Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti
Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com
HELM
WARNA KUNING
“NIKUNG,
SIH! RASAIN!” suara cempreng itu berhasil membuat orang-orang kantoran yang
berjalan di pinggir trotoar menoleh dengan muka horor. Langit yang sudah mulai
senja terlihat begitu indah di kawasan Kuningan, semburat matahari yang hampir
tenggelam bersembunyi malu-malu di balik gedung-gedung perkantoran. Macet,
sudah pasti. Asap kendaraan, apalagi. Namun, knalpot motor matic yang tergeletak di pinggir trotoar itu sama sekali tidak
mengeluarkan asap lagi.
“Ya
udah, sih, suaranya nggak usah gede-gede,” gue mengelus-elus siku kaki gue,
robek sudah jins yang dibelikan Yuna ini. Yuna pernah bilang, harga jins itu
satu setengah juta. Ya manalah gue percaya, itu kan gajinya 2 minggu, mana
mungkin dia mau beliin gue, kecuali dia bego. Tapi, Yuna ini memang bego, gue
cukup sayang sama dia sampai akhirnya gue nganterin dia reunian di kafe daerah
Kemang, dan bertemu dengan cewek bersuara cempreng yang barusan berteriak ini.
“Lu
kan nggak sejago Marquez kalo bawa motor, jadi nggak usah gaya-gayaan!” Namanya
Priscilla. Lihat saja dari perangainya, sudah jelas bahwa dia ini tipe cewek
galak macam emak-emak di pasar dalam kondisi senggol bacok, walaupun begitu,
dia mau saja ditikung.
“Ah,
kamu, masih aja baper sama MotoGP. Kan tadi pagi udah sign petition buat Rossi, kan?” gue jawil lengannya dengan usil
sambil menaik-naikkan alis. Maunya sih ketawa dan bikin dia ketawa juga, tapi
apa daya gue cuma bisa meringis kesakitan, kayaknya gue emang butuh kasih
sayang banget—eh maksudnya, butuh dikasih betadine.
Ini kaki, baru nyium aspal dikit aja udah manja gini. Akibat kurang kasih
sayang, emang.
“Udah
lah! Lagian parah banget sih, si Pedrosa juga ikut andil ternyata! Gue nggak
habis pikir sama mental-mental orang kayak gitu, kan kesian Om Rossi!”
Priscilla mulai berkoar dengan tangannya yang sibuk mencari-cari tisu basah
dari tas warna kuningnya yang norak.
“Pri,
kamu cantik kalo lagi marah-marah.” Eh sumpah, ini refleks. Gue aja nyesel
ngomong kayak gini, lihat saja wajah Priscilla yang langsung mendadak jadi
nenek lampir. Matanya yang sipit mendelik tajam ke arah gue, gue hampir bisa
melihat golok di ujung matanya. Tangannya yang memegang tisu basah terhenti di
udara beberapa detik, lalu kemudian benda itu melayang dan mendarat tepat di
siku gue yang berdarah-darah.
“Aduh!”
gue meringis kesakitan lagi, Priscilla bener-bener tega, masa tisunya dilempar
gini, sih. Yuna aja nggak berani kayak gini ke gue. “Jahat sih, kamu. Yuna aja
nggak tega, lho.”
“Ya
udah, sini handphone lu, biar gue telepon pacar si tukang nikung.” jawabnya
ketus, dagunya terangkat sambil menatap ke arah lalu-lalang kendaraan.
“Daritadi
udah berapa kali kamu bahas nikung-nikung. Kenapa deh, sensi banget?” gue
akhirnya menaikkan nada suara gue, pengaruh nyut-nyutan di kaki kayaknya, jadi
ikutan baper kayak Priscilla. Sebenarnya, alasannya sederhana, dia masih marah
dengan apa yang terjadi di malam reunian kemarin. Tapi gimana dong, gue kangen
banget sama Priscilla ini dan gue nggak pernah expect bisa menemukan dia lagi! Bagi gue, Pri emang cewek yang
langka di hidup gue. Bahkan, kalau Pri minta gue untuk mutusin Yuna sekarang,
gue akan bersukarela melakukannya—walaupun abis itu gue nggak lantas pacaran
sama Pri. Beneran! Beneran segitu desperate-nya
gue sama cewek sialan ini. Sebenarnya bukan karena dia cantik kayak Cara
Develingne atau tajir mampus, sih, tapi karena dia punya kedua nya. Cantik dan
tajir.
“Hidup
itu susah, men. Kalo udah bisa hidup, jadilah yang berintegritas,” balas
Priscilla tegas, alisnya yang tebal mengerut, ia menatap gue dengan tajam
beberapa saat, “gue balik, hati-hati.” Ia merampas tas kuningnya yang
tergeletak di trotoar, bangun dari jongkoknya dan menyetop metromini yang
lumayan sepi, pergi begitu saja tanpa membalikkan badannya SAMA SEKALI. Yaelah,
Pri kan bukan Cinta, dan gue juga bukan Rangga. Nggak perlu lah drama-drama
AADC-an kayak begitu. Tapi tetep aja, jantung gue…. masih deg-degan gara-gara
diliatin dia? Lu lebih bego dari Yuna,
dasar Haris Oktavianto!
Gue bersihkan darah di siku kaki gue yang mulai
mengering, membereskan tas selempang gue dan berjalan tertatih menuju motor matic gue. Gue sama sekali nggak
deg-degan karena mesti menempuh perjalanan panjang ke Sunter dengan motor ini,
bukan juga karena gue takut dimarahin Nyokap. Gue deg-degan karena gue merasa
nggak dianggap oleh cewek sialan itu. Priscilla sama sekali tidak menoleh,
menyuruh gue mengabarinya kalau sudah sampe rumah, atau sekedar ‘gue jenguk
besok,’ apa kek gitu, biar gue seneng dikit. Gue ambil handphone gue untuk menghubungi Yuna, minta maaf atas kejadian
semalam dan memberitahu dia tentang posisi gue sekarang. Seperti yang sudah gue
duga, Yuna histeris dan bilang akan segera naik taksi buat jemput gue. Sekalian aja, Na, bawain derek buat ngangkut
motor gue.
And you see, Priscilla Owen? Ada orang
yang mau mencurahkan semua perhatiannya ke gue, jadi lu nggak usah sok
kecakepan kayak begitu. Lu pikir, gue segitu desperate-nya apa?!
***
Setiap
kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan
segera kita balas dengan anggukan. Kenapa ‘hati’-nya mesti ada dua kali? Gue
nggak pernah mempertanyakan hal-hal tolol seperti ini, sampai siang ini… ada
orang yang tiba-tiba mengetok pintu rumah gue kayak maling. Cara Develingne.
Eh, maksud gue, Priscilla. Bukan Priscilla dalam arti harafiah, sih, tapi
representasi dalam bentuk ojek online
yang sekarang marak beredar di ibukota. Mas-mas berjaket hijau itu menyerahkan
sebuah kotak sambil meminta maaf karena sudah mengetuk pintu rumah dengan cara
yang tidak sopan, katanya disuruh pengirimnya begitu. Dasar cewek rese. Gue
cuma bisa senyum jaim ke mas ojek dan memberinya sedikit tip karena sudah
mengantarkan perasaan ini dengan selamat.
Kotak
itu berisi helm berwarna kuning yang silau banget, lalu secarik kertas dengan
tulisan “awas kalo nggak dipake!!!!!”
ya ampun, tanda serunya banyak banget, udah kayak golok. Helm ini… saking
noraknya bikin kepala jadi mendadak pusing. Belum sempat gue menangisi tragedi
helm kuning ini, handphone gue sudah
berbunyi. Sambil menyeret kaki gue yang masih diperban, gue raih handphone gue, “Halo?” sambil
menghempaskan tubuh gue di sofa.
“Dasar
nggak tahu terima kasih!” suara cempreng di seberang hampir bikin gendang
telinga gue meletus.
“Eh,
selow dong. Thanks ya, sayang,” gue seneng banget denger si cempreng yang
nelpon gue duluan. Ahey.
“Helm-nya
dipake!”
“Lah,
orang helm gue baik-baik aja. Ngapain kirim-kirim helm norak gitu sih—maksud
aku, kamu ngapain sih repot-repot? Mending, kirim diri kamu aja, aku kangen.”
“OGAH!”
Lalu telepon terputus. Gue tatapi
handphone gue yang bertuliskan ‘call ended’ dengan takjub. Wanita macam
apa ini. Tapi, jangan panggil gue Haris kalo kemudian gue ke pojokan dan nangis
sambil keramas. Gue telepon lagi nomor itu, bersabar menunggu nada sambung
sampai akhirnya… dijawab juga.
“Jadi,
Ris, gue jelasin ya. Itu bukan helm. Itu jimat. Udah gue suruh Oma gue buat
jampi-jampiin, supaya lu selalu selamat sentosa setiap kali lu di jalan.” Nggak
pake halo, nggak pake basa-basi, Priscilla langsung nyerocos panjang lebar.
“Kalo
mau aku selamat mah gampang, kamu tebengin aku tiap hari. Aku pasti bawa
motornya bae-bae. Nggak ngebut, nggak nerobos lampu merah, nggak pura-pura jaim
depan polisi. Hehehe.” ujar gue santai, udah nggak sabar mau diomelin lagi sama
cewek ini.
“Lu
pasti protes sama warnanya, kan? Gue udah bilang sama Oma, beli yang warna biru
aja, tapi kata Oma, jimat itu hanya bakal ampuh kalo warnanya kuning. Dipake
helm-nya, Ris, soalnya mustahil gue mau nebeng elu.”
“Iya,
seakan-akan kalo gue ngomong ‘kame-kameha,’ itu helm bisa langsung keluar api,
lho.” balas gue males.
“DIPAKE
RIS, HELM-NYA.”
“Iye,
iyeeee. Bawel, gue pake deh ntar.”
“Ris.”
Suara Priscilla terdengar masih tegas-tegas mampus.
“Iya,
sayang?”
“Dipake
sekarang helm-nya. Oma gue udah siap di depan menyan, siap ngirimin jampi-jampi
keselamatan ke elu.”
Eh
buset. Gue hanya bisa menganga menatap helm yang bahkan belum gue keluarkan
dari dalam kotak. Priscilla mau gue make helm di dalam ruangan? Dipikir gue
bakal head-stand terus muter-muter
sampe pingsan kali, ya. “Iye, udah gue pake.” jawab gue asal, masih melototi
helm yang mengkilat itu.
“PAKE
GAK?” suara cempreng Priscilla membelah langit dan bumi.
“EH
IYA, IYA!” refleks, gue melepaskan handphone
gue ke sofa dan langsung memakai helm itu. Plek.
Bau helm baru selalu enak dicium. Gue nyalain speaker handphone dan suara Priscilla sudah kembali normal.
“Ris…
lu inget sesuatu, nggak?” tanyanya.
“Hah?”
Gue masih membetulkan letak helm norak yang sekarang sudah sukses bertengger di
kepala gue.
“Setelah
donor ginjal ke elu, gue sempet demam tinggi dua mingguan,”
“Ya
iyalah, aku inget!” jawab gue sewot, Pri pikir gue tipe cowok yang nggak ngerti
balas budi apa, gue masih ingat kebaikan Priscilla yang bersedia menjadi donor
ginjal dan menyelamatkan gue dari vonis dokter yang menyatakan bahwa gue bakal
segera mati. Priscilla Owen, yang notabene-nya adalah sahabat baik Yuna.
Priscilla, yang bukan siapa-siapa gue, tapi mau membagikan salah satu organ tubuhnya
kepada gue, di saat Yuna hanya bisa menangis tanpa tindakan apa-apa. Gue
bener-bener berhutang dan memuja Priscilla banget. Bagi gue, dia adalah cewek
paling cantik dan tajir seantero semesta. Hatinya cantik, jiwanya tajir. Gue
pengen banget melindungi dia seumur hidup gue, sayangnya gue kadang suka jiper
dan berasa nggak pantes. Intinya, waktu itu gue panik banget mendapati
Priscilla demam tinggi setelah proses donor selesai, sampe-sampe Priscilla
dirujuk ke Rumah Sakit di Malaysia untuk mendapat pengobatan yang lebih
mutakhir. Setelah itu, gue sama sekali nggak pernah dapat kabar apa-apa lagi
dari Priscilla, sampai akhirnya gue ketemu dia di reunian itu. Coba pikirkan,
gimana gue nggak hepi-jungkir-balik ketemu the
savior of my life?!
“Setelah
gue sembuh dari demam itu, gue… jadi bisa ngeliat Oma gue lagi.” suara
Priscilla mengecil.
Gue
berusaha mencerna kata-kata Pri. Jadi
bisa ngeliat Oma… lagi? Ada hawa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuk
gue, sial, gue merinding.
“Oma
gue sekarang masih di depan lu, lagi ngasih pemberkatan ke elu.”
“Pri…
nggak lucu!” anjrit, suara gue jadi gemeteran gini, tangan gue refleks ingin
mencopot helm penuh misteri ini dan membuangnya jauh-jauh.
“Eeeh!
Jangan dibuka! Kalo lu buka helm itu sekarang, lu bisa ngeliat Oma gue.
Sumpah!”
Anjrit! Gue hanya bisa merutuk
dalam hati, memandangi sekeliling gue dengan penuh kewaspadaan, bisa saja
tiba-tiba ada ‘yang lewat.’ Punggung gue langsung bereaksi mengeluarkan
keringat dingin, gue juga nggak bisa teriak karena bonyok gue juga lagi di luar
kota. Rumah ini kosong, tinggal gue doang. Sialan kau, Priscilla, sialan!
“Oke,
oke. Jadi, kapan kamu mau dateng ke sini temenin aku?” gue berusaha berbicara
dengan nada yang biasa-biasa saja, daripada mikirin si Oma yang spooky, mending gue ngegombalin Pri aja.
“Lah,
gue udah di depan lu, kok.”
DEG!
“Hahahaha…
Udah ah, gue mau mandi.”
“Pri…”
“Oma
gue tadi titip pesen, katanya jampi-jampi sentosanya kira-kira setengah jam. Lu
jangan lepas helm, ya.”
“Pri…
kenapa kaki aku… rasanya dingin-dingin gitu?”
“Lagi
dipegang sama Oma, biar cepet sembuh. Satu, Ris, yang perlu lu ketahui, gue
sempet nyesel banget nggak bisa donor darah ke Oma pas beliau kecelakaan, jadi
lu adalah alasan kenapa gue bersedia donor ginjal.”
“Oh…”
Gue speechless. Kaki gue masih terasa
dingin, rasanya pengen pipis di celana.
“Itu
satu-satunya alasan gue. Bukan karena lu ganteng, jadi lu jangan sok
kegantengan!” suara Priscilla jadi galak lagi. “Ya udah, hati-hati ya.”
Priscilla mematikan teleponnya, sementara gue masih nanar mencerna semua
kata-kata yang terdengar kayak bahasa asing.
Setiap
kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan
segera kita balas dengan anggukan. Kenapa hatinya mesti ada dua kali?
Apa
karena hati bukan ginjal? Karena hati bukan ginjal yang ada dua dan bisa
dibagi. Karena hati adalah nyawa yang lebih berharga dari umpatan di jalan raya
yang macet, waktu yang mepet untuk sampai ke tempat tujuan, ataupun aspal mulus
yang menggoda stang kanan untuk diputar lebih pol. Karena nyawa yang dibahas di
sini lebih mahal dari nyawa HP (hit point)
atau MP (magic point) yang ada di game, nyawa ini tidak bisa di-restore. Cupu emang. Gue juga nggak
ngerti, walaupun sudah hampir sekarat dan hidup lagi berkat ginjal dari Priscilla,
gue nggak pernah merasa ada salah apa-apa kalau ngebut di jalanan. Udah biasa,
semua orang juga begitu. Terbiasa ngebut, terbiasa maki-maki, terbiasa ngambil
jalan busway, nyalip bus dan mobil, apa sih salahnya? Hidup di Jakarta memang
keras, men, semua dituntut serba cepat.
“Hati-hati,
ya!” suara itu lagi-lagi menggema di pikiran gue. Gue rasa helm ini dipakein
perekam suara, deh. Gue bergidik sambil mengingat-ingat lagi, nyawa manusia
memang nggak bisa di-restore kayak di
game, tapi setidaknya gue bisa pake skill supaya nggak cepet-cepet amat
ko’it nya. setidaknya menghargai usaha Priscilla yang udah repot-repot manggil
Oma-nya ke rumah gue. Gue meringsek ke depan sambil meraih kotak yang tadinya
berisi helm, masih ada secarik kertas di dalamnya. Gue hampir jejingkrakan dan
salto ketika melihat tulisan Priscilla: take
care, take care of yourself = take care of me.
Iya,
sayang, gue bakal jaga ginjal ini baik-baik, sampe gue bisa menjaga seluruh
hidup lu suatu hari nanti. Amin! Dan entah kenapa, helm kuning ini berubah menjadi
biasa-biasa aja, nggak norak lagi. Dan entah kenapa, memakai helm di dalam
ruangan seperti ini, sendirian, dan (mungkin) ditemani makhluk halus juga jadi
biasa-biasa aja. Dan entah kenapa gue yakin, tiap kali gue pake helm ini ke
manapun, suara Priscilla yang ‘hati-hati’ akan selalu terngiang di kepala gue.
Iya,
Priscilla, iyaaaaaa.