To : a stranger
Every time the
rain bend down and kiss the soil where I stood
Your smell always
bubbling up, tickling my nose
Driving my mind
and soul
To remember all
the little single moves that you created
Sending me
shivering, longing to see you again
Do you still
remember the first time our eyes met?
I did.
I always did.
Hujan.
Kopi yang mengepul.
Laptop yang menyala.
Cerita tentangmu masih mengayun-ayun di sela-sela jemari, menterjemahkan
huruf-huruf yang menari di monitor. Aku tak mampu berkedip, menyaksikan betapa
memori tentangmu masih bergelayutan di batas benak, yang lama kelamaan menjadi
tidak wajar.
Sulit melupakan wajahmu yang tersembunyi di balik payung yang
disinari lampu jalanan temaram berwarna keemasan itu.
saat kau sekejap berbalik
dan rambutmu memantulkan cahaya keemasan itu…begitu mempesona.
Lalu percikan
air-air hujan yang bersemayam di payung kita masing-masing membuncah tinggi
saat kita tidak sengaja bersinggungan.
Hujan yang mereda.
Kopi yang mendingin.
Laptop yang masih menyala.
Lalu, apa kabar dengan kita?
Kau hanya tersenyum sopan sambil berkata, “apa kabar” sementara aku
mati-matian menahan lenganku untuk dilemparkan ke kedua bahumu yang kini
terlihat semakin mendingin itu. aku ingin sekali melihat binar itu memancar kembali
di wajahmu, layaknya saat kita pertama bertemu, berjuta-juta detik yang lalu.
Saat
kita tidak usah memakai dua payung saat hujan mendera begini.
Saat kau bisa
dengan lega berkata, “Untung ada kamu, ini adalah kebahagiaan yang patut disyukuri.”
Saat aku muncul melindungimu dengan payung berwarna pelangiku dari
tangan-tangan hujan yang hendak menjamah tubuhmu.
Hujan yang mengering.
Kopi yang telah tandas.
Laptop yang kini menutup.
“hujannya sudah reda nih, yuk gue antar pulang.”
Aku melempar senyum padamu yang kini sibuk bersiap-siap, mengumpulkan
seluruh gadget mu yang dari tadi berserakan di meja kita. Semua raut wajahmu
masih saja seperti dulu, kecuali sepasang mata yang tersimpan di balik bingkai hitam
kacamatamu itu, tak lagi menyorotkan perasaan itu. matamu, tenang bagai telaga.
“I wanna have one more…” tenggorokanku tercekat. Alismu terangkat. “…cup
of coffee. So, you go home first.”
Aku masih ingin mencecap sisa-sisa kenangan yang tak bersisa, tanpamu...
Dear stranger,
how can you take care of me without loving me?
Don’t help
me to forget you with this way,
we shouldn’t be friends,
we should be strangers.
Dan gelas kopi yang lain datang, mengepulkan aromamu.
Dan bagaimana
caranya aku bisa melupakan seorang kamu yang terus menerus aku butuhkan? As…everything.
Semoga semua kafein yang kutenggak ini, perlahan bisa memberi jawaban.
Bip.
another bip from you.
Take care.
Go home before 7 ya,
I’ll be there at 8, bringing books
you want.
See ya (:
another 'let's say it as a teaser' of my new writing.
this curiosity driving me to think, will it works to take someone you ever loved (and you still loving him) (and he ever loved you too) as a purely friend? since he is your everything.
and frankly said, i wanna join Bentangpustaka's writing competition again for this year.
so, wish me luck.
this gonna be another sleepless night in front of my PC again.
getting my emotions, feelings involved again.
*iket kepala*
jiayou!
No comments:
Post a Comment