Tuesday, October 28, 2014

Travel Review: Gunung Krakatau Berbonus Pulau, Why Not?

Di kala berlibur dengan judul 'Pergi ke Pulau' sudah mainstream (apalagi kalau pulaunya masih berkisar dua jam dari Jakarta), maka ketika ajakan berlibur ke pulau sekaligus gunung KRAKATAU, saya tidak lagi menolak. Yah, walaupun saya tahu, kenyataan terberat dari berlibur ke pulau adalah: jadi hitam. mutlak. Semua demi gunung krakatau yang melegenda #cieh. Gunung Krakatau, terakhir yang saya ingat adalah, nama gunung ini nangkring di pelajaran geografi zaman SD, dan bikin saya cukup penasaran. Lalu, berbekal embel-embel kumpul bareng temen kuliah sehabis acara lulusan, dimulailah perjalanan kami yang saaaaangat panjang! Saya tidak pernah menyangka akan sepanjang dan sebosan ini, tapi pada akhirnya terbayar dengan pemandangan dari atas Gunung Anak Krakatau -- tepat pada perayaan 17 Agustusan lagi! Sooo, here it is!

Menuju, dan Pulau
Jadwal yang cukup padat, begitu dipelajari, kami sudah siap dengan konsekuensi tidur-ngga-cukup: perjalanan dimulai dari jumat malam sampai minggu subuh, di mana kami menghabiskan tidur di kapal, homestay dan... kapal lagi.
Perjalanan dari Jakarta menuju Pelabuhan Merak memakan waktu 2 jam (di mana kami men-carter mobil sendiri). Saya cukup amazed dengan kapal yang akan menyeberangkan kami ke Pelabuhan Bakauheni, GEEEEDEEEE. #fixlebay. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya kami pun mengantri masuk kapal ala ala anak SMA, "Eh, lo jagain tempat buat kita ya!" demi bisa tidur nyenyak. Sukses! Kami semua mendapat tempat tidur (yang mirip banget sama asrama shaolin, sempit disekat kayu), dan tetep ngga bisa tidur karena pengen jalan-jalan keliling kapal. 

norak dikit, tiket kapalnya sampe difotoin segala :3

Malam pekat, debur laut yang meninggalkan buih-buih di pinggir kapal, lampu mercusuar yang mengedip centil di penghujung, pantulan sinar bulan yang menari di gelombang air laut, dan obrolan ringan nan bermakna bersama teman saya di tepi kapal. Sukseslah saya jatuh cinta dengan suasana seperti ini. Memang, sedikit #nyes kalo udah ngebayangin film Life of Pi, tapi justru dengan keadaan seperti ini, saya diam-diam bersyukur dan berterimakasih pada Semesta. Bumi yang luas, dan... megah yang ramah. Terkadang merasa kocak karena 'diganggu' suara decit tikus yang muncul di ujung, tapi ya sudahlah. Namanya juga kapal (yang sudah lumayan tua). Karena nangkring di luar kapal bersama angin laut akan mengancam kebugaran, akhirnya kami pun masuk dan... menemukan beberapa temen yang ngga bisa tidur. Tanya kenapa? 

Ada kecoa (dan anak-anak kecoa) di tempat tidurnya.

Hiiiiiiy. Ternyata bangsa antena cokelat ini memang bertebaran di mana-mana, ya maklum deh, kan ini bukan pesawat jet. Tapi, jujur, saya merasa kecewa dengan fasilitas seperti ini, sih. 

Kalianda, sampai di sini, kami melanjutkan perjalanan dengan angkot

Akhirnya kami hanya bisa merem-merem-serem dan ketiduran sebentar. Setelah 3 jam, sampailah kami di Pelabuhan Bakauheni dan berlanjut dengan naik angkot selama 1 jam menujuuuu... Dermaga Canti. Yes, another pit stop lagi untuk mencapai pulau-pulau.

Dermaga Canti beserta kapal-kapal yang nangkring

Setelah sampai di Pelabuhan Canti, kami bersih-bersih dan sarapan (di mana fasilitasnya juga enggak banget, kalo mau pipis mesti numpang dulu ke warung seberang pelabuhan, sikat gigi dan cuci muka di tepi pantai gersang atau ngantri puaaanjang banget sama peserta lain, dan ganti baju rame-rame). 


taken from Dermaga Canti. Gunungnya masih diselimuti awan.

Setelah menunggu lumayan lama, akhirnya datang juga speedboat, yang akhirnya membelah pantai menuju kawanan pulau Sebuku Kecil, Sebesi, Umang-umang dll. Frankly said, i'm not impressed karena pulaunya juga tidak jauh berbeda dengan Kepulauan Seribu (dan speedboat kita ngga dipinggirin di tepi pantai, dibiarkan terapung-apung di tengah pulau, di mana orang-orang bisa langsung loncat ke air, well.. saya ngga suka aja sih. Panas banget, lagi. #alatantetante #kipaskipas)

Pulau Umang

Saya hanya berenang saat kami mencapai Pulau Umang-umang yang sebenernya juga ngga sebagus yang digembar-gembor teman-teman saya, kalau kata guide-nya sih, pulaunya lebih indah lagi kalau kita muter sampai belakangnya. Entah deh, akhirnya kami menikmati sunset di sana, lalu kembali ke homestay.

Bagaimanapun, saya tetap menikmati perjalanan yang penuh dengan semilir angin, dari yang kencang abis sampe sempoyongan, dan tentu saja pemandangan yang ditawarkan. Air biru yang menyejukkan mata, ditambah dengan bukit-bukit kokoh yang memeluk bumi sekitar. Cantik!

memanjakan mata. awannya pas banget di atas gunung!

desing mesin dari kapal, dan buih yang terbelah dari laut, impressing. 

Halo, Kemerdekaan!
Hal yang paling berkesan dari perjalanan ini tentu saja Gunung Krakatau, which is kami hanya mendaki anak gunung krakatau yang sudah cukup bikin ngos-ngosan. Sebenarnya, medannya tidak begitu curam, tapi berhubung perjalanan kami dari Pulau Sebesi ke Pantai Gunung Krakatau yang bikin lemes dan belom sarapan (dalam rangka mengejar waktu), jadilah saya hanya sampai ke punggung gunung dan cukup puas untuk bisa mengikuti upacara 17an dengan bendera besaaaar yang terbentang, dan beberapa puluh orang yang mengitarinya dengan sikap hormat. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya dan 17 Agustus bersama-sama, dan... saya menangis. Haru biru. Pertama kalinya saya merasakan cinta yang meluap kepada Ibu Pertiwi, dan tentu saja, ini adalah upacara terkeren yang pernah saya ikuti sampai saat ini! I Love Indonesia!

medan krakatau dari kejauhan

Minggu, merdeka. Krakatau rame!

Saya jadi ingat perjuangan kami dari homestay menuju gunung krakatau... yang empot-empotan. Perjalanan dimulai dari jam 5 subuh dan diprediksi sampai ke TKP jam 7 kurang. Waktu itu, angin sangat kencang sehingga kapal kami sudah terombang-ambing bahkan sebelom jalan! Awalnya, kami sangat excited, lagaknya udah kayak lagi maen di dufan aja, seru deh ombaknya! Naik-turun, dengan sorakan "UWOOOOO!" yang rame. Namun, setelah setengah jam, kami semua sudah lemas dan diambang mual, belum lagi ombaknya yang bahkan tidah hanya naik-turun, tapi juga terhempas ombak kiri-kanan, rasanya lemes banget... beberapa temen (termasuk saya) sampai muntah-muntah! Jadi, ngga heran dong, kalau saya sampe nangis pas upacara? Effort untuk sampe ke sini nih, bo.

Suasana apel di atas gunung krakatau

Merah Putih: banyak juga orang-orang yang membawa benderanya sendiri

pemandangan dari atas gunung. fascinating :3

Cerita Homestay
Homestay yang ada di di Pulau Sebesi sebenarnya cukup ramai suasananya, sayangnya rumah yang (kebetulan) saya tinggali ini kurang bersih dan agak serem, fasilitas air dan listriknya juga jelek banget. Air dan listrik baru dinyalakan setelah jam 6 sore, dan kembali dimatikan setelah jam 12 malam! Bayangkan!!! Toiletnya juga serem, sepaket sama sumur soalnya (oke, ini guwe aja yang lebay), dan menurut teman-teman yang tidur di ruang tamu (yang dijejerin kasur), ada kecoa -_-" (again!!!!). Seriusan, kalau pariwisata di tempat ini ingin lebih maju lagi, pihak kepulauan Lampung semestinya menanggapi serius hal-hal kecil seperti ini deh! Sebagian dari kami bahkan tidak bisa mandi setelah diving hanya karena tidak-ada-air. Bayangkan!!! Kami pulang ke Jakarta bersama sisa-sisa air asin yang menempel di kulit kamih, hingga jam 2 subuh, lho!
Nah, yang di atas tadi komplen, tapi masih tetep suka banget makan pisang goreng buatan ibu-ibu warung dan kelapa muda segar dari si bapak, hehehe.

Salah satu yang menghibur dari homestay ini adalah penampakan para kawanan kebo,
lagi berendam adem di kubangan. Galak lho, mereka :3

Intinya, perjalanan singkat ini memberi banyak makna bagi saya. Di samping kekeluargaan yang semakin pekat (karena berlindung dari berbagai terjangan ombak) bersama teman-teman, juga kekuatan dan kerelaan. Kuat untuk pulang ke Jakarta dengan kondisi jari tangan saya yang bengkak (baca juga cerita tulang jari saya yang retak karena kecelakaan saat berenang), dan kerelaan handphone saya yang error gara-gara kena air laut. Haha!

Apapun, pengalaman yang baik maupun jelek, tidak menyurutkan SEDIKIT PUN niat saya untuk terus menjelajah alam Indonesia, karena bumi Ibu Pertiwi.. yang semakin dikelana, semakin mbikin jatuh cinta! That's all! :3

Cerita tentang Tulang Jari Retak

Sekedar membagi informasi dan pengalaman, mana tahu ada pembaca atau teman-teman yang sedang mengalami hal serupa. Semua cerita saya mengenai tulang jari yang retak ini bisa dijadikan referensi berpikir, mengambil keputusan atau berobat. Semoga bermanfaat.

Kronologi kejadian
Bulan Agustus 2014 lalu, saat saya terjun dari kapal untuk berenang di Pulau—disertai dengan perasaan takut kelelep—tak sengaja jari saya terbentur kayu (mirip ayunan—biasa digunakan sebagai alat panjat untuk naik ke kapal atau turun ke laut). Entah karena waktu itu ombak lagi lumayan besar, atau momentum ketika saya terjun ke bawah yang lumayan kencang, saya mendapati jari tengah saya bengkok ke kiri dengan nyeri seperti kram. Teman saya bilang, itu kram karena saya terlalu panik. Akhirnya, saya pun menuruti sarannya untuk menggerak-gerakkan jari di air sambil terus berenang, namun nyerinya tak kunjung hilang, dan jari saya tidak lurus lagi. Sampai akhirnya kembali ke kapal, jari saya jadi semakin bengkak dan membiru. Teman-teman menyarankan mencari tukang urut (di mana juga susah banget nyari tukang urut di daerah pulau Lampung), dan saya sendiri yang terlalu takut diurut karena merasa akan memperparah. Akhirnya, berbekal informasi sekilas yang saya baca dari internet, saya pun mengompres jari saya dengan es, dan harus menunggu pulang Jakarta untuk ke Rumah Sakit. FYI, setelah dikompres dengan es-pun, bengkak di jari saya tidak mengempes, malah makin membiru dan tidak bisa ditekuk lagi.

Foto ini diambil dalam kapal pulang ke Jakarta, bengkak dan bengkok. Sakit banget.

Pulang ke Jakarta
Keesokan harinya, saya pun menuju ke Rumah Sakit swasta yang cukup terkenal di daerah Jakarta Barat, niatnya sih hanya ingin rontgen untuk memastikan apakah ada tulang yang retak, atau hanya engsel jari yang bergeser. Tapi, prosedur rumah sakit mengharuskan surat referensi dari dokter tulang—(seperti biasa) LAMA banget, hanya untuk divonis harus operasi dan jangan ke tukang urut, karena yah, benar, tulang jari tengah saya patah. Begitu kata dokternya.

Perhatikan yang dilingkar merah

Begitu melihat rincian biaya operasi (yang entah kenapa dikategorikan di golongan besar), saya langsung lemas. 15 juta, bo. belom juga termasuk obatnya. Akhirnya, saya memutuskan untuk mencari nyokap temen yang koneksinya luas, yang akhirnya mengantarkan saya pada pengobatan alternatif aka. Sin She. (FYI, waktu saya kelas 5 SD, saya juga pernah jatuh dari sepeda, akibatnya tulang di lengan kiri saya retak, dan juga sembuh dengan pengobatan dari Sin She legendaris di Pekanbaru). Berbekal nekat, kami pun menyambangi rumah Sin She, sore-sore, untung prakteknya belom tutup. Sin She tersebut mempelajari hasil rontgen saya, berkata bahwa ini hanya retak, dan ia sanggup menyembuhkannya, asal tahan sakit. Saya pikir, sakit itu sudah pasti, apalagi dengan keadaan jari saya yang sudah didiamkan seharian, tetap saja harus saya alami. Sin She membalut jari tengah dan jari manis saya dengan sanggaan bambu dan ramuan herbal, memberi saya obat, dan menyuruh saya untuk datang 3 hari kemudian.

jari udah kayak pisang

Setelah berobat sekitar 5 kali, Sin She berkata tidak perlu datang lagi karena jari saya akan sembuh seperti sedia kala, asal rutin latihan gerak saja. Saya pun pergi ke retret di Mega Mendung, Puncak yang lembab dan dingin, berbekal obat dari Sin She juga. Retret berlangsung selama 9 hari, dan di sela-sela itu, saya juga rajin latihan menggerak-gerakkan jari saya di dalam air hangat yang berisi larutan garam. Saking rajinnya, kulit saya sampai melepuh dan menggembung, sepertinya faktor iklim dingin di sana juga. Pulang dari Puncak, saya sempat penasaran dan akhirnya memutuskan untuk pergi rontgen sekali lagi (di rumah sakit yang berbeda—namun masih di kawasan Jakarta Barat), dengan hasil yang mengecewakan lagi. Dokter tulang tetap menyarankan saya untuk operasi ditambah fisioterapi, karena jari saya masih belum sembuh total. Jadilah saya galau lagi (kayaknya emang ngga boleh nih ke rumah sakit sendirian, bisa diserang penyakit bimbang mendadak, hehehe). Untung saja, saya orangnya memang kepo dan suka mengobrol, bahkan ketika di rumah sakit saja, saya berkenalan dengan sepasang suami istri, dan si ibu dengan pede menyarankan saya tidak usah mengikuti saran si dokter. Usut punya usut, suaminya juga pernah mengalami kecelakaan parah di mana tulangnya juga pada patah, dan sembuh tanpa harus operasi.

perhatikan lingkaran merah, ada perubahan ngga?

Keesokan harinya, saya nyamperin Sin She saya lagi, dan ia pun terheran-heran dengan kedatangan saya. Sin She melihat hasil rontgen ke dua saya, berkata bahwa tulangnya sudah nyambung kembali, dan garis yang terlihat di rontgen itu hanyalah bekas retakan tulang. Ia menyarankan saya untuk tetap rajin latihan gerak, konsumsi makanan dan minuman yang mengandung kalsium, dan dijaga baik-baik.


Tips dan Saran:
Sifat alami tulang adalah dapat sembuh sendiri, dengan jangka waktu yang lumayan panjang tentunya. Sekitar 3 bulan sampai setahun. Tergantung tingkat keparahannya. Tujuan pemberian obat dari Sin She maupun dokter adalah untuk mempercepat proses tersebut. Bahkan, tanpa diobati pun, tulang yang retak bisa sembuh sendiri. Hanya saja, untuk posisi tulang yang bergeser, dibutuhkan ‘profesional’ untuk ‘merapikannya.’

pasca buka perban. masih hitam dan banyak kulit mati yang belom 'mengelopek.'
  • Menurut Sin She, orang yang tulangnya lagi terluka tidak boleh mengangkat barang yang berat, tersenggol, terbentur, dan makan atau minum yang dingin-dingin (baik itu es atau makanan ‘dingin’ seperti kol, bayam, sayur putih, dll). Tapi, kata teman saya yang notabenenya adalah dokter, itu hanyalah mitos. Well, kembali lagi ke pribadi masing-masing untuk percaya atau tidak.
  • Perbanyak konsumsi makanan atau minuman yang mengandung kalsium, seperti susu, ikan teri medan, kacang-kacangan, dll
  • Jari adalah alat gerak yang sangat, sangat bermakna. Mulai dari mengetik, mengupil, mandi, dan kawan-kawan. Disarankan untuk jangan terlalu stres ketika hanya mampu menggunakan satu tangan untuk beraktivitas (which is pasti jadi lebih lamban). Bersabarlah, dan perbanyak mengobrol dengan orang-orang terdekat. Jangan terlalu memikirkan kondisi tulang, apalagi tidak sabaran—karena tulang juga butuh waktu untuk menyembuhkan diri. “Orang sakit itu harus hepi, dengan begitu sel-sel di tubuhnya akan lebih cepat beregenerasi”dikutip dari nasehat temen saya yang gemes melihat saya stres kala itu.
  • Dengan mengobrol dan saling berbagi, saya juga sadar ternyata banyak sekali orang di sekitar saya yang juga pernah mengalami tulang yang patah atau retak—bahkan sodara tukang taksi yang saya tumpangi! Mostly, mereka juga tidak operasi. No offense, anyway.
  • Untuk meredakan nyeri dan melemaskan otot, disarankan untuk merendam bagian yang sakit ke dalam air garam yang hangat (saya sendiri juga merasa sangat nyaman dan ringan begitu sudah direndam, dan ketika selesai, tangan saya kembali kebas karena masih memar dan aliran darah belum begitu lancar. Tidak apa-apa, lakukanlah dengan rutin).
  • Yang paling penting: Rajin-rajin cari informasi, batasi ruang gerak bagian tubuh yang terluka untuk sementara waktu, dan berdoa. Stay happy!

kondisi jari tengah setelah hampir 3 bulan. masih sedikit bengkak, tapi sudah bisa ditekuk sempurna.

Overall, pilihan untuk operasi atau pengobatan alternatif kembali lagi pada kondisi luka dan pertimbangan masing-masing. Ini hanya sekedar pengalaman saya, berharap ini bermanfaat dan ingatlah terus... kamu tidak sendiri! Mengutip kata-kata teman saya, “Seseorang pasti pernah mengalami tulang yang patah atau retak—at least sekali seumur hidupnya.”

Ya, kalo perlu sih jangan pernah, tapi kalau sudah kejadian, ingatlah untuk tetap tersenyum, karena ini hal yang wajar dan tidak perlu diresahkan secara berlebihan. Semoga cepat sembuh!

Oh ya, saya pun merasa termotivasi berkat membaca sharing pengalaman dari sini.


sekedar referensi saja, saya percaya selain Sin She Iwan (yang menangani saya),
masih banyak 'dokter alternatif' yang bisa teman-teman pertimbangkan

Friday, October 24, 2014

Menjadi Penulis: Edisi #PenulisNgenes

Dreamless Dreamers, 'anak' pertama saya yang lahir
dan 'katanya' berhasil menginspirasi yang baca :3
apa lagi yang lebih menyentuh dari hal ini?

Menjadi penulis. Terdengar keren dan tidak biasa. Lebih antik dan bergengsi dibanding profesi lain yang didapat dari kuliah bertahun-tahun. Tidak ada gelar khusus untuk mempelajari bidang usaha ini, kalau ia mau disebut sebagai salah satu jenis 'usaha.' Menjadi penulis adalah panggilan jiwa, atau sejenis obsesi, atau impian, atau apapun nama yang ingin anda berikan. Saya sempat cekikikan saat membaca buah pikir dari penulis brazil yang tersohor melalui buku The Alchemist dan Eleven Minutes, Paulo Coelho. Beliau sudah bermimpi menjadi penulis sejak usia 15 tahun, lalu mencari tahu definisi penulis: tidak pernah menyisir rambutnya, berkacamata, omongannya selalu 'dalam', memahami istilah-istilah aneh dengan pembendaharaan kata yang meluap, selalu berhasil merayu wanita, dan ketika ditanya mengenai buku apa yang dibaca, jawabannya pasti buku yang tidak pernah didengar orang lain. 

Well, menjadi penulis itu sesungguhnya ribet, karena selalu bergumul dengan pikiran dan idealisme sendiri. Kali ini, saya mau sharing mengenai 2 jenis #PenulisNgenes. Lumayan, buat lucu-lucuan sambil ngaca juga, hehehe..

1. Penulis yang (diam-diam) mengaku dirinya adalah penulis, mengaku suka menulis, namun saat dibombardir dengan pertanyaan, "Sudah nerbitin berapa buku, sih?", "Bukunya bercerita tentang apa?", "Biasa suka nulis dengan genre apa?", "Nulis di blog? Link-nya apa?" dan kawan-kawannya, maka mereka akan tercekat dan jawaban yang muncul akan berputar-putar di ambang ketidakpastian dengan inti: "gue emang suka menulis sih, tapi tidak ada waktu, atau kadang-kadang nge-blank, makanya update blog sama rilis buku gue tidak kelar-kelar sampe sekarang, tapi yah gue sering sih ikut seminar atau workshop mengenai kepenulisan." (situ ibu-ibu PKK? kerjanya kumpul-kumpul melulu, hahaha). Masih. Masih dengan postur yang menjanjikan serta percaya diri, dan masih membawa serta ungkapan-ungkapan yang njlimet -- kadang membuat orang tertentu menjadi terpesona, kadang orang tertentu pula akan menggeleng-geleng karena ndak mudheng. 

2. Penulis yang mengaku dirinya adalah penulis, hanya untuk dirinya sendiri. Entah itu menulis diary, blog pribadi yang digembok, dan segala sesuatu yang hanya dinikmati sendiri. Tapi, bukan berarti mereka tidak unjuk gigi, lho. Mereka sering menulis hal-hal puitis atau (yang katanya) 'berisi' di status jejaring sosial, yang menginspirasi, memberi motivasi, dan tidak jarang (menyuruh orang untuk) mendapatkan 'like' dan 'share' sebanyak-banyaknya. Kalau lo nge-like postingan gue, nanti gue like balik. (Ciyeee, transaksi dagaaaang).


Naaaaah. Kamu masuk yang mana?

Sebelom ngaku, saya dulu deh yang ngaku. Saya masuk kedua-duanya. #NgenesAbis hahaha... Karena mulai merasa ngenes dan harus ada yang berubah dari nasib hidup saya (cielahh bahasanya, pih!), maka saya mulai mempertanyakan aktivitas menulis dan segala lomba (kebanyakan kalah, tapi ada satu, dua yang menang atau masuk kategori juga sih -- tuh, kan! sok kepedean lagi!) yang pernah saya ikuti, segala naskah yang saya kirim ke penerbit mayor dan majalah yang ditolak, dan sudah berapa ribu subuh yang saya lewati untuk menamatkan novel orang lain dan akhirnya #ngenes karena tersentuh sama kisahnya. Kapaaaan novel saya bakal menyentuh orang jugaaaa, maaaak? :')

Tergerak oleh banyak pertanyaan yang tak kunjung bermuara inilah, akhirnya saya memutuskan untuk pelan-pelan mengusahakan segala cara. Yang paling krusial tentu saja adalah mendisiplinkan niat yang sering pasang-surut (saya percaya banyak sekali teman-teman penulis yang sama!) dengan memaksa diri saya untuk MENULIS TIAP HARI, entah hasilnya akan jadi sampah atau permata. Selain itu, saya juga lamat-lamat belajar mencintai karya saya sendiri, melonggarkan label perfeksionis yang sudah menempel kayak lem uhu di jidat saya dengan TIDAK MENGHAPUS TULISAN YANG SUDAH DITULIS PANJANG-PANJANG. Sayang tauuu, ibaratnya seperti membuang sepiring penuh roti bakar hanya karena kita ngga suka sama abang-abang yang bakarin rotinya. Biarkan saja dulu, selesaikan dulu tulisanmu, diamkan beberapa saat, baru setelahnya dikeluarkan dari oven #lho. Kalau kata Raditya Dika, ada masa-masa inkubasi bagi suatu naskah, sehingga saat kita membacanya lagi, kita sudah dalam kondisi yang fresh untuk merevisinya.

Jalur Penerbit Indie?
Saya juga sempat ragu dengan keputusan mengambil jalur penerbit indie, karena semuanya harus diurus sendiri, belum lagi dengan acara 'merinding disko' menunggu reaksi orang-orang yang bertanya, "Hah?! Jadi lo nulis?!" dengan tampang #ngenes abis ngeliat kecoak, atau tampang abis kepepet bajaj. Well, kadang penulis bisa malu juga lho, selain (tentunya) berhasil malu-maluin. Namun, setelah saya menengok kembali semua passion dan usaha yang saya lakukan, tidak jauh-jauh dari upaya berkisah untuk menginspirasi orang lain, menguatkan orang lain dan memberi semangat bagi mereka yang butuh kesegaran. Kalau memang itu tujuannya, mengapa saya harus menyimpan segala cerita untuk saya konsumsi sendiri? 

Dewi 'Dee' Lestari yang baru-baru ini menerbitkan seri Supernova Gelombang, juga pernah mencetak Rectoverso melalui jalur indie; demikian juga Robert Kiyosaki yang memasarkan sendiri buku larisnya yang juga ia cetak sendiri; Fahd Pahdepie penulis yang selalu menghembuskan pesan sarat islami tanpa menggurui juga melakukan hal yang sama untuk bukunya yang berjudul Kucing; Ika Natassa yang beken lewat metropop juga memiliki novel berbahasa inggris yang hanya bisa dipesan melalui penerbit indie. Ditambah lagi, saat ini sudah banyak sekali penerbit indie yang bisa mendukung mimpi-mimpi muliamu, salah satunya adalah Rasibook yang tidak akan menolakmu seperti yang dilakukan gebetanmu #EdisiNgenes lagi, hahaha, dan yang paling penting GRATIS (nih, kepoin di sini). Kalau sudah begini ceritanya, tidak ada alasan #ngenes untuk memilih tetap bungkam dalam passion menulismu, kan?

Karena, saya selalu percaya, menulis itu bukan sekedar kata-kata yang menari di antara kursor atau penamu. Menulis adalah menuangkan energi, di mana kamu tidak akan pernah tahu siapa yang berhasil kamu bantu, siapa yang berhasil tersenyum dan terinspirasi, hanya melalui jemari dan benakmu.

(Mengapa menulis itu suatu keharusan? Baca di sini).

#DariNgenesJadiGemes
#YukPublishBukumu
Cari tahu lebih lanjut tentang Rasibook, Indie Publisher 

Tuesday, October 21, 2014

Foodgasm: Beatrice Quarters, Pantai Indah Kapuk

Sebenernya, pertama kali gue menginjakkan kaki ke restoran ini juga tidak disengaja. Tidak baca review, tidak tanya temen, tidak juga hasil kepo-kepoan dari instagram. Tidak sulit mencari tempat makan di kawasan PIK, namun saking banyaknya restoran berjejer di sana, gue dan teman gue yang waktu itu cuma pengen leha-leha abis interview kerja... jadi galau. But, finally this pretty restaurant caught our eyes! Akhirnya sampe memutuskan untuk makan malam di sini. Gue malah terpana dengan interior restoran yang sangat amat girlie and chic, sulit banget untuk tidak jatuh cinta pada atmosfir restoran ini! Musik yang antik, keremangan dengan 'kuning' yang pas, sofa empuk dan homey (apalagi di ruangan bagian dalam), quote-quote yang bertebaran di MEJA yang bikin kita jadi pengen banget makan sambil ngelupain berat badan sejenak #eh terussss... balik lagi, gue kesengsem berat sama desain ruangannya. Sesaat setelah gue masuk, gue udah bertekad bakalan datang ke sini lagi sambil memboyong teman-teman! Haha.

Beatrice Quarters menawarkan Western Food (mulai dari steak, pasta, pizza, fish and chips, toast dan lain lain) dengan appetizer yang cukup menggoda. Menu minumannya juga cukup bervariasi, tapi gue malah kebiasaan memesan minuman paling mainstream di dunia pernongkian: teh. And guess what? I got a cup of chamomile with cookies, and i really found it cute! Apalagi toast-nya yang 'menggunung' dan seru untuk dimakan bareng sambil bergosip. And yes, i did it with my fellas! :)


the pasta tasted good, and in the appropriate portion too (for me).
Biasa kalo gue makan beginian, suka enek kalo udah setengah jalan. Ajaibnya, kali ini enggak :3

rencananya, temen gue mau makan semua nih. Tapi akhirnya kita malah share.Suka sama topping-nya yang wangi, curiga chef nya punya ramuan rahasia.

Vintage-ness overload: coba deh perhatikan piring sama gelasnya!
Ga jauh beda ya, sama yang dipake nenek kita dulu, hehe.
Overall, menurut gue, dari segi konsep, ini adalah restoran yang (akhirnya) bikin Nanny's Pavilion punya saingan, walaupun baru punya dua cabang (PIK dan Puri Indah), tapi selalu terlihat ramai saat gue berkunjung ke sana. Ini tempat yang kece buat menghabiskan weekend bareng geng, pacaran (kalo pacarnya ngga keberatan diajak bermanis-manisan ria sejenak, hehehe), atau bareng keluarga dan sodara. Well, the atmosphere is definitely comfortable too for doing some tasks or office works.

se il vous plaît!

Ratings
Place: 9/10
Food: 8/10
Price: 8/10
Service : 8/10

Beatrice Quarters
Jl. Marina Ruko Crown, blok B/26
Bukit Golf Mediterania
Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara

www.beatricequarters.com
official facebook: here

Friday, October 10, 2014

In the Darkest Time

Kemerdekaan ternyata bisa dicicip dengan rasa lain, di antah berantah yang benar-benar baru, gunung dan pulau, seberang Jakarta. Kemerdekaan tidak berarti segala yang menyenangkan, tapi bertemu kesempatan untuk mencabik segala kesombongan dan kebaikan yang saya pikir telah cukup saya kumpulkan dan saya pamerkan.

Sakit yang mengoyak segala kepercayaan, ketidaknyamanan yang hampir membuat saya gila. Frustasi, karena terkungkung dalam ruang dengan oksigen yang kurang, bagi seekor burung hantu yang gemar berkelana lalu mengeluh lelah... semua bagai neraka. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa, dan kalaupun saya sudah bercerita kepada teman-teman dekat saya, semua penghiburan mereka akan bertahan sejenak, lalu saya kembali tenggelam lagi dalam emosi yang menghimpit kebebasan untuk bernafas. Ini sebenarnya aneh, bahkan catatan-catatan akan masa berjaya, segala carik motivasi dan kebenaran yang berlembar-lembar, kadang hanya bertahan beberapa jam saja, lalu ketika saya menatap jari saya yang membengkak dan mulai berpusar dalam kekhawatiran... saya terlalu takut untuk menahan tangis dan... entahlah, mari dinamakan dengan emosi negatif.

Seperti bisa mendengar denyut sakitnya, yang kadang seperti mencubit gemas, kadang menggelitik sampai meringis. Saya hanya terus berusaha untuk menjadi waras, bertekad menjaganya sebaik yang saya bisa. Berkat sakit seperti ini, barulah saya benar-benar berhubungan dengan tangan saya, jari saya, tubuh saya. Satu saja bagian kecil yang terluka, ternyata berpengaruh di seluruh hidup saya. Satu utas jari, di tangan kanan, retak tulangnya dan dibebat sampai kaku. Semua demi kesembuhan, semua demi cinta, dan produktivitas. Kini, bekas bebatannya masih sedikit lebam dan bengkak, namun saya sudah bisa mengetik dan menulis dengan normal, setelah hampir dua bulanan menjadi sangat lamban.

Sakit, bisa membawa diri ke pemahaman diri sendiri pada tahap yang lebih dalam. Sakit, memaksa untuk berdamai dengan diri sendiri, lalu mencintai dan menerimanya apa adanya. Sakit, mendorong untuk melihat segala fenomena seperti adanya, hadir bersama rasa sakit dengan tulus, karena... tidak ada lagi yang bisa diupayakan, selain menerima.

Pelajaran dahsyat bagi saya, setelah bersenang-senang dan huru-hara dengan segala kebaikan yang selalu saya terima; hingga terperanjat ketika terseret dalam ketidakberdayaan. Tiada yang bisa dilakukan, selain menerima bahwa saya pernah sangat sombong, bahwa saya masih terus harus belajar, untuk menjadi tulus dan bersabar... pada diri sendiri, pada keadaan, pada pengalaman dan semua orang.

Menangislah, agar terus kuat.

Lalu berpalinglah dari sosok yang berpaling dari sinar mentari, lalu dengan keyakinan yang telah susah payah dipungut, jadilah percaya diri.

Dan sadar sepenuhnya, bahwa tidak ada yang tidak bisa dihadapi.

In the mean time,
when all my thoughts sink into negativity and lost hopes,
thank you for each occasions that made me realize how lucky i am. 

In the darkest moment,
i realized that it just me who turned aside from the sunshine.
And for every second of struggling with insanity,
i'm thankful for (still) embracing my inner peace inside my heart
... and still counting.


Rise.
Like the Sun.

Lalu,
bagaimana cara menghadapi segala ketidakberdayaan?
Menjadi bersyukur, dan melihat segala yang datang sebagai berkah, manusia-manusia yang membantu pertumbuhan, dan mengulurkan segala bantuan yang diperlukan.

Sulit memang, tapi setidaknya, akan ada lega di sela-sela sesak.

Mungkin itulah alasan, mengapa hati sebaiknya senantiasa terbuka, setiap saatnya.

Thursday, October 2, 2014

Brief Reviews for Dreamless Dreamers Novel

Kini, saya menyaksikan sendiri mimpi saya yang dulunya hanyalah mimpi, sekarang sudah mulai berjalan, mengepak... mungkin lebih tepatnya tertatih seperti langkah bayi, namun perasaan melihat langkah-langkah seperti itu... membuncahkan keriangan dan ketidakpercayaan yang merinding... bahagia. Bermula dari keluarga, teman-teman dan sekitar, rasanya ajaib mendapati buku saya sudah dibaca sekitar 60-an orang (sampai saat ini). Bagi saya, membuka diri dan ‘melahirkan’ buku seperti ini untuk dibaca oleh khalayak ramai saja sudah merupakan suatu keberanian yang cukup membuat saya ‘kisut’. Bagaimana tidak, setelah ini, saya tidak bisa mundur lagi. Pilihannya sedikit, buku saya harus terbit di toko buku, saya harus menjadi penulis beneran. Bukan penulis yang dianggap dan dikenal oleh diri saya sendiri lagi, namun kepada semua orang. Oh, baiklah. Bagus kalau tidak punya pilihan lain, then. Let’s go!

Jadi, buku pertama saya yang terbit berjudul Dreamless Dreamers; Pemimpi yang tak punya mimpi. Mungkin kalau diterjemahkan jadinya seperti itu. Banyak yang bertanya, “Buku ini tentang apa sih, ceritanya pasti ngga jauh-jauh dari romansa ya, atau jangan-jangan ini kisah hidup lo?” Well, if i going to write my life-story, then i would gladly write a bibliography. Lol. Sebenarnya itu juga-lah pertanyaan yang membuat saya selama ini segan untuk maju dan ‘unjuk gigi’, saya terlalu takut untuk di-judge menulis kisah pribadi... well, bullshit kalau isi di dalam buku ini tidak ada sangkut pautnya dengan hidup saya, tapiiii... tidak jarang juga kisah yang terjadi di sekitar saya, apa yang dialami, apa yang diserap... semuanya! Tidak hanya berkisah mengenai romansa, namun juga bagaimana cara memandang persahabatan, hubungan, keluarga secara sehat—yang artinya memandang value diri sendiri dengan lebih baik—ujung-ujungnya tidak pernah jauh kemana-mana kok, mendapati diri sendiri yang tengah bermimpi ini ternyata (sudah) jauh lebih beruntung dari apapun yang pernah dibayangkan.

Well, i still feel suck to review my own book, but here are some testimonies from friends who read it. Sengaja dirangkum dalam rangka apresiasi dan bentuk cinta kepada mereka-mereka yang sudah meluangkan waktu berharganya untuk mencicip karya pertama saya:

Ce Elizabeth : "Seru! Dua sahabat berteman dari kecil yang ngga tahu apa-apa, tapi saling iri. Rumput tetangga lebih hijau, kiasannya pas. Dua orang yang mengejar sesuatu yang sudah ada di depan mata, tapi ngga sadar dan nengok ke tempat orang. Buku lo mengajarkan 1 hal yang pasti, kayak cerita beruang sama ikan, bahagia itu relatif dan berbeda-beda pada tiap orang."
Marlen, Vita, Devi : (Sori nih chat-nya udah tenggelem, tapi kalo mau komen lagi ditunggu sangat, haha) "Ceritanya bagus, na, elu banget dari segi penuturan, dan agak bingung sama kedua tokoh utamanya, habisnya namanya sering ketuker, agak ngga biasa namanya, tapi suka sama quote-quotenya! 
Teman Wanda : "Ceritanya lumayan bagus dan bikin penasaran, tapi karena cinta-cintaan jadi bikin agak kesal." 
Debby Aprilia: "I sukaaaa, kelihatan kayak nyata banget ceritanya. Alurnya agak terlalu cepet, apalagi di bagian emak-emaknya. Suka sama bagian Leira sama Willo yang unyu-unyu. Mantaplah, ditunggu karya berikutnya!" 
Jessica Rusli : "Cece, bukunya bagus bangeeeeet, apalagi kalimat-kalimat terakhir. Sebenarnya cocok banget sama kehidupan ini, tapi bingung sih, jadi sebenarnya Tama sama Kinna itu pacaran lagi ngga? Bingung sih, kenapa Kinna bisa ngga suka sama Tama." 
Allan Yu : "Dari novel yang pernah gue baca, Dreamless Dreamers yang gue rasa termasuk salah satu novel yang ngga bikin gue ngantuk sama sekali pas ngebacanya. Ckckck... ngga nyangka seorang nana bisa jadi penulis, bangga! Banyak penggalan kalimat di Dreamless Dreamers yang bermakna dan dapat dipelajari dalam hidup (ngga perlu dijelasin, baca sendiri nih novel), makna-makna tersebut sebenarnya sangat sederhana aja kalau dipikir-pikir, tapi yang namanya manusia belum tentu bisa kepikiran kalau yang sederhana itu bisa menjadi benar-benar bermakna. Tetap berkarya dan kejar mimpimu, nana!"
Steven Cai : "Great book, nana! Very inspiring.. hehe.. Wise man once said, the grass is always greener on the other side, But probably it because that dude was using somekind of chemical to paint his grass. Thanks for the amazing book! Cheers.."
Vini Leung: "Sebuah kisah yang nampak sederhana, namun berhasil membuat pemirsa surprised. Pahit yang berujung manis... love it, deh!" :D
Melinda Salim : "Aku suka sama novelnya, bacaannya ringan tapi punya makna. Aku suka waktu Mama Leira yang dibeliin kue tapi marah-marah, dan semua perkataan Yuki yang logis. Aku suka yang quotes-nya." :) 
Athien : "Maunya lebih tebal nih, dua hari udah habis, haha.. Yang jelas bagus, dan yang pastinya tokoh rambut dicepol pakai kacamata itu elu banget, haha.. Pertama sempat bingung dengan cerita Leira dan Kinna, terlalu tiba-tiba, judul bab selanjutnya kok gini, tapi dibaca seterusnya baru ngerti."

....aaaand still counting! 
Maklumlah, penulis baru, suka nodong-nodong orang untuk minta komen, dan senaaaang banget begitu ada yang sukarela ‘manggil’ di chat buat ‘laporan’ setelah selesai baca. I do rrrrrrrrrreally appreciate all of you, guys! Thank you, Thank you, Thank you!!

dan semua yang sudah selfie bersama buku ini, thank you! <3

*komen disaring dari chat pribadi penulis, instagram, dll.

**i really want to write a lot about every experiences that happened lately, 
gonna make it after i finished all my editing and translation for a project :3

***grab a copy of my book? 
Piece of cake! Just jump to HERE.
Or, no worry, just simply contact me. I'll be gladly order it for you.

****have an amazing day!