Tuesday, October 27, 2015

Glenn #TWD Mati dan Plot Twist di Hidup yang Rumit

Ya ampun, lihat judulnya saja sudah bikin muak, ya? Actually, hari ini saya sedikit 'tergelitik' oleh dua hal:
1. Teman kantor saya yang ngomel-ngomel karena karakter Glenn Rhee dari The Walking Dead meninggal dengan cara yang agak sia-sia (jadi dia jatoh ke kumpulan walkers alias zombie waktu temennya yang pengecut bunuh diri. Kan nyebelin!). Glenn ini merupakan sosok yang dicintai penonton dan selalu bertahan dari serangan zombie di season-season sebelumnya, ia juga belajar banyak dari Rick, kepribadiannya yang pengecut pelan-pelan berubah menjadi berani, teruuusss... dia mati. Fine. Nowadays, filmmakers are insane, and sexy in the other way, sih! Berhasil memainkan emosi segitu banyak penonton dan meninggalkan mereka dengan mulut menganga. Hufh.
2. Hari ini adalah Hari Blogger Nasional. Tiba-tiba saya jadi kepingin nulis for the sake of this day. Intinya biar kekinian. Biar gak vakum-vakum amat kayak penyedot debu.
Recently, i think a lot about... how our life can change by some 'plot twist' yang tidak disangka-sangka datangnya. Contoh simpelnya, ya kayak kita sebagai penonton yang tiba-tiba dikejutkan dengan kematian Glenn ini. Hidup penuh kejutan, men! Banyak hal yang tak diduga, entah dalam hal yang positif atau negatif, bisa mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu. Namun, kita sebagai manusia, selalu bertahan. Plot twist yang hidup, yang nyata, sedang kita jalani sekarang ini juga. Namun, tak ayal, plot twist inilah yang membuat suatu cerita menjadi lebih bermakna, lebih mendebarkan sekaligus dinantikan.
Jadi, entah apapun yang sedang kamu jalani saat ini, ingatlah bahwa kita sebagai manusia akan selalu bertahan dan tidak dilumat zombie seperti Glenn ini. Bertahan, tidak hanya untuk mereka yang hampir tenggelam oleh masalah; juga bagi mereka yang sedang mengawang-ngawang di atas kebahagiaan.
Bertahanlah di atas ketidakpastian. Bagaimanapun juga, plot twist dalam hidup tak berhak menjadikan kita sebagai 'sakelar lampu' yang bisa seenaknya di 'on-off' seenak udel.
Bertahan, karena kita bukan sakelar.
Bertahan, karena kita punya pendirian di atas ketidakpastian hidup ini.
Selamat Hari Blogger Nasional, kawan-kawan semua!

Sunday, October 18, 2015

Pahlawan di Ujung Perjalanan

Setiap kali saya melihat berita dan informasi yang bertebaran di sekeliling, saya selalu mendambakan konten-konten yang membangun, yang menggelitik pikiran saya untuk bersyukur tentang Indonesia. Karya anak bangsa, aksi-aksi inspiratif, tokoh-tokoh anti-mainstream yang berkontribusi pada lingkungan dan sosial, sesuatu yang membakar habis ketidakberdayaan. Sudah terlalu banyak berita korupsi, kriminal, demo, gosip artis bercerai yang memang lebih kontradiktif dan menjual, tapi tidak menjadikan pikiran kita lebih kritis dan terinspirasi.

Ah, inspirasi. Mengapa tidak berupaya mencarinya sendiri? 
Saya mulai membuka mata, ajaibnya ternyata banyak sekali pahlawan yang ada di sekitar kita! Mulai dari awal hari berangkat ke kantor sampai pulang kerja dengan energi yang terkuras. Herannya, kok saya jadi kepikiran abang kenek begitu membahas 'pahlawan di sekitar anda,' ya? Jadi begini, saya selalu parno kalau disapa oleh orang-orang asing di sekitar jalan - apalagi malem-malem - parno karena melihat kasus yang kadang muncul di berita juga, sih. Namun, abang kenek yang sering saya jumpai di perjalanan pulang ini memang patut diacungi jempol, bukan pahlawan dengan jasa menyelamatkan negara dengan bambu runcing, namun pahlawan era kekinian yang memberi pandangan dan inspirasi baru kepada setiap orang yang lewat di sana.

Abang kenek ini sama kayak abang-abang pada umumnya, sedikit gempal dan bersuara nyaring - wajar lah, profesi kenek memang mengandalkan suara dan ketukan koin di ujung angkot, bukan? Tapi, abang kenek ini selalu menyapa dan mengingatkan penumpang untuk berhati-hati, bahkan ia pernah berpesan kepada teman yang naik angkot bersama saya, "jagain si eneng-nya, ya!" Duileh, si abang. Tidak hanya itu, pernah suatu kali saya menerjang hujan dengan sepatu yang basah kuyup, abang kenek ini bahkan memberikan saya kantong plastik dan tisu! 

Saya percaya, hidup itu pilihan. 
Kita bisa memilih untuk selalu menjadi baik, memilih pilihan terbaik dan memberikan yang terbaik. Itulah yang saya pelajari dari 'pahlawan' yang selalu muncul di akhir perjalanan saya pulang kantor. Abang kenek dan segala kesederhanaannya; segala keramahan dan semangat yang tidak berpura-pura.  
Inspirasi seperti ini, ternyata bisa didapatkan dari dunia nyata; dari perjalanan sehari-hari. Pelajaran dari abang kenek mengenai memilih yang terbaik ini pun bisa saya aplikasikan dalam tiap aspek hidup saya, bahkan untuk pilihan berlangganan TV kabel. Lucu, bukan? Konsepnya sederhana saja, kalau inspirasi seperti ini bisa saya dapatkan di hidup sehari-hari, berarti kalau saya cukup jeli dan cerdas, saya pun bisa mendapatkannya dari TV kabel dengan program-program pilihan yang mengedukasi, dong?

Memilih untuk bertemu dengan inspirasi-inspirasi, tentu saja kita sendiri yang bebas memilih jenis informasi apa yang ingin kita pelajari. Smart TV for smart people. Tentu saja, dengan tujuan, menonton konten yang bermanfaat dari TV kabel langganan kita, akan membuat kita memandang hidup dengan lebih positif dan bersemangat, menjadi pahlawan bagi orang-orang di sekitar.

Deutsche Welle (DW) 
Salah satu TV channel dengan slogan baru: made for minds.
Bahasan Local Heroes-nya sangat menggerakkan hati.
source: #NyarisPuitis
 

Friday, October 16, 2015

Menyimak bisu. Menyimak Percakapan.




Mengheningkan Cipta.

Lalu kemudian semua siswa menunduk. 
Dengan seluruh angkasa raya memuja, pahlawan negara.

Kemudian kita hijrah dari kewajiban mengikuti upacara 
menuju senin sibuk dengan gelas kopi dan setumpuk deadline di kantor, 
beberapa kali mulut mangap-sesaat karena mengantuk. 

'Mengheningkan Cipta' ini tiba-tiba terpikir ketika 
duduk terpekur di ujung jendela kamar: 
1. suasana di luar sana yang bisu. 
2. Angin yang menyentuh dahan pohon dan membuatnya menari, 
3. mas-mas tukang bangunan yang berkacak pinggang memandangi tumpukan marmer, beberapa yang bertukar sapa. 

Kapan kita bisa bertemu bisu seperti ini dan menikmatinya? 
Tanpa gadget seharian, pikiran selayak layang-layang. 
Dengan gadget, kita terfokus dengan segala percakapan fana, cekikikan sendirian. 
Yang penting, intinya kita fokus.

Seakan lupa, ada percakapan lain yang lebih perlu kita bahas. 
Jauh di dalam lubuk hati.
Dan momen di-ujung-jendela-melihat-kebisuan... 
merupakan salah satu cara untuk bercakap-cakap
dengan diri sendiri.
Mengheningkan cipta.

Mengheningkan citta.
Berbahasa dengan pikiran sendiri di kondisi yang paling natural.
Bawel,
diam dengan sendirinya,
bawel lagi,
diam lagi.

Mengheningkan citta.
Cara untuk menyapa 'pahlawan' yang bersemayam dalam pikir, 
memuja jasa-jasa... yang seringkali terdistraksi.


Jakarta, 17 Oktober 2015.

Wednesday, October 7, 2015

Cracker: crack my head, hack my mind at Poetry Slam!

Challenged by one of the writing-partner-in-crime, i finally decide to try write a spoken word (after we joined a poetry slam show in Salihara Community last sunday - and it's totally impressing!)

In fact, spoken words tastes a lil bit urban for me, it's like you try to 'translate' swinging lilting poetry-language into a very sophisticated words, with the same goal: express the emotion, show the idea!

The emotions and ideas are such great things to deliver to public, because people like to hear the stories with a 'crunchy' way, in a contemporary thingie. In a nutshell, speak with an unique way!

So, well.. this is my very first spoken word, i think the title will be: 


CRACKER.
i think i like you
because every single crack on your face
seems like seaweed seasoning cracker
it's salty
but you remind me of the splash of the salt water in the ocean 
through your blinking eyes.

eyes
your eyes
i see a glimpse
i see sparks
i see the fire that ready to burn entire city 
and turn it into ashes
the potential in how you tell your dreams, 
your brain.

oh, your brain
i really want to chew every single cell 
beating from your brain and...
gulp, gulp
being drunken in every ideas 
that turns us into endless party
down there
the heartbeat
the rhythm
down there.

it's your heart
and i started to see myself as zombie
walking there
walking dead
afraid of your eyes that contains the tingling sunshine, 
bringing the conservative, 
the so-called butterfly effect
i'm afraid to burn into ashes before i could ever 
see your eyes seeing my eyes,
wondering how it would feels
to be showered by the heat, on that seat
with every cracker that we eat
and we repeat it again. 
repeat.
crack. crack. crack.
i wanna hack your mind.

and your voice
chirping inside my head
pecking up the logic, 
the arithmetic, 
the periodic table, 
the geometry 
and leaving me nothing scientific but feeling
thump. thump.

i think i like you
the salty water in the ocean that i should have not even try to try, for it can drown me into never ending thirst
your brain that contain hundred billion neurons 
and they keep twinkling zillion of zillion stars above the sky
above my eyes
your eyes...

your eyes,
and a reflection is about to...
beep. beep.

i think i like you
i think i like myself
i think i'm seeing myself in you
i think i am like you.



So, please, tell me,
when you started to feel the person you talk with is a real interesting person and suddenly you just feel really into them... think again, are you seeing yourself there?
And when that phenomenon happen, can you really 'separate' yourself and other?
One kind of impression that Poetry Slam gave me is... a nice experience, and how i see the world, finally wider. 
Wow.

a calm and windy evening, pieces of poems flew around!

Saturday, October 3, 2015

The Intern (2015) Movie Review: "Menjadi Perfeksionis yang Seksi."

Pengalaman tidak akan pernah menjadi tua. 

Ben Whittaker, seorang Opa-opa yang kesehariannya dipenuhi kegiatan 'nyantai' seperti berlatih tai chi, mengunjungi cucu, nongkrong di coffee shop sambil baca koran merasa hidupnya perlu tantangan lebih. Mendapat kabar bahwa kantor e-commerce About The Fit sedang membuka lowongan untuk pemagang usia lanjut, Ben kembali menyelam dalam dunia kerja dengan pengalaman yang beda banget! Diperankan oleh Robert De Niro, sosok Ben begitu hangat bersahabat, menjadi manfaat bagi setiap orang di sekitarnya, seperti layaknya toko serba ada dengan pintu terbuka 24/7, sehingga tak heran dalam waktu singkat, ia menjalin hubungan akrab dengan semua staff, tidak terkecuali Pendiri dari About The Fit, Jules Ostin.
Ben, si 'senior' sebagai asisten pribadi Jules

Jules Ostin (Anne Hathaway) dan semua kerumitan karirnya menjadi titik kumpul dalam film ini. Jules yang brilian merintis usaha fashion-nya sejak muda dan sekarang mengepalai perusahaan dengan total karyawan sebanyak 220 orang (lengkap dengan tukang pijat kantor)! Tipikal 'bisnis era ini' banget nggak, sih? Saya suka sekali dengan prinsip: "Seseorang dengan segelas wine di tangan dan laptop di depannya, sudah memiliki potensi untuk berbelanja." Sosok Jules yang menyeret segala prinsip yang kompleks mulai 'dipaksa' mencari CEO baru agar perusahaan barunya ini tidak terjun bebas dengan hectic-nya jadwal Jules setiap hari. 

meeting ini itu, jadi CS, ngurus gudang, semua di tangan Jules!
Jelas bahwa Jules adalah tipikal wanita masa kini dengan segala mimpi dan idealisme yang tidak bisa diterima oleh kebanyakan orang. Ia mengurus perusahaannya sendiri dengan detil (bahkan untuk hal packing barang!) dan tetaplah seorang wanita. Suaminya rela mengorbankan karir untuk merawat putri mereka, Mamanya yang sering cekcok dan dianggapnya aneh, gejolak pikiran yang terus berkecamuk di kepalanya: tentang dirinya yang harus mengambil keputusan dengan baik untuk semuanya, ketidaksetiaan dalam hubungan, serta hal klise wanita, penuaan. Saya sempat tergelak di bagian Jules yang menyatakan dirinya tidak akan 'laku' apabila bercerai, karena sifatnya yang perfeksionis sehingga tidak akan banyak pria yang 'tahan' dengannya! Well, film ini jujur dan realistis!

Ben bahkan merangkap kerja sebagai babysitter!
Di sini, Ben hadir sebagai observan dan dengan kehangatan hatinya, Ben pelan-pelan hadir di hidup Jules dan membantu 'merapikan' kekacauan-kekacauan yang tak sengaja dibuat Jules. Ia mulai akrab dengan anak dan suami Jules, menjadi panutan dan sahabat baik untuk para staff di kantor. Dan, di saat bersamaan, Ben terinspirasi oleh semangat dan ketangguhan seorang Jules Ostin

brothers! uye!
Film ini ditata dengan plot yang rapi dan dialog yang cerdas, itu sebabnya saya berpikir akan menontonnya lagi. Tak hanya itu, cerita pun bergulir dengan segar (sentuhan teknologi di mana-mana, mulai dari Mark Zuckenberg, cara menyalakan MacBook, naik Uber, cerita emoticon di chatting platform, dll). Setelah diamati, tidak ada tokoh antagonis di film ini, yang ada hanya perbuatan kurang tepat di mata orang yang bersangkutan. Which is, so life. Hidup kadang lebih rumit di bagian perang dengan diri sendiri, bukan? Sosok Ben mencontohkan bahwa kerendahan-hati, mudah memaafkan, terbuka akan membuat kita tegas dan bijaksana. 

Benar-benar film yang menghangatkan hati.

Kita di pesawat kelas A dan kita tidak bisa menikmatinya? Oh, come on!
Hangatnya hati tak ayal membakar percik-percik juga. Bagaimanapun, kita hidup di era memperjuangkan-apa-yang-kita-mau adalah hal paling berharga dan layak untuk dilakukan. Seperti halnya Ben yang menyatakan ini di waktu yang tepat:
"You started this business all by yourself a year and a half ago 
and now you have a staff of 220 people. 
Remember who did that."

Dan Jules yang introvert dan mendekap kehidupan pribadinya, bisa berkata seperti ini pada Ben: "The truth is, something about you makes me feel calm, more centered or something. I could use that, obviously."

Masih banyak quote yang menggelitik dari film ini, membuatmu mungkin berpikir ulang, membuatmu mengizinkan hatimu terbakar lagi. 
Bara yang positif, tentu saja.
Jules dan hal-hal kecil: packing barang.
"Pastikan seperti hadiah yang mereka beri untuk diri mereka sendiri."

5 alasan kenapa kamu mesti banget nonton The Intern:
1. Anne Hathaway seperti biasa sangat menawan! Sukak ekspresinya dan cara ngomongnya yang tegas dan nggak pake rem. Oke, ini review mulai subjektif, saya memang nge-fans sama doi. :3
2. Chemistry antara Anne Hathaway dan Robert De Niro patut diacungi jempol. Terutama Opa Robert dengan gestur, mimik dan tone suara yang begitu pas, begitu bijaksana dan... aih, charming!
3. Realita hidup manusia dengan usia 20-30an yang hidup di metropolitan. Lugas, jujur, pelik. 
4. Bagi kamu yang feminis, menjunjung asas 'wanita dan hidup yang bebas,' penuh ide dan kreatif, yes this is for you. Film ini (juga) disutradarai oleh seorang penulis wanita, Nancy Meyers.
5. Karena saya sudah nonton dan kepingin nonton lagi. Kebayang kan, film ini cerdas. :3