Skrip Spoken Words ini ditulis dalam rangka mengikuti #OpenMic Unmasked Vol.2
yang digelar pada Jakarta Biennale 2015.
Bekerjasama dengan PWAG Indonesia dan FemArts, kita bicarakan segala sesuatu tentang wanita.
“Secangkir kopi pahit yang tak mengerti, mengapa wanita itu selalu menyeduhnya di saat sendiri; mengapa wanita ituselalu memesan cappuccino yang cemen ketika sedang kopi darat di kafe-kafe cemen.”
The
Talking Coffee.
Apa
yang terjadi bila segelas kopi ini // pagi ini//
mengajakmu berbicara?
Hai
wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa /
aku sering tersipu kalau kau
mendekatkan bibirmu yang baru dipulas gincu untuk mengecupku lalu selayak puisi
kau nyalakan
sedikit /
sedikit /
demi sedikit teguk-teguk yang mengetuk
perasaan bahagia //
Ah kau ini lucu /
kau masih terseret kantuk /
makanya kau
lagi-lagi merengek sambil mewek //
Bukan bukan /
kau tak lucu /
kau ini aneh /
kau menatapku dan membiarkanku mengepul sambil kau melamun lalu kau campurkan
airmatamu yang sepet lalu kau minum sendiri /
sehingga kau terpaksa terjaga
sepanjang malam sambil menyayat-nyayat kelam yang terlambat tertambat//
Kadang
kau juga mengoyak-ngoyak kesabaranku /
kau tak boleh membiarkanku dingin begitu
saja hanya karena kau mendadak tidak mood
minum kopi wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa! //
Kau ini masih
bocah /
aku capek! //
Eh, tapi bukankah kau dan para priamu memang jiwa-jiwa
bocah yang membuncah dari tubuh orang dewasa? /
Kalian mengawang dalam
sesi-sesi kopi darat lalu berbincang tentang cuaca /
neraca /
dan ayam
rica-rica//
Kadang kau terbahak bersama buaya /
kau bermimpi bersama tukang
tenun harap /
kau bergurau dengan pangeran parau yang ternyata datang dari desa
//
Sebetulnya kopi darat tak begitu menyebalkan tapi aku sering frustasi karena
kau /
selalu /
memesan /
cappuccino //
Apa kau sebenarnya tak pernah memujaku
seperti tiap pagi kau menyesap segala pahit dan asam yang kelak bermuara di
degup jantungmu?
Aku
sering membaca benakmu /
bagimu aku adalah sekelumit rumit yang tak kunjung
pamit dan sesederhana itu kau terus mencinta //
Ya aku sedang menyusuri benakmu
/
kopi yang dicampur setengah cangkir susu adalah jalan pintas agar kau merasa pantas
dicintai /
karena tak banyak yang hendak bersulit-sulit mempelajari pahit //
Persetan dengan originalitas /
kau hanya ingin dicintai dengan pas //
Tak heran
/
kau sering terlepas //
Namun setidaknya di pagi buta pukul lima sayup-sayup
udara dingin mematuk kulit /
kau masih tetap memilih menghirup bunyi denting
sendok menggoda cangkir seraya merayakan sepi di ujung mimpi //
Ko-pi
//
Kotoran Pikiran //
Kadang kau sebal denganku lalu menyebutku kotoran /
namun
denting sendok masih mengayun mengaduk kelebat pikiranmu yang mengundang
ampas-ampas kembali merangkak ke permukaan //
pekat hitam legam /
tak mengerti
juga kenapa kau mencintai setiap cangkir yang menyambut pagi dan pula menyimpan
kelam sisa tadi malam dimana setiap titik bersinggungan tanpa bertemu titik
temu//
Mungkin
kau candu /
kau rela membagi-bagi waktu tidurmu yang menguap di udara sambil
terbawa suasana / berharap aku tetap menjadi alasanmu yang paling cerdas untuk
mengikuti ritme jagad raya.
Sini
/
kuberitahu kau satu rahasia kaum biji kopi /
menjelajah rasa selalu
mendebarkan /
kau kira aku mengerti mengapa aku adalah alasanmu untuk terbangun
tiap pagi padahal aku pahit /
padahal aku pun tak mampu mendefinisikan rasaku
sendiri //
Mungkin sebabnya hanyalah /
karena /
aku /
kopi /
apa /
adanya /
tanpa gula tanpa krimmer tanpa susu aku /
melebur bersama semesta rasa //
Dan
kau /
wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa yang berusaha menjadi
dewasa kalau perlu yang apa adanya /
kau /
pantas dicinta //
Sepahit apapun
ujung bibirmu /
serumit apapun ujung benakmu kau /
pantas dicinta //
Locate me. Crematology Coffee Shop. |
No comments:
Post a Comment