaha
heroik Arka yang katanya menyelamatkanku dari kecelakaan parah di tol,
membawaku ke rumah sakit dan menjadi satu-satunya dokter yang berani mengambil
resiko untuk mengoperasiku. Lalu, cerita pun bergulir seperti drama korea yang
menjijikkan—namun benar-benar terjadi di hidupku. Tentu saja bagiku ini tidak
manis, karena drama korea biasa akan berakhir di letusan pesta kembang api di
tepi pantai, lalu aktor yang berlutut di depan aktris memintanya untuk menikah,
blablabla. Dan Arka? Ia melamarku sehabis CT
scan-ku yang terakhir, tepat di depan ruang operasi. Itupun kalau aku
setuju untuk ikut pulang ke kampung halamannya. Papa Arka menderita alzhemeir,
dan Arka terpaksa harus mengambil alih toko kelontong keluarganya yang sudah
melegenda di sana.
Melepaskan karir dokter di salah satu rumah sakit swasta
terkenal Jakarta, hanya untuk toko kelontong yang legendaris itu? Are you crazy?! Sesaat tiba-tiba aku
tersadar, aku tidak marah pada kenyataan akan pindah dari gemerlapnya kota
Jakarta, menuju daerah kecil yang sama sekali tidak bisa kutemukan di Google
Maps. Aku juga tidak marah karena Arka terkesan memaksaku untuk tinggal
bersamanya di sana.
Aku.... marah, sebab Arka akan seperti berlian yang
dicemplungkan ke dalam lumpur. Segala mimpinya tentang penelitian dan
eksperimen pengobatan yang lebih canggih dan hemat akan kandas begitu saja. Dan
aku... harus menyaksikan mimpi-mimpinya yang megah itu perlahan hilang ditelan
waktu, sampai akhirnya anak-anak kita nanti hanya akan mengenal Papa mereka
sebagai seorang bos besar yang tiap hari duduk di kasir menghitung duit.
***
Kata orang, bila ingin menikah, kita tidak hanya akan
menikah dengan orang tersebut, tapi juga dengan keluarganya. Aku tambahkan,
dengan lingkungannya juga. Aku mencintai segala tentang Arka, pemikirannya yang
mainstream namun terkadang begitu
menakjubkan. Sifatnya yang terlalu jenaka dan santai, tapi sangat seram kalau
lagi naik pitam. Arka sama sekali tidak punya wibawa dokter yang charming seperti malaikat, dia lebih
mirip dokter anak—mepet-mepet kayak badut. Tapi, tanpa Arka, aku tidak akan
pulih segini cepatnya. Di penghiburan dan buket bunga yang dia bawakan setiap
pagi, terselip banyak sekali semangat hidup yang membara—hingga aku berhasil
menemukan keluargaku kembali.
“Ar, nanti
bawa Joanna balik ke Jakarta lagi ya, mau Mami pingit dulu 3 bulan sebelom
dilepas ke kampungmu itu, hahaha...” Ibuku begitu bersyukur, anak bungsu-nya
selamat dari maut, sehingga kalimat apapun yang keluar dari mulut Arka dianggap sebagai
permata.
“Ih, Mami
norak banget. Kalo sayang anaknya, jangan dikasih hidup di desa, dong,”
selorohku asal.
“Udah aku
bilang, Tembilahan itu bukan desaaaa...” Arka mengacak rambutku gemas,
“yah, nanti kamu juga tau lah,”
“Pokoknya Mami
serahkan si Joanna sama ahlinya aja. Dijaga baik-baik ya!” Lihat saja tatapan
Ibuku ke Arka, udah kayak ngeliat Obama.
“Kalo Arka tiba-tiba bilang mau ngebeli aku seharga lima ratus ribu juga dikasih kali ya sama Mami,” ujarku sarkartis. Ibu terlihat kaget, lalu menepuk pundakku
sambil tertawa, “Ya iyalah! Anggep aja emas kawin, dibayar tunai.”
“Mamiiiiiiiiiiii...”
desisku sambil menggigit gigiku, disusul tawa nyaring mereka berdua. See, the influence of Arka works? Well,
manusia selalu berutang budi pada mereka yang telah memberi nyawa, dan menjaga
nyawa. Ibu melambaikan tangan dengan senyum lebar khasnya, dan taksi kami pun
meluncur ke bandara.
Hari ini, kami memulai perjalanan yang sangat amat panjang.
Kata Arka, Tembilahan itu terletak di pulau Sumatra—yang berarti aku sudah
pindah pulau sekarang. Provinsi Riau, yang terkenal akan kelapa sawitnya. Arka
berjanji akan mengajakku minum kelapa muda setiap hari, asli langsung dipetik
dari pohonnya. Dari Jakarta, kami terbang ke Pekanbaru. Tidak, perjalanan tidak
berakhir sampai di sana. Masih ada 7 jam yang harus ditempuh dengan mobil, sepanjang jalan terlihat pohon-pohon monoton diselingi dengan rumah warga yang
kecil-kecil, sampai akhirnya kuputuskan untuk tidur saja.
I’d go
back to december, turn around and make it all right
I go
back to december all the time...
Suara wanita yang melengking tinggi, decitan rem dan
pandangan yang mengabur karena asap. Tabrakan beruntun. Suara orang yang
samar-samar minta tolong, dan sirene ambulans yang memekakkan telinga. Suara
pria yang terngiang, “Saya sudah terbuka sama kamu, tapi setelah kamu tahu
semuanya, kamu tidak menerima saya apa adanya! Saya paling benci orang kayak
gini! Tinggalin aja!” suara yang pelan-pelan tertutup kabut asap yang makin
menebal, sampai baunya memenuhi seisi rongga dada...
“Jo!
Joanna!!”
Aku terbangun di antara panggilan Arka yang makin gelisah,
aku mengerjap dan menemukan tangan Arka menggenggam tanganku terlalu
erat—sampai sakit. Raut wajah Arka memantulkan kekhawatiran, dan tanpa harus
kuberitahu, aku tahu ia tahu. Aku menatap mata Arka sambil berusaha mengatur
nafasku yang masih terseok, “just...
switch another song.” Aku menunjuk radio mobil yang melantunkan lagu Back to December. Lagu ini gila,
berani-beraninya ia merasuk sampai ke mimpi, sampai ke alam bawah sadar. Aku
mengerang dan memperbaiki posisi sandaranku, “Masih berapa lama lagi, Ar?”
“Satu jam
lagi. Well, welcome to Negeri Seribu Parit!”
Aku tersenyum tipis. Kesadaranku masih merayap dari
gamangnya mimpi tadi. Sebentar-sebentar, mobil kita melewati jembatan kecil,
lagi dan lagi. Seperti tiada habisnya, kadang jembatan itu—saking kecil dan
pendeknya lebih mirip dengan polisi tidur yang terlalu besar. Kelapa sawit di
mana-mana, atau hanya sekedar ilalang.
“You know,
satu hal yang bikin aku suuuukaaaaa banget sama kamu itu adalah senyum pelitmu
itu. Senyum nanggung, antara tersipu atau terpaksa. Bikin penasaran, tau.” Arka
menowel pipiku sebentar di sela tawa renyahnya.
“I miss my
lesung pipi. Kayaknya dulu aku lebih cakep deh.”
Arka mengedik, “Entahlah, tapi dulu aku ngga naksir tuh sama
kamu. Terlalu cantik soalnya, saingannya banyak,” kata Arka ringan, “eeeh,
jangan ngeliatin aku kayak gitu juga, kali. Dulu hubungan kita sudah terlalu
baik, rasanya kaku banget kalo harus ‘ganti kulit’. Ini aja aku mau pacaran
sama kamu gara-gara kamunya hilang ingatan, seenggaknya sifat jeleknya juga
ngga separah dulu, hahaha...”
“Iya. Dulu
aku orangnya galak, kan. Shouting everywhere, to everyone.” Aku menyambung
ucapan Arka tanpa senyum, dan dibalasnya lagi dengan tawa renyah. Entahlah,
dibalik candaan Arka tadi, aku tahu kali ini dia serius. At least, hubungan
kita tidak se-korea yang aku bayangkan. Arka bukan dokter cakep nan single yang
tiba-tiba jatuh cinta denganku—dia adalah teman SMA-ku yang cukup dekat. Dan
dia orang satu-satunya yang bisa kupercaya pasca kecelakaan itu.
“Tembilahan
itu daerah rawa-rawa. Pertama kali aku belajar berenang itu bukan di kolam,
loh. Tapi di sungai. Look, aku dibesarkan oleh omega 3. Tiap hari selalu ada
seafood segar di meja makan, entah itu ikan, kerang, udang atau kepiting. For
my childhood, this is the perfect place. Banyak teman sepantaran di mana-mana.
Ya, ngga heran sih, soalnya ini kan daerah kecil, semua bokap nyokap pada
saling kenal. Tiap kali ketemu, pasti nanya-nya, “Kamu anaknya Toko Cahaya
Jaya, kan?” hahaha..” mata Arka menerawang, penuh nostalgia, “oh ya, di sini
juga bisa banjir, tapi ngga bikin menderita kayak di Jakarta. Namanya air
pasang, akhir tahun begini, jangan heran kalo ada separo jalanan bisa tergenang
air. Hehehe.. tapi pas aku kecil juga seru banget maen begini—walaupun
balik-balik pasti dihukum sama nyokap sih.”
“Tau ngga,
awalnya aku pikir, Tembilahan itu sama kayak desa-desa di film-film gitu. Ada
orang-orangan padi beserta hamparan sawah dan irigasi, anak-anak kecil lagi
bawa baling-baling di tengah jalan sempit, dan gubuk di mana nenek-nenek duduk
santai mengunyah sirih.” Aku berasa sedikit dumbfounded, definisi kampung
halaman ternyata lebih jauh dari apa yang pernah kubayangkan.
“Hahaha..
Itu kan desa di Pulau Jawa. Sekarang lihat yang di sini dong. Ini bukan desa
walaupun masih ada petani dan nelayan. Tembilahan itu... ibarat kota yang
terlalu kecil, tapi semua kebutuhan basic bisa terpenuhi. Udara yang masih
bersih dan seger, suasana kekeluargaan yang akrab... that’s why i love being
here, darling,”Arka mengedip genit sambil melempar pandangannya ke arah jalan
yang sudah semakin melebar—mobil kita yang sudah mulai mencapai jantung kota
kecil ini. Motor-motor terlihat berlalu lalang dengan santai, toko-toko kecil
yang berjejer lengang di sela jalan raya.
“Aaaaa..
aku rindu jajanan pasar!” seru Arka riang begitu mobil melewati pasar dadakan
yang menjual sayur dan buah, serta... “aaaaa.. lagi musim duren!!! See? Sure you
will enjoy here much..” ia terlihat begitu antusias. Aku masih dilanda culture
shock. Entahlah. Aku terlalu capek untuk memamerkan seulas senyum tipis, hanya
ingin mandi dengan air hangat, lalu tepar setepar-teparnya.
“Ck! Pelit
banget sih senyumnya!” protes Arka, sebentar saja. Lalu ia kembali sibuk
berdecak kagum, seperti kembali berkenalan dengan kampung halamannya. Sudah
sembilan tahun ya, Ar, memang sudah saatnya kamu kembali ke pelukan mereka yang
membesarkanmu.
***
Aku mencintai semua tentang Arka, kecuali tempat dia
dilahirkan! Swear! Lelek-lelek terompet—atau yang biasa kita kenal sebagai
Mas-mas penjual terompet sama sekali tidak menarik perhatianku. Kota
ini...terlalu tidak nyaman. Arka bilang, sebagian kecil warga di sini memang
memiliki penghasilan pasif dari sarang burung walet, yang bertengger di
ruko-ruko tempat mereka tinggal. Suara burung walet dari kaset rekaman yang
mengganggu tidur siangku, air untuk mandi yang berwarna cokelat
muda! Astaga! Dan aku lebih terperanjat lagi begitu tahu warga di sini sudah
terbiasa dengan air seperti itu, apa boleh buat... aku memilih mandi dengan air
galon.
“Hahaha..
We’ll see, sampe kapan kamu bertahan. Mungkin cuma sampe kita merit kali ya,
abis itu Mamaku pasti mencak-mencak deh sama kamu, hahaha...” Arka sampai jujur
banget bercandanya, “eh, senyum kamu serem loh, pelit banget. Becanda deh,
becandaaa..” ia lagi-lagi menowel pipiku sambil tersenyum polos. Tapi harus
kuakui bahwa aku suka makanan di sini. Sarapan dan nongkrong di kedai kopi sambil
mengamati para manusia yang bersantai dan menyesap teh hangat, semangkuk mie
pangsit atau lontong soto. Satu hari yang paling
berkesan selama 2 minggu keberadaanku di sini adalah saat Arka mengajakku
keliling kota Tembilahan. Sore yang tidak begitu ramai, namun
tidak pula sepi. Tidak panas, tidak dingin.
“Ini
sekolahku dulu, lantainya masih ada yang pake papan, ada kolam di depan kelas.
Aku masih inget banget ada buanyak bunga teratai di sana dan ikan, hehe.. Jadi
tiep seminggu sekali, ada gotong royong ngebersihin kolam ini. Kalo telat ato
ngga dateng, hukumannya disuruh bawa satu sak semen. Rese banget ngga sih,
hahaha..” Arka tergelak, “and see, di sini berjejer lelek-lelek yang jual
makanan, mulai dari ayam goreng, siomay, bakwan pake sambel yang enak banget,
sate sosis, dan mie kriuk-kriuk.”
“No worry
kamu dulu gendut banget,” celetukku.
“Trus ini
tuh deket jalan ke rumah guru matematika-ku. Lucu deh, dulu waktu SD nge-les di
sana, aku sama temenku sempet nyebur ke parit di sini nih, gara-gara dikejar si
bapak guru,” cerita Arka.
“Emangnya
kenapa?”
“Sepedanya
terlalu unik sih, sepeda ontel warna pink ngejreng. Trus kita orang rese deh,
nyembunyiin koncinya. Rencananya sih mau nyobain naik sepedanya, eh ketahuan,
jadi ya gitu deh. Hehehe..”
Aku
tersenyum diam-diam. Beneran deh, dengan karakter Arka yang sekarang, sudah tertebak
masa kecilnya yang seperti apa. Sejenak, aku iri—kecelakaan itu melahap segala
memori, termasuk masa kecilku. Tapi tidak apa-apa, sejenak aku bisa meminjam
cerita kocak Arka. At least untuk sementara, sebelum aku sembuh total—atau
tidak sama sekali.
“Jo, kamu
lagi bengong, ya?!” Suara renyah Arka yang setengah berteriak mengganggu
khayalanku.
“Hah?
Enggak kok,” Aku menjawab, “ini kita mau kemana?”
“Hmm..
makan baklor, yuk! Sebenernya cuma telor dadar goreng pake kecap sih, tapi enak
deh!”
“Oke!”
Mengobrol sambil berkendara motor dengan angin yang kadang
sedikit kencang butuh suara yang lebih keras, dan entah kenapa aku begitu
menikmatinya.
“ARKA!”
Arka mengerem motornya mendadak. Seorang pria berkulit hitam
dengan singlet putih dan celana pendek melambaikan tangan kanannya, tangan
kirinya memegang selang cuci motor.
“HEEEEEEI!”
balas Arka antusias, ia segera memarkir motornya sambil berbisik, “ini mukanya
familiar banget deh, kayaknya temen SMP-ku. Tapi aku lupa namanya.”
Arka mengedip padaku sambil menarik tanganku, mendekati pria itu.
“Masih
ingatkah sama kawan kau satu ni?” suara nyaring pria itu begitu antusias, ia
menepuk pundak Arka sambil bersalaman. Oh ya, did i tell you, mayoritas
penduduk di sini bersuku Melayu dan Banjar, kadang aku sama sekali tidak
mengerti apa yang mereka bicarakan. Sedikit-sedikit masih oke sih.
“Ingat lah.
Cam mana pulak bisa lupa.” Arka menyengir.
“Kalau
gitu, siapa nama aku? Tau, leh? (tau, kah?)”
pancing pria itu, dan tidak lama kemudian mereka sama-sama terbahak. Namanya
Sahrudin, dipanggil Udin. Teman satu bangku Arka ketika SD kelas 6, teman main
layangan, main guli, main lompat tali sambil gangguin cewek, dan teman berebut
tamagochi. Sekarang, ayah dari dua anak ini sudah punya usaha cuci motor dengan
warung sembako di sebelahnya.
“Kau ingat
leh, dulu pas kecik, kita main gambaran di kelas, habis tu kenak marahi sama
ibuk guru. Habis gambaran kita diambilinya, pas pulangan baru dibalekkannya. (Kamu ingat ngga, waktu kecil, kita main gambaran di kelas, trus dimarahi Ibu guru. Ibu guru mengambil semua gambaran kita, waktu pulang sekolah baru dikembaliin)”
Logat banjar Udin begitu kentara, aku harus pasang kuping baik-baik nih supaya
mengerti.
“Gambaran
itu apa sih?” celetukku, penasaran.
“Gambaran
itu, kayak kartu kecil-kecil dari karton. Gambarnya macem-macem, ada power
rangers, ksatria baja hitam... Nah, kita biasa ngumpulin itu dari main tebak-tebakan
ato main tos-tosan. Siapa yang paling banyak, itu yang menang. Oke din,
lanjut!” Arka begitu tertarik dengan cerita Udin.
“Kemaren
aku barusan beberes, trus liatku, ternyata ada hak tulisan ibuk tu di belakang.
Dia kayak tulis kata-kata mutiara gitu, pang. Sayang pulak aku nak buangi, tapi
kalau tarok rumah takut disobek anakku. Nanti besarek mamaknya. Kau mau leh?
Buat kenang-kenangan. (Kemarin aku habis beres-beres, trus aku lihat ada tulisan Ibu Guru di belakang. Dia nulis kata-kata mutiara, gitu loh. Sayang kalo dibuang, tapi kalo ditaro di rumah, takut disobek anakku. Nanti dimarahi Mamanya. Kamu mau, kah?)”
“Boleh lah
juak (Boleh juga). Hahaha...” Arka sedikit takjub dengan kemampuan berbahasa banjar dia...
yang ternyata masih bisa diperhitungkan. Udin saja tergelak. Ia masuk ke dalam
rumahnya dan keluar dengan sekantong plastik gambaran. Arka terperanjat,
tertawa, dan menerimanya. Senyumnya ceria sekali, aku sampai tidak tahan untuk
tidak tersenyum... pelit.
“Tadi pagi aku
nampak Ricko. Dia ada balek ke rumah kau, tak?”
“Tahok. (tauk.) Coba aku liati di
rumah. Aku balek dulu ya. Magrib dah. Nanti ada waktu ke sini lagi. Makasih
lah!”
“Ayuhak.
Mun kadak aku aja ke sana. (Oke deh. Kalau tidak, aku aja yang ke sana). Hati-hati lah...”
Arka mengangguk dan langsung menarik tanganku. Aku menyambar
kantong plastik yang hampir saja ketinggalan. Sepanjang jalan, Arka hanya
bersiul-siul pelan seperti biasa, kelihatannya sudah capek
ngobrol. Aku mengambil satu gambaran—gambar power rangers warna kuning melawan
monster bermata capung, dibaliknya tertulis: apa yang sudah menjadi milikmu, tidak akan pernah lari darimu. Demikian
pula apa yang bukan milikmu, tidak akan pernah bisa kamu miliki.
Sejenak. Deja vu.
Aku pernah datang ke kota ini...
Aku tidak pernah seyakin ini, dan aku juga tidak pernah
seragu ini...
***
Suara terompet di mana-mana. Letupan bunyi kembang api
kadang terdengar, pantulan sinarnya di langit hitam menyala sebentar-sebentar. Jagung-jagung
berjejer rapi di pemanggangan, tante Arka yang sibuk mengipasi sambil sesekali
bergosip dengan anak ceweknya. Keponakan kembar Arka yang asyik bermain kembang
api batangan, dan adik laki-laki Arka yang sibuk pacaran di sudut rooftop dekat bunga-bunga. Aku duduk menghadap
balkon, setengah melamun, setengah berpikir keras. Memori seperti sudah di
ujung otak, tapi kenapa tidak ada titik terang? Semua yang terjadi tadi sore begitu
jelas, seperti terulang untuk kedua kalinya. Tapi, kenapa tidak ada Arka dalam
setiap flashback yang kupikir kutemui?
“AAAAAAH! Sosisnya
kadaluarsa!” teriak Karin, anak tetangga Arka yang sudah remaja itu. Pipinya yang
tembem terlihat mengunyah sate yang baru dibeli oleh tante Arka.
“Tapi kami
udah lapar, udah lapar...” keponakan Arka yang kembar merengek-rengek.
Aku beranjak menghampiri Karin dengan segera, “Rin, aku
pergi beli sosis aja, ya? Di minimarket biasa, kan?” tanyaku.
“Ng...
tapi... memangnya Kakak dibolehin Kak Arka ya, pergi sendiri?”
“Ngga
papa. Aku bakal cepet balik kok, lagian Arka biasa kalo mandi lama kan? Hehe..
sini kunci motor kamu,” aku berusaha tersenyum semeyakinkan mungkin.
Karin tampak berpikir sejenak, lalu dengan kikuk menyerahkan
kuncinya. Aku menyambut kunci itu dengan perasaan lega. Setidaknya bisa lari
dari hingar-bingar keluarga Arka sejenak, dan mungkin saja angin di luar bisa
memberi jalan keluar.
Tiba-tiba aku kangen Carrefour, padahal minimarket di sini
begitu minimalis dan cukup lengkap. Entahlah, mungkin suasana yang begitu
asing, namun sepertinya juga tidak asing. Harga 3 pak sosis yang barusan aku beli entah kenapa terasa lebih berat. Aku memarkir
motorku di depan pintu rumah, dan bersiap membuka pintu. Handphone ku sudah
meraung-raung, sepertinya Arka sudah selesai mandi.
Pintu terbuka.
Aku terkesiap.
Dan sosok di depanku, tinggi menjulang dengan ekspresi datar.
Wajah yang sama dengan Arka, hanya saja sedikit lebih hitam; tatapan yang lebih
tajam dengan alis yang lebih tebal; dan rahang yang tegas. Sekelumit cerita di
balik tatapan sosok itu tiba-tiba membanjir, semakin lama... semakin banyak.
Jantungku
serasa copot ke lantai... namanya Ricko.
Dan dia, teriak-teriakan kita, rem yang berdecit, asap yang
mengepul, dan sirene yang berdenging...
Awalnya Arka tidak bermaksud untuk menyelamatkanku, dia
ingin menyelamatkan abangnya. Lalu kebetulan
menemukanku juga. Bukankah begitu?
Ricko mengangguk sopan, dengan senyum kering nan pelit yang
dipaksakan. Sekarang aku mengerti, mengapa Arka selalu bilang bahwa ia suka
dengan senyum pelitku. Ini sama sekali bukan caraku tersenyum.
Aku menatap Ricko dengan nanar, setelah pertengkaran yang
diakhiri dengan kecelakaan itu, kami hanya bertukar senyum formal? Sesederhana itu, kah?
Duniaku serasa
runtuh.
“Sori, saya
mau lewat.” Ricko melewatiku begitu saja, dengan Karin yang mengekor di
belakang. Aku menelan ludah, pahit. Semua ingatan yang kembali terlalu
bertubi-tubi, menyisakan banyak sekali pertanyaan
mengapa-tidak-ada-yang-memberi-tahu.
“RICKO!”
aku berbalik dan meneriakkan namanya. Ia tampak kaget, namun sedetik kemudian
ekspresinya kembali datar.
Aku menarik nafas, memungut sisa-sisa keberanian. “Kenalin,
nama saya Joanna.” Aku mengulurkan tanganku—sedikit gemetar. Ricko menatap
tanganku yang menggantung di udara dalam diam, lalu menyalamiku dengan tangan
kirinya, “Kamu ajaibnya sudah tau namaku, ya. Sori pake tangan kiri, tapi
tangan kananku udah ngga bisa dipakai lagi.” Ricko tersenyum samar.
“Ngga papa.
Saya tunangannya Arka. Kalau diijinkan, saya mau mengenal calon adik ipar saya,
lebih dekat dan lebih apa-adanya.”
Sesaat Ricko tampak tertegun, kedua bola matanya tak
berkedip.
Aku melemparkan senyum pelit, lalu membalikkan badan dan seluruh
pipiku mulai basah. Nafasku terasa sesak dan hidungku mulai tersumbat. Kulihat Arka
yang berdiri mematung di depanku, dan sayup-sayup suara Ricko, Karin, dan para tetangga
meneriakkan countdown tahun baru. Riuh rendah bercampur dengan letus-letusan
kembang api dan terompet.
“Lima...
Empat... Tiga... Dua... Saaaaatuuu... Happy New Yeeeeaaaarr!!!!”
Aku membenamkan diriku dalam pelukan Arka yang semakin
mengencang, sambil sesekali menyeka ingusku yang tak henti-hentinya berderai.
“Sorry,
Joanna. Aku tidak pernah berani untuk kasih tahu kamu, kecelakaan itu, tidak
hanya merenggut ingatanmu, tapi ingatan Ricko juga. This is what i only can do, i am
so sorry...”
Tubuhku gemetaran. Aku menggeleng, “I’m okay, Ar. It’s okay.
Sekarang aku udah mengerti, aku ngga papa. Tapi, aku akan selalu membawa
senyum pelitnya Ricko. I just... can’t smiling like yours, anymore. Ngga papa, kan?”
“I can
wait, just take your time. My smile, used to be yours, too. Senyum kita itu
sama kali, dulunya.” Arka menepuk kepalaku pelan sambil tertawa pelan, “anyway, happy new year.”
***
“Kak Ricko
berusaha menerabas masuk ke hall. Gimana nih?” tanya Karin gelisah. Aku mendongak,
heels ku masih belum terpakai sempurna. Gaun pengantin ini terlalu panjang dan
mengembang, kakiku entah ngumpet di mana.
“Kenapa?”
“Eh, Kak
Joanna. Kak Arka mana?” Karin terlihat sedikit salah tingkah.
“Lagi di
toilet. Just tell me, kenapa sih?” aku tersenyum lebar, berusaha menenangkan
kegelisahan Karin.
“Ngg... Kak
Ricko bilang,” Karin menggaruk kepalanya, sangat uneasy, “...dia udah ingat semuanya...”
...apa yang sudah menjadi milikmu, tidak akan pernah lari darimu.
demikian pula apa yang bukan milikmu, tidak akan pernah bisa kamu miliki.
No comments:
Post a Comment