Bahagia adalah kata
sifat,
bukan kata benda, atau
kata ganti.
Seperti hadirmu di
kala gempa,
Jujur dan tanpa bersandiwara...
Kyra menggenggam tiket pesawatnya
erat-erat. Suasana hati yang membuncah ceria, jutaan kupu-kupu berkelayapan di
perutnya, sampai-sampai wanita berlesung pipi itu menyengir terus. Beberapa jam
lagi. Ia bisa membayangkan pria dengan kumis tipis yang lupa dicukur, senyum
dan tawa lepas layaknya debur ombak Bali, dan rentangan lengan dari sosok yang
tinggi tegap itu... begitu ngangenin.
“Kyra!”
suara lantang memotong segala angannya. Ia mencari sumber suara dan menemukan seseorang
tengah menatapnya dengan mata hampir tenggelam dalam pelupuk—lengkap dengan setetes
besar keringat—persis seperti ekspresi dalam komik. Pria itu membetulkan letak
kacamatanya dan memberengut, “udah nyampe lima menit lalu, dan elo masih
bengong.”
“Hah??!!”
Kyra memandangi sekelilingnya.
Bandara.
Jiwa Kyra sudah sampai di sini sejak setengah jam
lalu, sejak Edo bilang “terima kasih” pada petugas jalan tol, sejak lagu Banda
Neira – Hujan di Mimpi yang melantun dari radio tadi.
“Udah
sana! Gue masih mau balik kantor, nih.” kata Edo galak, wajahnya yang putih dan
berjerawat terlihat segar, kemeja biru donker nya menyisakan beberapa bercak
air, dan botol aqua besar tergeletak di sampingnya. Kyra terkikik, ternyata ia
begitu asik melamun sampai-sampai tak menyadari Edo yang sempat ke luar dari
mobil dan cuci muka.
“Oooh.. oke, thanks Do! Take care!”
Kyra hampir akan menutup pintu mobil ketika Edo tiba-tiba menahannya, “pikirin
lagi, Ra.” Ekspresi Edo datar dan serius.
“Bye!” Kyra melambaikan tangannya,
disertai senyum bodohnya yang ampuh. Edo hanya tersenyum kecut, meninggalkan
suara klakson singkat yang terngiang di udara. Kupu-kupu kembali beterbangan di
sekitar Kyra, dengan langkah ringan Kyra menyampirkan backpack-nya dan... Hello
Balibalibalibaliiiiii!
***
Ada yang bilang, kebahagiaan adalah
kebebasan. Momen ketika kita dengan berani meninggalkan comfort zone kita dan menantang segala kemungkinan di luar sana. Bahagia
adalah perasaan insecure—yang
sekaligus seru, karena begitu banyak pengorbanan yang sudah kamu lakukan. Tapi
jauh di dasar hatimu, kamu tahu semua itu akan membawamu ke pemahaman dan
pengalaman yang penuh kejutan. Ada yang bilang, happiness is when you let the unexpected happens. Dan... di sinilah
Kyra. Ia merasakan dengan jelas langkah pertamanya yang masih gemetaran. Hotel
yang belum di-booking. Tiada satu pun
manusia di Pulau Dewata yang ia kenal. Ngurah Rai yang asing. Dan degup
jantungnya yang kencang... antara antusias yang membubung dan ketakutan yang
menariknya sampai mencelos.
Nomor telepon Onel. Hanya itu yang Kyra punya. Ia
merogoh handphone sambil mengikuti lautan manusia yang berjalan ke luar Bandara.
Scroll.. Scroll.. L..M...N..O.. Onel.
Dialing...
“Nomor
yang anda tuju sedang tidak aktif...”
Deg.
Debar terakhir menyentak telak, sukses menarik Kyra
jatuh dalam pusaran takut yang menjadi nyata. Pikirannya langsung berkecamuk.
Jangan-jangan, Onel hanya bercanda.. tidak, tidak. Mana ada orang yang begitu
serius ngisengin sampai-sampai
membelikannya tiket pesawat, hellooow!
Atau, Onel tiba-tiba dapat panggilan dari keluarga Nagawa dan sudah terbang
lagi ke Kathmandu?! Mungkin saja, kantor tempatnya bekerja itu tidak
memberikannya izin cuti barang sehari? Ah, pasti dia sekarang sedang meeting mendadak dan lupa ngabarin... who knows.
“Kok
ada sih, orang kayak lo? Apa yang lo keluarin itu ngga setimpal! Abang gue mana
bisa tolerir lo!” Kyra masih sangat jelas mengingat detil wajah Edo yang merah
dan marah, alis tebalnya yang mengerut dan mata belo yang memicing kesal. Nafas
Kyra jadi tidak beraturan lagi sekarang, atmosfir kekecewaan Edo masih begitu
kental. Beberapa jam yang lalu.
“Ini
Onel, Do. Ini salah satu mimpi gue... Masa gue harus nyia-nyiain sih?” Waktu
itu, Kyra memasang tampang seperti anak kucing, biasanya selalu berhasil, tapi
kali ini... Kyra tahu diri. Ia memang kelewatan. Cuti mendadak 3 hari—di mulai
dari hari ini, jumat—sementara yang lain harus lembur di akhir pekan demi launching produk makanan mereka seminggu
lagi.
“Food Stylish, Ra, we need you most. Lo maen cabut gitu aja! Kalau lo ngga bisa
menghargai perusahaan ini, gimana caranya lo bisa menghargai mimpi-mimpi lo
itu?!” Edo yang logis, Edo yang Maha Tahu. Tapi, Edo jelas tidak tahu satu hal:
hubungan nya dengan Onel. Mereka bukan teman biasa, bukan juga pacar. Bagi
Kyra, Onel lebih dari segala itu... Onel is
her happiness. Onel itu kata sifat, bukan kata benda atau kata ganti. Tuh,
kan. Bayangan senyum tengil Onel yang tiba-tiba berkelebat di benak Kyra saja
sudah ‘mengembalikan’ segala kepercayaan diri Kyra. Meyakinkan bahwa segala
keputusan—yang dibilang bodoh sama semua orang itu—sudah sangat tepat. Kyra
tidak harus menyesali bahwa ia baru saja dipecat dan arus gajinya yang harus
terhenti, tidak juga nomor telepon Onel yang tak bisa dihubungi sekarang... She’s totally free now, and will be meet her
freedom soon. Yes, her freedom. Sudah dibilang Onel itu adalah kata sifat, freedom.
Happiness
is freedom.
Ah, happiness.
Kyra tiba-tiba teringat tema cerpen yang baru saja ia rampungkan. Tema yang
mengantarkannya ke Bali juga. Mungkin ia memang harus mencari cara untuk sampai
ke The Bay. Sendirian. Tak apa-apa lah. Tidak harus ‘mengganggu’ Onel untuk
menjemputnya seperti di drama-drama gitu, kan? Kyra punya Google Maps, kok.
***
Pengumuman Writing Competition itu dilaksanakan di Bumbu Nusantara. Besok. Membayangkan lengan Onel yang menyelimuti pundaknya, langkah mereka yang mengayun-ayun, dari Bumbu Nusantara... segelas es cendol di masing-masing tangan, komentar bodoh akan foto-foto yang terpamer di sepanjang mata yang menjelajah, nyanyian dari ujung panggung di dekat pantai, dan sayup-sayup angin yang menggelitik lembut leher Kyra. Kisah konyol Onel yang melanglang buana, cerita renyah Kyra di dapur dan kamera DSLR-nya, semua pasti akan mengalir alami. Ditambah senang yang was-was—menang lomba nulis ngga ya kali ini—yang pasti akan ‘terbaca’ jelas oleh Onel, dan... entahlah! Entah ada kejutan macam apa lagi yang disiapkan Onel kali ini.
Kyra
mengayuh sepeda ontel yang dipinjamnya dari Bumbu Nusantara dengan penuh
tenaga—takut jatuh, roda nya mencakar pasir dengan kasar, earplug yang mendendangkan petikan gitar random Depapepe. Sore yang sejuk, samar-samar Kyra
bisa melihat matahari bersiap terbenam—ah mungkin sebentar lagi, setelah anak-anak
puas dengan istana pasir dan sepasang suami istri selesai berdiskusi. Kyra yang
sendiri... menatap manusia yang berpasang...
selalu menyisakan rasa sepi yang kosong. Kyra menghela nafas, ia sudah tak
sabar lagi. Sesuatu yang dirasa adalah kebahagiaan yang begitu dekat ternyata
harus menunggu lagi! Rasanya seperti disalip sepi yang mencekam di
tengah-tengah perjalanan. Sesaat ia gamang, sesaat ia merindukan gaung tawa
bersama teman-teman kantor: jam empat sore, mereka pasti sedang berbagi cemilan
sambil mengobrol tentang diskon makanan.
Kalau memang ini
yang Kyra inginkan, mengapa semua menjadi begitu absurd saat ia memikirkan masa depan?
Kalau memang begini
yang Kyra inginkan, mengapa ia tidak bisa sepenuhnya menikmati matahari mulai
malu-malu menyembunyikan semburatnya di balik awan yang tenang... membiarkan
kayuhan sepeda nya menjadi makin samar dan santai... atau sekedar menyodorkan
kaki telanjangnya untuk dijilat oleh debur ombak?
Kalau memang saat
ini yang Kyra inginkan, mengapa... sekarang rasanya begitu... asing?
“ADUH!”
entah sejak kapan sepeda Kyra oleng dan menabrak pohon kelapa di depannya.
Telapak tangan dan lututnya terbenam di pasir. Ah, tengsin. Beberapa bule
menoleh dan tersenyum lucu. Kyra segera berdiri dan menepuk badannya sebentar,
mungkin sebaiknya ia mengembalikan sepeda dan bertapa saja di kamar hotel.
“Goodbye!!!!”
Kyra berbalik kaget begitu suara itu menggema.
Lengan yang terbentang, dada yang semakin bidang saja... Onel! Senyum Kyra
lepas menjadi tawa lega yang beruntun, sedetik kemudian ia sudah memeluk sosok
itu erat. Erat sekali, dibalas Onel.
“Gue
sebel sama goodbye elo! Lo udah
begitu deket, nyet!” teriak Kyra, bau keringat Onel yang mirip rumput sehabis
hujan meruap di hidung Kyra.
“Hahaha...
semata-mata biar kita bisa hepi terus, nyetnyet,” tawa Onel renyah, melepas
pelukan mereka dan mengacak rambut Kyra gemas, “lo gampangan banget. Ketipu
sama selembar tiket pesawat!” cibir Onel disusul bahak-bahak yang memancing
pukulan bertubi-tubi Kyra.
“Diem
lo! Sekarang, kasih tau gue, apa surprise
itu?” Kyra menaikkan dagunya, sepasang matanya yang bersinar itu kini sejajar
dengan pipi Onel yang masih terbakar keringat, begitu dekat.
“Mmmm..
mungkin lo butuh nyogok gue dengan beberapa jajanan pasar seperti kolak atau
pisang ijo! Damn, i miss them so much!
Daaaaaan gue akan mempersembahkan sesajen favoritnya mbah, berupa
Kare-Ikan-Patin. Cocok kan, restoran ini. Bumbu nya pasti nendang! Hahaha...”
Muka jenaka Onel berhasil meredupkan rasa penasaran Kyra, dan mengantarkan
perut mereka untuk berpesta dengan masakan asli Indonesia. Kyra juga sudah
cukup lapar dengan segala yang berloncatan dari benak Onel... yang selalu... kembang api.
***
“Gue
ngga bisa menjelaskan perasaan itu. Mungkin kayak perasaan yang langsung bikin
lo decide want to do what for next.
Lo yang begitu yakin mau ke Bali, dan ninggalin pekerjaan lo sementara—eh, tapi
Bos lo ngga papa?” Onel yang asik bercerita tiba-tiba menatap Kyra khawatir.
“Ng... ngga papa, ngga papa... trus?” Kyra menangkupkan pipinya di tangannya, begitu serius mendengarkan Onel.
“Ng... ngga papa, ngga papa... trus?” Kyra menangkupkan pipinya di tangannya, begitu serius mendengarkan Onel.
“Ya
begitu juga gue. Gue nekad balik ke sini karena ‘sesuatu yang memanggil’ ini.
Ini beda banget, entah kenapa rasanya ada sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu
yang bermakna untuk hidup lo di masa depan.” Onel berujar serius. Ia tak sadar
kalau tangan Kyra sudah merayap dan mencuri beberapa sendok es pisang ijo nya.
Nyam.
“Jadi...”
Kyra berhenti menyuap, “lo ke sini tanpa tujuan yang jelas?”
Onel mengangguk cepat, “tapi di balik tujuan yang
ngga jelas ini, gue tau ada sesuatu yang jelas, but i just can’t figure it out,” Onel terlihat putus asa, “gue udah
ninggalin seminar penting di Aussie
untuk datang ke sini, apa... gara-gara buat ketemu elo?” suara Onel mengecil,
seperti tidak percaya dengan kata-katanya sendiri.
“Gue
ke sini juga buat ketemu lo, kok.” tandas Kyra mantap. Ia menatap lurus ke mata
Onel yang terperanjat.
“Kyra?”
Onel menaikkan alisnya tak percaya, “jangan bilang dugaan gue bener, lo lebih
milih resign, ninggalin Edo dan
kawan-kawan, lalu dateng ke sini... buat ketemu gue?” suara Onel makin pelan.
Kyra
juga bisa membaca wajah Onel, matanya yang menyipit dan bibirnya yang mengatup.
Pria ini sedang kesal. “Ng... tapi ngga juga kok, Nel. I’m attending tomorrow’s competition, and that would be lovely if you
are here.” kata Kyra sambil mengedikkan bahunya, berusaha untuk santai.
“Lo
lupa? Kita udah kayak cermin, ngeles sama gue juga ngga guna,” Onel mengedikkan
bahunya juga, bibirnya tersungging sedikit angkuh, “dan lo lupa, gimana proses
kita bisa jadi deket kayak gini?”
Kyra ingat. Kyra ingat!!!
Bagaimana bisa lupa dengan momen di mana mereka yang tak sengaja mengobrol
setelah sekian lama bekerja di restoran fast
food itu. Perihal yang sederhana: mereka sama-sama salah lihat jadwal libur,
sehingga harus lembur di shift yang
sama. Onel yang mengumpulkan uang untuk berkeliling dunia, Kyra yang ingin
sekali ke Jakarta dan membuka usaha kafe sendiri. Mereka berdua melihat jalan
yang sama: kebebasan. Dan di sanalah mereka menggariskan definisi bahagia.
Menjadi balon, menjadi gelembung, menjadi angkasa itu sendiri! Membubung tinggi
ke atas, tanpa jejak dan ikat. Lalu membiarkan intuisi dan perasaan sejati
mereka yang apa adanya menjadi kompas dan aral. Mereka begitu tergila-gila pada
masa depan yang penuh dengan ketidakpastian, menebak-nebak kejutan dan
tantangan apa lagi yang dihadapkan dalam hidup mereka. Jadilah mereka seperti
sekarang ini. 5 tahun yang lalu. Onel yang lalu bekerja di toko mesin cabang
dari Jepang, bertemu dengan keluarga Nagawa yang butuh asisten pribadi untuk long holiday trip all around the world;
Kyra yang membantu usaha Bridal and
Photography sepupu nya, yang merupakan kakak ipar dari Edo, lalu
berkecimpung dalam food industry
berkat ajakan Edo.
Ada yang bilang, semua hal yang
kita temui dalam hidup kita, akan mengantarkan kita lebih dekat pada impian
kita. Di sela-sela perjalanan itu, kita butuh orang yang tak tertarik untuk
menertawakan segala kegilaan kita, atau bahkan menambah nilai kegilaan
itu—dengan cerita hidup yang tak kalah gilanya. Kyra menemukan itu pada Onel,
entah kenapa. Onel... seperti kembarnya. Dan Onel, merasa begitu nyaman berada
di sisi Kyra, tak pernah dia bertemu dengan wanita yang begitu terbuka... tidak
berpura-pura dan tidak mengada-ada. Banyak cara pikir yang... tring, klik. Cocok-cocok terus. Mungkin
saja, ini yang orang bilang soulmate.
“Tapi kali ini, bebasnya kita
sudah megap-megap, Kyra...” kata Onel tercenung, “lo bahagia ngga?” mata Onel
menatap lurus Kyra.
“Gue...” tenggorokan Kyra
tercekat, “gue bahagia begitu udah ketemu lo. Now, those are worth it. Gue kangen untuk bisa melepas kangen kayak
gini.” Kyra tidak punya pilihan lain selain jujur. Di mata Onel, pikiran Kyra
adalah kaca tembus pandang.
“Gue juga,Kyra. I miss you too much,” Onel
menyunggingkan senyum tipis yang charming,
“dan gue sebenernya lagi kesel sama teori Hello
Goodbye yang gue bikin itu!” Onel
memberengut.
“Hahaha.. apa nya yang salah,
wahai bapak filsuf?” goda Kyra.
“Tiap pertemuan adalah awal dari
perpisahan; tiap perpisahan adalah awal dari pertemuan. Janjinya, kita bilang ‘goodbye’ setiap kali ketemu, sekedar
ngingetin bahwa sebentar lagi mungkin bakalan pisah... Tapi, tadi itu...
rasanya berat banget,” Onel menghela nafasnya, Kyra seperti melihat mata Onel
yang mulai berkaca-kaca, “and, why
‘hello’ when we’re going to be apart? Supaya optimis kalo kita bakal ketemu
lagi?” suara Onel sedikit meninggi, tepat di saat live music performance Bumbu Nusantara berlanjut menyanyikan lagu
berikut.
“Tapi itu semua jadi terkesan fake, padahal kita belum tentu sama
dengan kita yang dulu... padahal pertemuan kita sekarang sudah pasti berbeda
dengan yang dulu. It just unnaturally...”
lanjut Kyra pelan.
“RIGHT!” Onel menunjuk Kyra puas, “itu
maksud gue!”
***
Kyra tersenyum kecil sambil bertepuk
tangan di antara gemuruh tepuk tangan pengunjung lainnya. Pengumuman Lomba
Menulis ‘Letter of Happiness’ yang digelar oleh The Bay Hotel—tepatnya di
restoran tempatnya semalam mencecap habis-habisan ‘Indonesia’—dan Nulisbuku
tempat ia menerbitkan buku self-help-nya
itu, sukses membuat hatinya tergelitik dan sedikit ngilu. Kyra yang begitu
optimis namanya akan dipanggil, Kyra yang sudah siap melemparkan diri ke
pelukan Onel yang berdiri kokoh di sampingnya, Kyra yang sudah siap dengan kata
sambutan yang menari di benaknya.....
Kyra ternyata kalah.
Kyra memeluk kedua lengannya
dengan erat, dan rasa sepi kian menjalari seluruh tubuhnya. Dunia bukan milik
dia berdua dengan Onel. Dunia ini miliknya sendiri, makanya sepi sekali. Tidak
ada peserta yang dia kenal di sini. Mungkin, ‘tujuan’ nya datang ke Bali adalah
untuk mengetahui bahwa dia masih harus belajar menulis lebih baik lagi. Kyra
menatap sepatu kets-nya, bersiap melangkah pergi, begitu suara seorang pria
terdengar melalui microphone.
“Letter of Happiness? Saya tak pernah terpikirkan untuk bikin cerpen
begini,” suara yang berat, namun renyah. Kyra berbalik. Sosok ceking dengan
kemeja lengan panjang kotak-kotak yang kebesaran, celana jeans berwarna merah,
tipe-tipe orang dengan pekerjaan marketing.
“Tapi prinsip saya... No one can took away your happiness, and no
one can create happiness for you. Oleh karena itu, saya tidak akan
menggantungkan kebahagiaan saya pada siapapun—walaupun ini terdengar kejam ya,
hehehe...” pria itu menggaruk-garuk kepalanya dengan kikuk, disertai gelak
beberapa pengunjung, “but i do believe,
kita yang bikin bahagia kita sendiri. Salah satunya, dengan ikutan lomba kayak
begini nih. Thanks ya, semua panitia!
Saya sudah bersenang-senang dalam kata-kata, dan ber-hepi-hepi di The Bay!” ia menutup pidato singkatnya
dengan cengiran segar, yang merambat sampai ke bibir Kyra—tak sengaja
tersungging lebar juga.
Kyra merogoh handphone nya dan
mengarahkan kamera ke arah panggung. Klik. Lalu ia mencari call logs dan O. Dialing
Onel...
“Hello!” sapa Kyra cerah, “udah nyampe Sydney belom?”
“Good—he..hello..” suara Onel terdengar pangling, “u..udah
nih! Thank you, thank you, nyet!
Gara-gara obrolan kita semalem nih, gue kayaknya ke Bali cuma buat ketemuan
sama lo dan nyadarin diri gue buat ikut ini seminar deh. Untung aja keburu
ikutan seminar nya, sekali lagi sori banget, jadi ngga bisa nemenin lomba lo
itu. Menang ngga, by the way?”
Suara Onel yang lepas, tawa Onel
yang ringan. Kyra hanya bisa membalasnya dengan cara yang sama.
Bahagia? Apa itu?
Entahlah.
Mungkin sejenis perasaan.
Yang bukan kata sifat... kata benda... atau kata ‘perasaan’
itu sendiri. Yang pasti, Kyra sedang berpesta dengan bahagia itu. Sendiri.
Dalam diam.
Lagi-lagi, Kyra tak bisa menahan bibirnya untuk
berhenti tersenyum, dan manggut-manggut mendengarkan celotehan Onel dari
seberang. Pikirannya sudah menjelajah ke mana-mana... berlari-lari lepas di
pantai di pagi buta, lalu menggeletakkan diri di kursi santai dan bermandi
matahari pagi, mencoba The Pirates dan De Opera, makan sepuasnya... Entahlah.
Kyra hanya ingin merasakan semuanya, sepenuhnya.
you are the waves, yet i am the skies, embrace each other, joyfully. |
3 comments:
Mantap....
Kunjungi jg ya my blog www.dasarhakikat.blogspot.com :)
Halo, thank you so much! :)
Followed :)
You wrote a good story btw. Keep up the good work.
Post a Comment