Mengheningkan Cipta.
Lalu kemudian semua siswa menunduk.
Dengan seluruh angkasa raya memuja, pahlawan negara.
Kemudian kita hijrah dari kewajiban mengikuti upacara
menuju senin sibuk dengan gelas kopi dan setumpuk deadline di kantor,
beberapa kali mulut mangap-sesaat karena mengantuk.
'Mengheningkan Cipta' ini tiba-tiba terpikir ketika
duduk terpekur di ujung jendela kamar:
1. suasana di luar sana yang bisu.
2. Angin yang menyentuh dahan pohon dan membuatnya menari,
3. mas-mas tukang bangunan yang berkacak pinggang memandangi tumpukan marmer, beberapa yang bertukar sapa.
Kapan kita bisa bertemu bisu seperti ini dan menikmatinya?
Tanpa gadget seharian, pikiran selayak layang-layang.
Dengan gadget, kita terfokus dengan segala percakapan fana, cekikikan sendirian.
Yang penting, intinya kita fokus.
Seakan lupa, ada percakapan lain yang lebih perlu kita bahas.
Jauh di dalam lubuk hati.
Dan momen di-ujung-jendela-melihat-kebisuan...
merupakan salah satu cara untuk bercakap-cakap
dengan diri sendiri.
Mengheningkan cipta.
Mengheningkan citta.
Berbahasa dengan pikiran sendiri di kondisi yang paling natural.
Bawel,
diam dengan sendirinya,
bawel lagi,
diam lagi.
Mengheningkan citta.
Cara untuk menyapa 'pahlawan' yang bersemayam dalam pikir,
memuja jasa-jasa... yang seringkali terdistraksi.
Jakarta, 17 Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment