Saturday, March 14, 2015

Gelombang - Sebuah Resensi Sangat Subjektif


suka sama humor 'nyeleneh' tapi serius macam begini:
"Pernah kau bicara sama tumbuh-tumbuhan?" - Ompu Togu Urat


Saya hidup dalam gelombang fiksi. Dari kecil, saya jatuh cinta dan percaya akan keberadaan Dewa Neptunus jauh di dasar samudra; bidadari yang menghuni kahyangan atau sekedar tinkerbell yang berkepak di ujung kuping. Namun, seiring kedewasaan yang menyeruak dan melesakkan khayalan ke ujung bumi, saya mulai belajar bahwa fiksi hanyalah sekedar fantasi dan ilusi. Tidak ada kenyataan di sana. Fiksi hanyalah salah satu cara orang dewasa melarikan diri... dengan anggun, dengan sopan.

Namun, saya belajar lebih cepat dari fiksi, yang makin lama menjadikan saya makin realistis. Karya Dee, kebanyakan. I fell in love, hardly, sejak SMP kelas 3. Bukan dari kisah ringan berbentuk cerpen dari majalah, namun dengan sosok Arwin di Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Dee selalu datang dengan karya yang paling make sense, logis, serta taburan bumbu romansa yang kadang menye-menye, tapi saya demeeeen. Menggelitik semangat dan kupu-kupu di perut!

Baiklah, dimulai dari ‘figuran’ bernama Arwin itu lah, saya ‘terperangkap’ dan tidak rela ‘membebaskan diri’ dari seri Supernova. Saya lahap semua, hingga tibalah di Gelombang.

Gelombang mengisahkan pemuda batak yang lahir di kampung di kaki gunung Pusut Buhit, sarat akan budaya yang kental dan suasana desa yang ‘totok.’ Dee meracik percakapan dalam bahasa batak dengan ciamik, sampai-sampai saya ketawa terus karena kebawa logatnya waktu baca. Sukaaa sekali dengan cara Dee menuturkan sifat-sifat orang di sekitar Ichon alias Alfa Sagala alias Thomas Alfa Edison: mulai dari orangtua, saudara hingga dukun-dukun yang ada di kampungnya. Yang paling berkesan, tentu saja Mamak. Mamak tokoh yang cerdas dan emosional—ia yang pertama saya kagumi di kehidupan masa kecil Alfa. Hingga berangkatnya Alfa menuju Amerika Serikat, tokoh-tokoh baru yang bermunculan semakin membikin cerita ini berwarna, misalnya Ishtar yang bikin penasaran.

Bicara tentang fiksi yang membuat saya menjadi makin realistis, Gelombang berhasil merefleksikan bahwa hidup memang akan selalu menempatkan kita pada kebimbangan. Tentang siapa yang harusnya kita percayai, siapa yang bisa diandalkan—ternyata tidak ada. Orang lain hanya bisa mengantarkan kita pada jalan menuju jawaban. Ketika tiba di persimpangan itu, kitalah yang harus mencari tahu sendiri. Belum lagi tentang apa dan siapa yang kita percayai belum tentu benar; apa yang terlihat baik belum tentu aman. Siap-siap sakit hati dengan jungkir-baliknya dunia dan sikap orang sekitar—maksud saya tokoh-tokoh di dalam Gelombang—karena Dee semakin pintar memainkan emosi pembacanya. Psst.. saya sudah berkali-kali patah hati, sejak Partikel. Namun, lagi-lagi, itu yang bikin saya tak bisa melepas buku ini. Sayang kalau tidak dilanjutkan, sayang juga kalau tiba-tiba saja sudah habis, belum lagi ceritanya yang masih menggantung...

Masih segar di ingatan, buku ini saya baca tak lama setelah mendengar audio kiriman teman yang berjudul Dreaming Yourself Awake. Tentang tibetan dream yoga. Wow. Just wow. Intinya, the novel that connects. Yang selalu saya yakini, bahwa apapun yang kita ketemukan, tidak mungkin hanya sesederhana kebetulan. Jadi, jika kamu sudah membaca resensi ini sampai di sini, mungkin itu hanya kebetulan yang mengantarkanmu membaca Gelombang juga. Haha!




About Dee’s Coaching Clinic!
Pengen kayang sambil joget ketika salah satu teman mengirimkan info ini. Diajarin nulis sama idola??! Well, i’ve met Dee in person, segar sekali di ingatan: saya yang cengo, lupa caranya histeris, sampai ngomong dengan mupeng maksimal minta pelukan sama Dee. Untung Mak Suri ngga ilfil sama saya.


Well, Coaching Clinic is different case! Pastinya banyak yang menganggap Dee itu otaknya seksi, but for me, Dee berhasil menulis dengan bijaksana. Awalnya saya pikir, tiap kata yang Dee tuliskan mengalir dengan luwes, namun setelah ditelisik, semua kata-kata itu dipersiapkan dengan matang, bersebab-akibat. 

Bagi saya, menulis adalah nafas—selalu ada kala terjaga ataupun terlelap. Saya hanya ingin belajar ‘bernafas’ dari ahlinya, bernafas dengan bijaksana, hingga hidup saya—tulisan saya menjadi lebih bermanfaat, layaknya tulisan Dee yang memberi warna lebih di hidup para pembacanya. Hingga jika kesempatan ini benar-benar tiba untuk saya, saya tidak hanya pernah memeluk Dee, namun juga memeluk kebijaksanaan dan... energinya. #meleleh

2 comments:

Michael said...

Keren reviewnya! Semoga terkabul ya keinginan coaching clinic dengan Mba Dee. :)

Nana Takizawa said...

@michael: Thanks thanks maik! Berharap doa lu jadi nyata. Sadhu :D