Wednesday, May 13, 2015

Sahabat (tak) Selebar Daun Kelor


Keenan
Pertama kali menjabat tangannya, panas. Sepertinya cewek ini kebanyakan makan kambing. Katanya, namanya Aruna. Keenan curiga itu bukan nama sebenarnya, ia lebih cocok dinamakan Mashed Potato—jenis makanan yang terdengar sophisticated, tapi ternyata hanya kentang yang dibejek-bejek. Rasanya uwek. Aruna memang jenis cewek murah senyum khas divisi marketing, tapi caranya memperhatikan orang lain berbicara—jelas-jelas ia sedang berpura-pura tertarik. Ah, selamat datang lagi di dunia kerja yang penuh kepalsuan, batin Keenan pahit. Selamat datang di dunia tanpa teman sejati.

Aruna
Pertama kali mengintip CV-nya, Aruna sadar sekali akan jantungnya yang berdetak lebih cepat. Bukan, bukan jatuh cinta, bodoh. Keenan Putra, game master, pengalaman marketing dua tahun di Leopard Game House. Cih. Diam-diam, Aruna merasa kesal terhadap dirinya sendiri, ia sama sekali tidak suka main game—walau sudah bekerja di game company selama hampir setahun. Aruna masih memamerkan gigi cantiknya begitu melepas jabat tangannya dengan Keenan, dalam hati mengumpat gaya Keenan yang bersedekap sok cool begitu, minta dibejek-bejek jadi mashed potato!

 ***

“Kepikiran buat sekolah atau kerja lagi di luar negeri?” tanya Aruna, tiga bulan setelahnya.

“Iya, dong!” Keenan menjawab sambil mengangguk kuat-kuat, “Emangnya lo nggak mau?” mata bulat Keenan melotot heran begitu melihat Aruna yang manyun.

“Mau sih, tapi maunya kawin sama bule. Percuma rasanya punya pacar bule, tapi visa masih di-PHP terus. Gue pengen ketemu musim dingin, kalo ngomong ada asapnya, kan luuucuuuu. Terus pake mantel kece, sama... ke museum Louvre, tempat-tempat bersejaraaaah, aaaaa!” pipi Aruna menggempal saking lebarnya tersenyum.

“Aruna, oh Aruna. Coba waktu pertama kali kita kenalan, gue bisa lihat binar kayak gitu di mata lo; senyum lo yang tulus lepas, ck!” gerutu Keenan sambil mengunyah burger-nya lagi.

Aruna meringis, “Kalo lo nggak pake topeng, Tuan, lo bakal digasak sama orang-orang di luar sana. Lo pikir, kenapa kita bisa sahabatan kayak gini? Karena gue diam-diam udah nge-tes elo, karena lo nggak berbahaya, makanya gue bisa traktir lo makan kayak sekarang!” jelas Aruna sengit.

“Dasar wanita. Lo pikir gue pria sembarangan yang mau diajak makan junk food begini? Itu juga karena gue udah tahu strategi dan level lo,” balas Keenan santai, “karena waktu bareng elo, gue bisa bebas jadi diri gue sendiri—"

“—ya iya, lah!” seloroh Aruna dengan suara tinggi, “Lo pikir, manusia macam apa yang bisa mendiskusikan bentuk upil sama suara kentut lo—sekaligus merancang masa depan lo sebagai pemilik kerajaan game online? Gueee... cuman gueeee...” Aruna. Sambil monyong-monyong.

“Dan cuman gue, yang bisa mendeteksi bacotan lo, mana yang palsu; mana yang asli. Titik,” balas Keenan yang tetap santai, “eh, ya, sekaligus gue mau merancang itin.”

“Itin?” Dahi Aruna mengeriting. Keenan memang orang paling random, bicara dengannya, topik bisa berganti dari kemoceng menjadi tongkat sihir.

Itinerary. Gue mau ngebuka mata orang kampung kayak lo, yang menganggap kebahagiaan cuma bisa diperoleh lewat pergi-ke-luar-negeri,” jawab Keenan, dibalas lagi dengan suara tinggi Aruna yang membela diri kalau dia bukan orang kampung, tralala, tralala. Keenan hanya bisa tertawa-tawa, baginya persahabatan seperti ini—yang ia dapatkan dari tempat kerjanya, hanyalah bonus. Bonus yang ia nikmati dengan sepenuh hati, karena ternyata Aruna hanyalah cewek jujur yang terlalu takut dikucilkan, sehingga terus berpura-pura. Keenan lega, akhirnya ia bertemu orang yang mau men-judge setiap perbuatannya, tapi cukup sabar untuk mendengar setiap alasannya. Sahabat jenis ini, satu saja sudah cukup. Cukup membuatnya merasa dunia ini adil.

***

Dua lembar tiket pesawat. Selembar surat cuti dan selembar surat sakit yang menyusul esok harinya. 

Kata Keenan, Indonesia itu indah dan punya banyak keajaiban, hanya saja masih banyak orang Indonesia yang tidak menjadikan travelling sebagai prioritas, padahal inilah cara paling efektif untuk meningkatkan produktivitas. Aruna manggut-manggut, setelah dipikir-pikir, terakhir kali ia pergi ke luar negeri itu... hanya di alam mimpinya. Halah, Sukabumi adalah kota di luar Jakarta yang pernah ia kunjungi, itu pun sudah setahun lalu, itu pun karena dipaksa Mama-nya untuk menghadiri kondangan sepupunya. Kali ini, jangankan ke luar negeri, Keenan hanya mengajaknya ke kota yang ditempuh selama... dua jam dari Jakarta: Yogyakarta.

“Tapi, bukan ini yang mau gue tunjukin ke elooooo!” dumel Keenan, “Ke sini memang cuma dua jam, tapi nanti... empat jam! Siap-siap encok!”

“Maksud lo, Dieng? Kayaknya itu pelajaran geografi pas SD. Ngapain sih, ke situ? Itu kayak kampung gitu, kan? Si Nera abis dari sana bulan lalu, gue liat di Facebook-nya, jalan-jalan di Indo aja udah excited nggak jelas, apalagi ke Mount Everest, hellloooooo...” Aruna monyong-monyong lagi.

Keenan menepuk jidat, dasar kodok dalam tempurung kelapaaaaa, batinnya gemas, “Heeeellooo, barbie, ngapain ke Mount Everest, hah? Nyusah-nyusahin tim SAR?” ledek Keenan sambil terbahak, Aruna memang jenis cewek gila yang angkuh nan bloon, jelas sekali bacaan terakhir yang ia baca adalah buku pelajaran geografi, “Lagian nih ya, dulu pas SD kita udah belajar banyak, ada Gunung Krakatau, Merapi, Jaya Wijaya, Rengasdengklok—oke ini nggak nyambung—Kerinci, Dataran Tinggi Dieng... lengkap sama ketinggian dan tetek bengeknya! Masa nggak ada sih, satu aja, tempat yang bikin lo kepengen eksplor?!”

Aruna termangu sambil menatap Keenan, “Pengen,” cicitnya, “tapi kan... kita juga belajar peta dunia?” senyum tipisnya terkulum. Jiwa internasionalisme Aruna patut diacung jempol.

Step by step, dong. Negeri sendiri aja ngga cinta, gimana mau cinta sama negeri orang?”

Taksi mereka akhirnya tiba di Keraton. Selanjutnya, tak sulit melihat gurat senyum Aruna yang menyatu dengan pipi gempalnya sewaktu menyaksikan abdi dalem yang mendendangkan tembang, disusul dengan pertunjukan wayang yang membuat Aruna mengerutkan dahi, persis seperti nenek-nenek. Tak jarang, ia bertanya siapa itu Arjuna dan Gatotkaca, siapa pula Baratayuda.

“Baratayuda bukan nama oraaaaaaang, Arunaaaaaaa!!!” Keenan hampir nangis darah.

Ternyata masih banyak orang Indonesia yang tidak familiar dengan budaya bangsanya sendiri. Ah! Sedih bukan main.

*** 

Perjalanan bukan untuk mengoleksi foto; namun mengoleksi momen. 
Bukan pula untuk melihat-lihat pemandangan, karena semua yang indah hanya akan lengkap bila dirasakan. 

Aruna mendekap dirinya sendiri kuat-kuat, sambil menatap hamparan awan di depannya. Awan. Begitu dekatnya sampai-sampai ia merinding. Tak lama, semburat sinar matahari mulai menggelitik pipi yang hampir beku oleh dinginnya suhu di Dieng. Pelan-pelan, hangat mulai merayap dan berkawan dengan tubuh Aruna yang menggigil. Ia jatuh cinta pada cerah matahari yang berani namun malu-malu, serta semilir angin yang masih enggan beranjak. Perasaan seperti ini... tidak mampu dibeli di manapun, dengan apapun.

“Dataran Tinggi Dieng, 2.565 dari permukaan laut. Merupakan dataran tertinggi ke-dua setelah Nepal. Gile juga ya, berdiri di tempat yang tinggi-tinggi, bikin gue jadi lebih berani bermimpi setinggi-tingginya.” Keenan yang berdiri di samping Aruna mengembuskan nafas, setengah melamun.

“ASTAGA!! ADA ASAPNYAAA!!” teriak Aruna girang.

Keenan terbelalak, heran.

“Hah!” Aruna mencoba membuat hembusan nafas sendiri dan melonjak-lonjak senang, “HUH HAH! WOOOOOOHHHH!!! Ini kayak di film-film Koreaaaa...”

Sambil menggeleng-geleng, Keenan hanya bisa terbahak melihat Aruna yang benar-benar kayak orang kampung. 
Orang seperti ini, mau kawin sama bule? Disaster.

“Keenan!” seru Aruna tiba-tiba, “Bicara tentang mimpi, semalam gue dapet kabar kalau visa gue udah di-approve! Mimpi gue selanjutnya... gue mau jalan-jalan ke manaaaaa aja, tanpa nge-judge terlebih dahulu. I wanna enjoy all of the goodness Mother Earth presents to me!”

Ada jeda sedetik. Sebelum akhirnya, Keenan—untuk pertama kalinya—melemparkan tubuhnya ke Aruna, memeluknya erat, “Thanks, God. Gue... turut bahagia.”

Ada detak yang hilang ketika Aruna merasakan Keenan yang perlahan beringsut menjauhinya, walaupun senyum Keenan masih saja selebar daun kelor. “Next destination... France, baby! Louvre!” seru Aruna, mengabaikan perasaan aneh tadi.

Seperti biasa, Keenan tertawa-tawa, lalu memeluk Aruna sekali lagi. Cukup untuk menghangatkan sisa-sisa dingin sejak tadi subuh, cukup pula untuk menghangatkan perpisahan yang sudah di ujung mata. Kata Dalai Lama, “Once a year, go some place yo’ve never been before.” Keenan sudah tidak sabaran, menunggu tahun depan, bertemu Paris dan sosok Aruna yang baru, karena bagaimanapun, Keenan tak percaya jarak bisa menghanguskan kualitas suatu hubungan dan persahabatan.

Aruna percaya, waktu bukanlah patokan. Cukup tiga bulan, persahabatan yang ia jalin dengan Keenan terasa seperti selamanya. Ia mengenal lalu jatuh cinta pada kualitas Keenan yang tak akan pernah ia miliki: ketenangan dan jiwa petualangan. Dasar wanita, jatuh cinta memang perkara mudah, tapi persahabatan yang tidak ada akhirnya seperti ini... bahkan lebih akut dari sekedar cinta-cintaan.


Naif memang, Keenan dan Aruna ini. Jarak dan waktu tentu saja akan jadi persoalan. 

Namun, persahabatan adalah perjuangan—saling memperjuangkan, and never ever give up on each other. Bukankah begitu?

http://www.tinggly.com/journal/wp-content/uploads/2015/01/1122.jpg

*Cerpen ini ditulis dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen dari Tiket.com dan nulisbuku.com #FriendshipNeverEnds #TiketBelitungGratis

Wednesday, May 6, 2015

Dee - I See Story

“I see story.”

Ungkapan-ungkapan yang berlimpah dari Dee berhasil ‘menampar’ saya, sekaligus membuat saya merinding.

Well, i do see story. 
But, where are they now? 

Mungkin, saya meninggalkan ide-ide yang bertamu hingga debuan, dan jarang saya terjemahkan menjadi cerita.

Bertemu dan berguru dengan Dee, sosok yang begitu senior di dunia penulisan—serta penulis lokal yang paling saya kagumi, tentu saja sukses bikin saya kebat-kebit. Saya bersyukur bisa menjadi salah satu ‘kelinci percobaan’ dalam Coaching Clinic ini, selayak mendengar orkestra live dari maestro-nya, yang biasa hanya bisa saya dengar dari radio! 

Sama halnya dengan alasan mengapa saya ingin mengikuti Coaching Clinic: mempelajari bijaksana dari Dee, saya berhasil menemukannya, mulai dari “Mengapa seorang Dee menulis?” dan “Apa yang Dee lakukan dengan cerita-ceritanya?” semua terjawab walau saya tak sempat mengacungkan tangan di forum yang ramai dengan rasa penasaran itu.

Dee mulai dengan "kalian semua akan jadi kelinci percobaan. Kalau mau kabur juga udah terlambat.
Panitia! Tutup pintunya!" #dengansenyumjahat
Ya elah, Mbak Dee, kami terlalu males untuk berusaha kabur #dudukmanis #ketawatawa 

Dee menulis, untuk dirinya sendiri. Karena masih banyak buku yang ingin ia baca. So, she writes to read. Satu hal yang bikin saya merasa ia begitu spesial adalah Dee yang belajar menulis secara otodidak juga, berhasil mengeluarkan novel pertamanya di usia 25 tahun, which is untuk menjadi sukses seperti sekarang pun, ia butuh waktu yang puanjaaang, meeeeen!

Petuah-petuah dari Mak Suri yang menjadi guru menulis kita selama setengah hari itu saya rangkum menjadi poin di bawah ini:
  • Deskripsikan ceritamu dengan cara dicicil. Biarkan pembaca mengenal karaktermu pelan-pelan, layaknya persahabatan yang dikenal perlahan.
  • Sebelum itu, tentu saja kamu sendiri yang harus mengenal baik karakter-karaktermu sendiri. Setelah kenal, barulah kamu perkenalkan dengan pembacamu. Pikirkan nama karakter dengan serius, enak didengar, pokoknya seperti kasih nama anak. Tahu zodiak, hobi, cita-cita dari karakter tersebut. I think, that’s the most brilliant way to create your characters and make them alive. Menghidupkan karakter, awalnya penulis sendiri harus yakin dulu.
  • Menulis dengan bumbu yang pas, tidak berlebihan dengan metafora—kecuali kalau tulisanmu pendek. Formulanya: just right. Pelan-pelan, kamu akan tahu sendiri. So, for me, writing is also an experience. You feel it, just feel it. Perasaan yang sangat pribadi dan mengenal diri sendiri lebih dalam lagi—dengan mempersilahkan ide-ide untuk masuk dari dirimu.
  • Tulisan Dee, membuat pembaca seperti bisa merasakan suara dari tiap tokohnya. Ada jiwa dalam tiap karakternya. Dee menyarankan kita untuk membaca ulang tulisan kita KERAS-KERAS, kalau terdengar seperti satu suara—yaitu suara penulisnya sendiri—berarti ada yang salah di sana.
  • Dee juga menekankan pentingnya premis dalam menulis. Cerita apa yang ingin kamu baca? Tentang apa? Fiksi, non-fiksi? Berapa halaman? Kapan selesainya? Penerbitnya? Jawab sendiri pertanyaan-pertanyaan ini, karena premis bagaikan DNA—harapan yang kamu berikan pada para pembacamu kelak. Oke, ini menampar.
  • Disiplin juga merupakan kunci penting berikutnya. Tidak harus lebai mesti menulis tiap hari—penulis bukan mesin. Tentukan waktu kerja dan waktu libur kita, hitung berapa halaman efektif setiap hari kerjanya dan taati. Menulis pun butuh jeda, tidak bisa kerja setiap hari. Namun, penting untuk membuat deadline, sebagai alat untuk penulis. Agar kereta kencana yang mengawang-awang di khayalan kita bisa menjadi sesuatu yang nyata di alam nyata: entah itu bajaj, bus, pokoknya bisa jalan dan maju! Oke, menampar!
Dee dan corat-coretnya: ibarat dosen canggih. Mahasiswa kagak ngantuk!
  • Dari Coaching Clinic hari itu, saya juga menyadari kalau Dee adalah pengkhayal kelas kakap, pokoknya kalau ibarat Mafia Hongkong, Dee sudah kelas big boss. Bedanya, Dee mempersilakan dirinya untuk dicari ide. Untuk dicari nafkah #eh. Dee mengatur idenya dengan mencatat semua ide yang muncul, dan menuliskannya sesuai dengan skema cerita yang sudah ia bangun. Membuat idenya mengantri. Equal relationship dengan ide, terbukti dari pertanyaan seorang peserta, “Saya suka ngga bisa tidur kalau tiba-tiba banyak ide sebelum tidur.” Jangan jadi budak ide. Catat. Recognize them.
  • Membuat mind map. Bagian mana twist-nya? Bagian mana yang paling ingin dikenang? Itulah sebabnya, Dee membuat Skenario 3 Babak: Karakter berada di status quo, adanya calon-calon konflik di mana karakter dipaksa keluar dari zona nyaman, terjadinya hal-hal tak diinginkan sampai akhirnya karakter menemukan solusi. Ini memang tak asing lagi bagi penulis, untuk membuat 3 babak ini hidup, catatlah adegan-adegan yang tiba-tiba kepikiran, sifat dari karakter-karakter beserta latar belakang mereka dalam format mind map. Itu akan memudahkan kita.
  • Buatlah karakter yang berpikir. Bukan penulis yang berpikir.
  • Menulis seperti menggali permata. Awal-awal hanya terlihat lumpur. It’s okay. Naskah pertama. Segala kekurangan. Just embrace it. Namun, jangan berhenti menulis karena kita tak akan pernah tahu kapan akan terjadi.
  • Story is the boss. Dari cerita, membentuk karakter-karakter. Misalkan dalam Gelombang, Dee ingin bercerita tentang Mimpi. Alfa ‘diisi’ dengan karakter yang seorang perantau yang pekerja keras, sehingga ia bisa tahan cobaan untuk ‘mencapai’ makna dari mimpinya itu.
Dengan mengalami event ini, saya merasa mimpi saya menjadi lebih dekat. Dee juga selalu menekankan kita untuk punya conviction, tahu pasti apa yang ingin kita tulis, apa yang ingin kita baca, apa yang kita suka. Menulis pun bukan untuk alter ego, bila ada kemiripan pun, itu hanyalah serpihan dari diri penulisnya, bukan penulisnya itu sendiri. Menulis adalah seni, rasa yang dimiliki tiap individu—entah ketika menulis atau kelak membacanya. Setiap seniman, hidup di dua dunia: dunia ide dan dunia manusia.

Terima kasih untuk cerita 'kompartemen' nya, Mbak Dee.
For me, it's mean a lot.
As i always believe in, hug is a way to transferring energy and blessing.
And, Mak Suri... is warm.
Thank you Pak Edy from Bank Indonesia - you freeze the precious moment!
Karena hidup manusia begitu ricuh dengan logika, maka manusia pun butuh kisah-kisah indah. Bukan untuk membius, bukan pula untuk lari dari kenyataan. Jauh dari itu semua, nilai-nilai yang patut manusia pegang dan perjuangkan. Untuk utuh dan hidup sepenuhnya. Oleh karena itu, penulis cerita, story teller hadir di tengah-tengahnya. Oleh karena itu, kalangan manusia butuh seniman; butuh alien. Alien yang mungkin berwujud seperti manusia, kadang-kadang.

Oleh karena itu, saya menulis.

Terima kasih, Dee. Saya telah temukan alasan saya menulis, yang sudah menunggu lama untuk ditemukan. I write for value, for meaning, either from myself or everything around, and i let the reader tastes it personally.

Begitu banyak hal yang begitu pribadi, dan pembaca layak merayakannya dengan bebas. Interpretasi. Seperti halnya pembaca Dee yang kecewa Bukit Jambul dan Kopi Tiwus itu fiktif; seperti halnya saya yang terkagum-kagum dengan sifat Alfa Sagala, sama dengan pembaca-pembaca Dee lainnya.

Terima kasih, Dee, si penunjuk jalan. Agar penulis lain tidak jatuh di salah yang sama, agar penulis seperti kita bisa mengeksplor diri lebih kaya lagi, semoga lahir penulis-penulis muda yang siap berjaya dalam misteri dan galaksi!
#abaikankalimatterakhir
#selamatmenulis!


Foto bersama sebelum kelas dimulai!
Tebak siapa bintang tamu kece?? Trinity, Amrazing, Jenny Jusuf! I am soooo lucky!!
last but not least, ini surat cinta untuk Mak Suri yang diselipkan ke novel saya
yang masih self-published.
Dengan harapan, semoga suatu ketika bisa sehebat Dee. *fingercrossed* #blessme