Thursday, December 31, 2015

Halaman ke-365: Percakapan Pagi dan Malam di Ujung Tahun 2015


"Manusia begitu sibuk bercita-cita, 
hingga mereka lupa apa yang sebenarnya dicita-citakannya."


Di suatu siang yang sepi karena kebanyakan penduduk ibukota sudah beranjak menuju liburan, terjadi percakapan antara Pagi dan Malam selagi kembang api sedang disiapkan:

Pagi:"Hai, kamu dari mana?"
Malam: "Aku dari tahun 2015."
Pagi: "Kamu mau ke mana?"
Malam: "Aku mau ke tahun 2016."
Pagi: "Tempat seperti apa itu?"
Malam: "Entahlah. Aku tidak lagi rajin melihat ramalan horoskop seperti tahun-tahun sebelumnya. Sudah terlalu lelah untuk prediksi ataupun ekspektasi."
Pagi: "Lalu, kau ini mau ke mana?"


Malam hanya bisa menggeleng, lalu menepi sebentar di sudut kota tempat ia bisa menyesap kopi yang tak terlalu pahit -- mungkin dicampur sedikit susu -- sehingga merenung tidak lagi disamakan dengan menyendiri. Lagipula, bagaimana mungkin bisa menyendiri kala begitu banyak suara-suara dalam benak minta dikeplak layaknya dengung-dengung nyamuk?


Suara-suara itu tak henti-hentinya berkicau, buru-buru ingin menutup halaman terakhir, padahal tak semua berhasil dituntaskan. Lalu kenapa pula aku harus menuntaskannya?

Hari ini, "tahun lalu" terasa bagai lamunan yang sudah menguap di udara terik.
Hari ini, "tahun lalu" terlihat bagai api yang sudah hampir berhasil melumat 364 hari, menyisakan abu dan bara yang sedikit-sedikit masih berhembus.


Suara-suara itu pun tak henti-hentinya bermimpi, buru-buru ingin menggariskan segala mimpi untuk tahun depan, seperti memberi nama pada bayi yang bahkan belum lahir. 

Hari ini, "tahun depan" terasa begitu dekat. Terjangkau, tapi tidak dengan harga yang murahan.
Hari ini, "tahun depan" terlihat begitu jelas. High definition.


Pagi: "Hai, kamu dari mana?"
Malam: "Aku... sekarang ini berasal dari akhir tahun 2015."
Pagi: "Kamu mau ke mana?"
Malam: "Aku mau ke hari esok. Tapi masih dalam perjalanan. Sambil menikmati perjalanan, aku mau menciptakan janji-janji lagi kepada diri sendiri, yang lebih adil dan lebih menjanjikan."
Pagi: "Janji seperti apa itu?"
Malam: "Janji yang sederhana, seperti... menepati janji itu sendiri."
Pagi: "Jadi bukan mimpi, harapan atau.... resolusi?"
Malam: "Semua hanya tentang penamaan saja, bukan? Intinya tetap saja mengenai... tertawa lebih sering."
Pagi: "Ah, kau ini omong kosong!" 
Malam: "Oke, baiklah. Janjinya adalah... mencintai dengan lebih tulus; membiarkan diri dicintai dengan lebih tulus."
Pagi: "Sejenis nelangsa?"
Malam: (tertawa sambil menggeleng samar) "Sejenis kejujuran, untuk menerima keterbatasan diri di satu sisi dan mengekspansi diri di satu sisi lain. Bagaimanapun juga, kita ini manusia yang suka berandai-andai dan juga senang mencapai tujuan. Tahun baru, aku akan menyulut lagi api yang sempat meredup, kalau tidak, apa gunanya menjadi dewasa?"
Pagi: (tersipu)


Sebetulnya, Pagi ingin segera memunculkan mentari, tapi ia tak bisa. Ia tetap harus menunggu panitia-panitia Pesta Tahun Baru menyelesaikan tugasnya melepas berton-ton kembang api di pinggir pantai, di dekat pohon natal Mall-mall megah, di tengah-tengah kemacetan, kepul barbeque atau kelip bintang. 

Sebetulnya, Pagi bisa bersabar, karena perkara kehadirannya sendiri, hanya masalah waktu. Perkara kehadiran tahun 2016 dan segala janji yang kelak ditepati, hanya masalah waktu. Bukankah begitu? 


***
Saya sempat mengacak-acak lalu menemukan sedikit partikel dari 2013, sejenis menemukan sisa bara yang ternyata masih mengepul. Saya rasa itu gunanya menyisihkan waktu, sesedikit apapun, untuk menulis:

The so-called 'home' is not always the place where you raised and grew. 
It is where you can be fully accepted as a human being,
and also the place that allows you to grow and glow,
to push your limit, to let you fall down, cry out loud but never want to give up.
Place where you are giving your all passionately,
to be the very best of yourself at any time,
with a fairer  point of view, to give sincerely.
Place that make you always feel safe, yet make you always on fire...
on catching your own breath. 


Well, have a fabulous 2016, 
dearest readers!

Tuesday, December 15, 2015

Spoken Words Script: The Talking Coffee. #Indonesia

Skrip Spoken Words ini ditulis dalam rangka mengikuti #OpenMic Unmasked Vol.2 
yang digelar pada Jakarta Biennale 2015.
Bekerjasama dengan PWAG Indonesia dan FemArts, kita bicarakan segala sesuatu tentang wanita.



“Secangkir kopi pahit yang tak mengerti, mengapa wanita itu selalu menyeduhnya di saat sendiri; mengapa wanita ituselalu memesan cappuccino yang cemen ketika sedang kopi darat di kafe-kafe cemen.”


The Talking Coffee.

Apa yang terjadi bila segelas kopi ini // pagi ini// 
mengajakmu berbicara?

Hai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa / 
aku sering tersipu kalau kau mendekatkan bibirmu yang baru dipulas gincu untuk mengecupku lalu selayak puisi kau nyalakan 
sedikit / 
sedikit / 
demi sedikit teguk-teguk yang mengetuk perasaan bahagia // 


Ah kau ini lucu / 
kau masih terseret kantuk / 
makanya kau lagi-lagi merengek sambil mewek // 
Bukan bukan / 
kau tak lucu / 
kau ini aneh / 
kau menatapku dan membiarkanku mengepul sambil kau melamun lalu kau campurkan airmatamu yang sepet lalu kau minum sendiri / 
sehingga kau terpaksa terjaga sepanjang malam sambil menyayat-nyayat kelam yang terlambat tertambat//
Kadang kau juga mengoyak-ngoyak kesabaranku / 
kau tak boleh membiarkanku dingin begitu saja hanya karena kau mendadak tidak mood minum kopi wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa! // 
Kau ini masih bocah / 
aku capek! // 
Eh, tapi bukankah kau dan para priamu memang jiwa-jiwa bocah yang membuncah dari tubuh orang dewasa? / 
Kalian mengawang dalam sesi-sesi kopi darat lalu berbincang tentang cuaca / 
neraca /
dan ayam rica-rica// 
Kadang kau terbahak bersama buaya / 
kau bermimpi bersama tukang tenun harap / 
kau bergurau dengan pangeran parau yang ternyata datang dari desa // 


Sebetulnya kopi darat tak begitu menyebalkan tapi aku sering frustasi karena kau / 
selalu / 
memesan / 
cappuccino // 
Apa kau sebenarnya tak pernah memujaku seperti tiap pagi kau menyesap segala pahit dan asam yang kelak bermuara di degup jantungmu?


Aku sering membaca benakmu / 
bagimu aku adalah sekelumit rumit yang tak kunjung pamit dan sesederhana itu kau terus mencinta // 
Ya aku sedang menyusuri benakmu / 
kopi yang dicampur setengah cangkir susu adalah jalan pintas agar kau merasa pantas dicintai / 
karena tak banyak yang hendak bersulit-sulit mempelajari pahit // 
Persetan dengan originalitas / 
kau hanya ingin dicintai dengan pas // 
Tak heran / 
kau sering terlepas // 
Namun setidaknya di pagi buta pukul lima sayup-sayup udara dingin mematuk kulit / 
kau masih tetap memilih menghirup bunyi denting sendok menggoda cangkir seraya merayakan sepi di ujung mimpi //


Ko-pi // 
Kotoran Pikiran // 
Kadang kau sebal denganku lalu menyebutku kotoran / 
namun denting sendok masih mengayun mengaduk kelebat pikiranmu yang mengundang ampas-ampas kembali merangkak ke permukaan // 
pekat hitam legam / 
tak mengerti juga kenapa kau mencintai setiap cangkir yang menyambut pagi dan pula menyimpan kelam sisa tadi malam dimana setiap titik bersinggungan tanpa bertemu titik temu//
Mungkin kau candu / 
kau rela membagi-bagi waktu tidurmu yang menguap di udara sambil terbawa suasana / berharap aku tetap menjadi alasanmu yang paling cerdas untuk mengikuti ritme jagad raya.


Sini / 
kuberitahu kau satu rahasia kaum biji kopi / 
menjelajah rasa selalu mendebarkan / 
kau kira aku mengerti mengapa aku adalah alasanmu untuk terbangun tiap pagi padahal aku pahit / 
padahal aku pun tak mampu mendefinisikan rasaku sendiri // 
Mungkin sebabnya hanyalah / 
karena /
 aku / 
kopi / 
apa / 
adanya / 
tanpa gula tanpa krimmer tanpa susu aku / 
melebur bersama semesta rasa //
Dan kau / 
wahai wanita dewasa yang mengaku-ngaku dewasa yang berusaha menjadi dewasa kalau perlu yang apa adanya / 
kau / 
pantas dicinta // 
Sepahit apapun ujung bibirmu /
 serumit apapun ujung benakmu  kau /  


pantas dicinta //

Locate me. Crematology Coffee Shop.