Tuesday, March 24, 2015

#MyNoteEdge: Pencipta Segala Lengkung untuk Menulis




Menulis selalu menjadi nafas: membutuhkan dan dibutuhkan. 

Saya membutuhkan nafas untuk tetap hidup, demikian pula nafas dibutuhkan untuk kehidupan itu sendiri. 

Menulis sangatlah krusial, karenanya bagi seorang perfeksionis seperti saya, akan selalu memastikan tulisan saya mengalir sebagai nafas yang cukup menyejukkan bagi pembaca, syukur-syukur membawa makna bagi hidup mereka. Segala karya yang akan di publish harus di cross-check lagi, mulai dari tanda baca, konten, hingga foto-foto. Tak ayal, aplikasi android seperti Jotterpad, Office—dan karena saya adalah pecinta instagram yang cukup aktif—maka Snapseed, PhotoGrid, PicsArt, dll selalu menjadi ‘persinggahan’ sebelum mengeksekusi secarik tulisan.

Lama-lama, kegiatan edit-mengedit ini cukup menyita waktu juga. Rasa-rasanya seperti kejar-kejaran dengan waktu. Tak heran sih, hidup di jaman seperti ini, tiap momen selalu ada “What’s next? What’s next?!” yang berlompatan dari pikiran saya. Terpikir pula dengan hashtag @SamsungID yang belakangan wara-wiri di instagram saya: #NextIsNow. Ah, bagaimana cara untuk berada pada kekinian melulu? Penulis juga temasuk pekerja seni, harus kaya akan macam-macam inovasi yang mumpuni, atau tidak, siap-siap mati.


Catch me if you can.
edited from samsung.com

Inspirasi memang tak jauh beda dengan jelangkung—datang tak dijemput, pulang tak diantar. Saya menerjemahkannya sebagai momentum. Inspirasi, kalau sudah lewat waktunya, lebih baik move on; karena kalaupun dipaksa  datang, bentuknya pasti sudah berbeda. Sayangnya, inspirasi yang cetar membahana memang selalu datang at the first moment, saya sendiri kadang sebal kalau ternyata smartphone saya lagi mendadak ‘cengo’ alias lemot begitu inspirasi melesat, duh ngga bisa ditulis di memo. Saya juga suka corat-coret di notes, yang apesnya selalu ketinggalan kalau lagi jalan-jalan.

Nah, mari berandai-andai, the sexiest gadget in the planet who always knows what to do. Hap hap hap, dengan prosessor 2.7 GHz, saya bisa menangkap dan melahap ide apapun yang terbersit di menit pertama, dan menuangkannya dengan sekali geser ala air command dalam Action Memo, Screen Write, Image Clip, New Smart Select, menulisnya dengan S Pen Stylus—dan tetap, menjunjung tinggi originalitas tanpa fabrikasi apapun karena keterbatasan smartphone (baca: edit-mengedit). Dengan sensitivity level of 2048, mulai dari menulis ide acak adut hingga #lettering, menggambar mind map, konsep hingga #doodle pasti akan membuat inspirasi sekejap menjadi seksi!

Menjaga Keluarga:
Karena mereka begitu berharga,
maka saya memutuskan untuk terus terjaga.
#lettering di #SamsungNoteEdge ?
#aksarabu pasti jadi lebih bermakna!























Tentu, selain lengkung khas Samsung Note Edge ini, saya jatuh cinta habis-habisan dengan S Pen Stylus—sejak teman saya menerangkan pelajaran matematika simpel dengan Note 3 nya—dan entah kenapa, saya yakin kalau alat ini bisa menjadi jembatan, antara otak saya dan kenyataan.


Steal like an artist
edited from samsung.com

Yup, steal it like an artist kalau kata Austin Kleon. Selain datang tiba-tiba, (memangnya cuma cinta yang bisa datang tiba-tiba?) inspirasi juga perlu dicuri. Saya masih saja orang kantoran yang  menghabiskan 15 jam per-minggu di dalam busway sambil merayakan macet. Karena mendengar lagu sambil melamun, kepo terus-terusan di socmed sudah jadi kegiatan basi, saya lebih suka menontoni aktor korea—kalau nanti sudah punya Samsung Note Edge—pasti saya sudah tidak nonton sendiri lagi, melainkan berjamaah! Guess why? Makhluk mana sih yang ngga akan melirik Samsung Note Edge yang beresolusi 1600x2560, QUAD HD lagi! Belum lagi teknologi Super AMOLED-nya, bening parah!

Dengan kualifikasi seperti itu, pastilah kegiatan baca-baca berita di Flipboard akan bikin nyaman saya banget. No wonder kalau boss saya suka banget sama gadget-nya yang satu ini, berulang kali ia menunjukkan contoh artikel dengan Samsung Note Edge-nya—bahkan sudah bikin saya dan teman-teman saya mupeng sebelum gadget ini masuk ke pasar Indonesia. Di samping itu, edge screen-nya yang memungkinkan membuka beberapa tab sekaligus dan bisa diatur sesuka kita, membuat saya bisa tetap tenang dan keep noticed—terutama email, karena memang saya suka banget menunda balasan pesan—apalagi kalau sudah tenggelam dalam tontonan atau artikel keren.


For the sake of #NyarisPuitis

"Menyelami benakmu,
menenggak senyummu"

Foto yang membawa saya ke launching
#SamsungAvenew #BeginWithA
Iseng-iseng di Sushi Tei:
"Andai rasa bisa berbahasa
mungkin ia akan memuja lidah
... dan kamu."

As i said before, i looooove instagram a lot! Bukan karena saya menulis tentang makanan, traveling atau cara make up. Instagram memang ranah yang jarang dijelajahi penulis, namun... menulis dalam foto, why not? Bukan hanya tentang foto yang memanjakan mata, namun juga caption yang sarat makna, keduanya bisa saling bertautan. Menghasilkan foto yang bagus memang pe-er banget (as i mentioned before, i used lot of apps to edit it), sama halnya dengan memikirkan caption oke. Saya memang lagi bingung gara-gara mau ganti smartphone, kira-kira smartphone macam apa sih yang cukup gede untuk baca ebook, mendukung kegiatan menulis, sekaligus dengan kamera jernih so i can shoot like a pro?


   
my favorite #ootd
never forget to take that cool caption with 'em.


Well, kalau angan saya untuk punya Samsung Note Edge ini tercapai, maka terjawab sudah dikotomi di atas. Bahkan lebih dari cukup: kamera depan dengan resolusi 3,7 megapixels, f 1.9 untuk selfie yang memang tak boleh terlewatkan; plus kamera belakang beresolusi 16 megapixels dengan optical image stabilisation (OIS), selective focus dan HDR. Ah, membayangkannya saja sudah bikin saya cengar-cengir. Masa depan #NyarisPuitis pasti akan semakin cerah, dan... #ootd saya pasti akan makin kece! *fingercrossed


Order the Chaos
edited from samsung.com

Order dan Chaos adalah dikotomi selanjutnya yang pasti dihadapi oleh tiap orang. Tak terkecuali penulis yang juga (sering) stres dengan riuh dan ricuh isi kepalanya. Kadang, karena menyambut beberapa project sekaligus berhasil merampas fokus saya, membuatnya terpecah belah. Namun, saya yakin fitur DIY your display (Express Me) di Samsung Note Edge akan menjawab segala semarak yang ada di otak saya, mengatur helai demi helai keruwetan pikiran dan membimbing saya mengerjakan satu demi satu project. Isn’t simple is the new elegant? That’s why, i believe Samsung Note Edge can simply turn my chaotic thoughts into productivity and awesomeness.

----

Selain menulis yang menjadi nafas bagi saya, satu hal lagi yang saya yakini: ketika ada satu orang—satu orang saja—yang tergugah oleh tulisan ini, dan sekedar membentuk lengkung bahagia di ujung bibirnya... maka semua ini worth it.

Really, it all worth it.

Kalau begitu, lengkung pada Samsung Edge Note pun bisa mencipta ‘lengkung-lengkung’* lain dalam hidup orang-orang, eh?

Lalu, bila teriak-teriak di otak kembali bergema “what’s next? What’s next?”, saya rasa saya bisa menjawab lantang, “Hey! #NextIsNow!” sambil menggenggam #MyNoteEdge, melenggang santai di kerumunan ide(alisme).

#MyNoteEdge


*Lengkung, that how i call the ‘edge’ on Samsung Note Edge. The ‘curve’ of smiling heart on the edge of happy-ness.

Saturday, March 21, 2015

Besok.

"Besok."
Aku termangu, ucapan gadis kecil itu kepada ayahnya yang sedang menyupiri angkot yang kini kunaiki, mengapa begitu menohok?


Besok. Besok tak pernah datang. Besok hanyalah seutas senyum darinya; beberapa sentuhan ringan yang hinggap di pinggang, sukses mengirimi sengatan listrik ke tubuhku; tawa tercekatnya yang kemudian dihujani dengan teori-teori yang membuatku bergumam halus atau membantah sambil setengah berteriak membantahnya - akhirnya aku bisa membantahnya juga; atau menowel pipi berjanggut halusnya yang kalau terbahak, selalu menyisakan cekung yang begitu menggemaskan.

"Kita tak akan ke mana-mana?" tanyaku di suatu senja.

Ia menggeleng sambil membenamkan topi kupluknya lebih dalam lagi, matanya yang belo menghilang dari pandanganku. Gemas, kutarik ia mendekat. Tawanya lepas, patah-patah. "Heh, wanita gila! Memangnya salah, kalau kita cuma duduk-duduk di depan Sevel sambil ngeliatin mobil lewat?"

"Salah. I wanna travel around this city, go discover anything! Anything! Why would we just stay here like a dumb?!" suaraku bercampur energi, aku. mau. terbang.


"Besok."

Aku rasa, aku mendengarnya sayup-sayup berkata demikian. Atau mungkin hanya dalam ilusi semata. Aku suka obrolan penuh sahut-sahutan yang meledak menjadi bukan apapun bersamanya; kopi yang ia buatkan karena tidak-ada-kerjaan-lain; lambaian tangannya sewaktu kita memutuskan akan berjumpa lagi, besok.


Selamat Malam, katanya.

Ia buka lagi dengan Selamat Pagi.

Sampai entah kapan, semua menjadi tak menentu, lalu hilang bersama asap, menjadi asap.


tomorrow, tomorrow i love ya.

Besok.
Besok tak pernah datang, walau besok selalu menantang. 

Besok selalu ada sebagai harapan.
Dan ia tahu, aku tidak bodoh.



Walau kadang, aku menikmati kebodohan.
Bersamanya.
Selayak aku menikmati setiap detik yang berlalu dari ujung jemarinya, ujung bibirnya dan ujung pikirnya.



Karena ia suka menontoni lalu-lalang kendaraan di depan Sevel, dengan secangkir kopi hangat dan chitato... bersamaku.

Karena aku ingin melanglang buana bersamanya ke seluruh pelosok tempat, jemari yang saling bertaut, sesekali berbagi payung... bersamanya.

Karena itu, 
mungkin, 
sebaiknya salah satu di antara kita berkata, "Besok."


Tak pernah datang.



While it last,
enjoy.

Saturday, March 14, 2015

Gelombang - Sebuah Resensi Sangat Subjektif


suka sama humor 'nyeleneh' tapi serius macam begini:
"Pernah kau bicara sama tumbuh-tumbuhan?" - Ompu Togu Urat


Saya hidup dalam gelombang fiksi. Dari kecil, saya jatuh cinta dan percaya akan keberadaan Dewa Neptunus jauh di dasar samudra; bidadari yang menghuni kahyangan atau sekedar tinkerbell yang berkepak di ujung kuping. Namun, seiring kedewasaan yang menyeruak dan melesakkan khayalan ke ujung bumi, saya mulai belajar bahwa fiksi hanyalah sekedar fantasi dan ilusi. Tidak ada kenyataan di sana. Fiksi hanyalah salah satu cara orang dewasa melarikan diri... dengan anggun, dengan sopan.

Namun, saya belajar lebih cepat dari fiksi, yang makin lama menjadikan saya makin realistis. Karya Dee, kebanyakan. I fell in love, hardly, sejak SMP kelas 3. Bukan dari kisah ringan berbentuk cerpen dari majalah, namun dengan sosok Arwin di Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh. Dee selalu datang dengan karya yang paling make sense, logis, serta taburan bumbu romansa yang kadang menye-menye, tapi saya demeeeen. Menggelitik semangat dan kupu-kupu di perut!

Baiklah, dimulai dari ‘figuran’ bernama Arwin itu lah, saya ‘terperangkap’ dan tidak rela ‘membebaskan diri’ dari seri Supernova. Saya lahap semua, hingga tibalah di Gelombang.

Gelombang mengisahkan pemuda batak yang lahir di kampung di kaki gunung Pusut Buhit, sarat akan budaya yang kental dan suasana desa yang ‘totok.’ Dee meracik percakapan dalam bahasa batak dengan ciamik, sampai-sampai saya ketawa terus karena kebawa logatnya waktu baca. Sukaaa sekali dengan cara Dee menuturkan sifat-sifat orang di sekitar Ichon alias Alfa Sagala alias Thomas Alfa Edison: mulai dari orangtua, saudara hingga dukun-dukun yang ada di kampungnya. Yang paling berkesan, tentu saja Mamak. Mamak tokoh yang cerdas dan emosional—ia yang pertama saya kagumi di kehidupan masa kecil Alfa. Hingga berangkatnya Alfa menuju Amerika Serikat, tokoh-tokoh baru yang bermunculan semakin membikin cerita ini berwarna, misalnya Ishtar yang bikin penasaran.

Bicara tentang fiksi yang membuat saya menjadi makin realistis, Gelombang berhasil merefleksikan bahwa hidup memang akan selalu menempatkan kita pada kebimbangan. Tentang siapa yang harusnya kita percayai, siapa yang bisa diandalkan—ternyata tidak ada. Orang lain hanya bisa mengantarkan kita pada jalan menuju jawaban. Ketika tiba di persimpangan itu, kitalah yang harus mencari tahu sendiri. Belum lagi tentang apa dan siapa yang kita percayai belum tentu benar; apa yang terlihat baik belum tentu aman. Siap-siap sakit hati dengan jungkir-baliknya dunia dan sikap orang sekitar—maksud saya tokoh-tokoh di dalam Gelombang—karena Dee semakin pintar memainkan emosi pembacanya. Psst.. saya sudah berkali-kali patah hati, sejak Partikel. Namun, lagi-lagi, itu yang bikin saya tak bisa melepas buku ini. Sayang kalau tidak dilanjutkan, sayang juga kalau tiba-tiba saja sudah habis, belum lagi ceritanya yang masih menggantung...

Masih segar di ingatan, buku ini saya baca tak lama setelah mendengar audio kiriman teman yang berjudul Dreaming Yourself Awake. Tentang tibetan dream yoga. Wow. Just wow. Intinya, the novel that connects. Yang selalu saya yakini, bahwa apapun yang kita ketemukan, tidak mungkin hanya sesederhana kebetulan. Jadi, jika kamu sudah membaca resensi ini sampai di sini, mungkin itu hanya kebetulan yang mengantarkanmu membaca Gelombang juga. Haha!




About Dee’s Coaching Clinic!
Pengen kayang sambil joget ketika salah satu teman mengirimkan info ini. Diajarin nulis sama idola??! Well, i’ve met Dee in person, segar sekali di ingatan: saya yang cengo, lupa caranya histeris, sampai ngomong dengan mupeng maksimal minta pelukan sama Dee. Untung Mak Suri ngga ilfil sama saya.


Well, Coaching Clinic is different case! Pastinya banyak yang menganggap Dee itu otaknya seksi, but for me, Dee berhasil menulis dengan bijaksana. Awalnya saya pikir, tiap kata yang Dee tuliskan mengalir dengan luwes, namun setelah ditelisik, semua kata-kata itu dipersiapkan dengan matang, bersebab-akibat. 

Bagi saya, menulis adalah nafas—selalu ada kala terjaga ataupun terlelap. Saya hanya ingin belajar ‘bernafas’ dari ahlinya, bernafas dengan bijaksana, hingga hidup saya—tulisan saya menjadi lebih bermanfaat, layaknya tulisan Dee yang memberi warna lebih di hidup para pembacanya. Hingga jika kesempatan ini benar-benar tiba untuk saya, saya tidak hanya pernah memeluk Dee, namun juga memeluk kebijaksanaan dan... energinya. #meleleh