Sunday, November 1, 2015

Helm Warna Kuning - Sebuah Cerpen iseng untuk Nulisbuku & Yayasan Astra-Honda Motor.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti 
Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com


HELM WARNA KUNING
 
            “NIKUNG, SIH! RASAIN!” suara cempreng itu berhasil membuat orang-orang kantoran yang berjalan di pinggir trotoar menoleh dengan muka horor. Langit yang sudah mulai senja terlihat begitu indah di kawasan Kuningan, semburat matahari yang hampir tenggelam bersembunyi malu-malu di balik gedung-gedung perkantoran. Macet, sudah pasti. Asap kendaraan, apalagi. Namun, knalpot motor matic yang tergeletak di pinggir trotoar itu sama sekali tidak mengeluarkan asap lagi.


            “Ya udah, sih, suaranya nggak usah gede-gede,” gue mengelus-elus siku kaki gue, robek sudah jins yang dibelikan Yuna ini. Yuna pernah bilang, harga jins itu satu setengah juta. Ya manalah gue percaya, itu kan gajinya 2 minggu, mana mungkin dia mau beliin gue, kecuali dia bego. Tapi, Yuna ini memang bego, gue cukup sayang sama dia sampai akhirnya gue nganterin dia reunian di kafe daerah Kemang, dan bertemu dengan cewek bersuara cempreng yang barusan berteriak ini.

            “Lu kan nggak sejago Marquez kalo bawa motor, jadi nggak usah gaya-gayaan!” Namanya Priscilla. Lihat saja dari perangainya, sudah jelas bahwa dia ini tipe cewek galak macam emak-emak di pasar dalam kondisi senggol bacok, walaupun begitu, dia mau saja ditikung.

            “Ah, kamu, masih aja baper sama MotoGP. Kan tadi pagi udah sign petition buat Rossi, kan?” gue jawil lengannya dengan usil sambil menaik-naikkan alis. Maunya sih ketawa dan bikin dia ketawa juga, tapi apa daya gue cuma bisa meringis kesakitan, kayaknya gue emang butuh kasih sayang banget—eh maksudnya, butuh dikasih betadine. Ini kaki, baru nyium aspal dikit aja udah manja gini. Akibat kurang kasih sayang, emang.

            “Udah lah! Lagian parah banget sih, si Pedrosa juga ikut andil ternyata! Gue nggak habis pikir sama mental-mental orang kayak gitu, kan kesian Om Rossi!” Priscilla mulai berkoar dengan tangannya yang sibuk mencari-cari tisu basah dari tas warna kuningnya yang norak.

            “Pri, kamu cantik kalo lagi marah-marah.” Eh sumpah, ini refleks. Gue aja nyesel ngomong kayak gini, lihat saja wajah Priscilla yang langsung mendadak jadi nenek lampir. Matanya yang sipit mendelik tajam ke arah gue, gue hampir bisa melihat golok di ujung matanya. Tangannya yang memegang tisu basah terhenti di udara beberapa detik, lalu kemudian benda itu melayang dan mendarat tepat di siku gue yang berdarah-darah.

            “Aduh!” gue meringis kesakitan lagi, Priscilla bener-bener tega, masa tisunya dilempar gini, sih. Yuna aja nggak berani kayak gini ke gue. “Jahat sih, kamu. Yuna aja nggak tega, lho.”

            “Ya udah, sini handphone lu, biar gue telepon pacar si tukang nikung.” jawabnya ketus, dagunya terangkat sambil menatap ke arah lalu-lalang kendaraan.

            “Daritadi udah berapa kali kamu bahas nikung-nikung. Kenapa deh, sensi banget?” gue akhirnya menaikkan nada suara gue, pengaruh nyut-nyutan di kaki kayaknya, jadi ikutan baper kayak Priscilla. Sebenarnya, alasannya sederhana, dia masih marah dengan apa yang terjadi di malam reunian kemarin. Tapi gimana dong, gue kangen banget sama Priscilla ini dan gue nggak pernah expect bisa menemukan dia lagi! Bagi gue, Pri emang cewek yang langka di hidup gue. Bahkan, kalau Pri minta gue untuk mutusin Yuna sekarang, gue akan bersukarela melakukannya—walaupun abis itu gue nggak lantas pacaran sama Pri. Beneran! Beneran segitu desperate-nya gue sama cewek sialan ini. Sebenarnya bukan karena dia cantik kayak Cara Develingne atau tajir mampus, sih, tapi karena dia punya kedua nya. Cantik dan tajir.

            “Hidup itu susah, men. Kalo udah bisa hidup, jadilah yang berintegritas,” balas Priscilla tegas, alisnya yang tebal mengerut, ia menatap gue dengan tajam beberapa saat, “gue balik, hati-hati.” Ia merampas tas kuningnya yang tergeletak di trotoar, bangun dari jongkoknya dan menyetop metromini yang lumayan sepi, pergi begitu saja tanpa membalikkan badannya SAMA SEKALI. Yaelah, Pri kan bukan Cinta, dan gue juga bukan Rangga. Nggak perlu lah drama-drama AADC-an kayak begitu. Tapi tetep aja, jantung gue…. masih deg-degan gara-gara diliatin dia? Lu lebih bego dari Yuna, dasar Haris Oktavianto!

            Gue bersihkan darah di siku kaki gue yang mulai mengering, membereskan tas selempang gue dan berjalan tertatih menuju motor matic gue. Gue sama sekali nggak deg-degan karena mesti menempuh perjalanan panjang ke Sunter dengan motor ini, bukan juga karena gue takut dimarahin Nyokap. Gue deg-degan karena gue merasa nggak dianggap oleh cewek sialan itu. Priscilla sama sekali tidak menoleh, menyuruh gue mengabarinya kalau sudah sampe rumah, atau sekedar ‘gue jenguk besok,’ apa kek gitu, biar gue seneng dikit. Gue ambil handphone gue untuk menghubungi Yuna, minta maaf atas kejadian semalam dan memberitahu dia tentang posisi gue sekarang. Seperti yang sudah gue duga, Yuna histeris dan bilang akan segera naik taksi buat jemput gue. Sekalian aja, Na, bawain derek buat ngangkut motor gue.

            And you see, Priscilla Owen? Ada orang yang mau mencurahkan semua perhatiannya ke gue, jadi lu nggak usah sok kecakepan kayak begitu. Lu pikir, gue segitu desperate-nya apa?!
 
***
          
Setiap kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan segera kita balas dengan anggukan. Kenapa ‘hati’-nya mesti ada dua kali? Gue nggak pernah mempertanyakan hal-hal tolol seperti ini, sampai siang ini… ada orang yang tiba-tiba mengetok pintu rumah gue kayak maling. Cara Develingne. Eh, maksud gue, Priscilla. Bukan Priscilla dalam arti harafiah, sih, tapi representasi dalam bentuk ojek online yang sekarang marak beredar di ibukota. Mas-mas berjaket hijau itu menyerahkan sebuah kotak sambil meminta maaf karena sudah mengetuk pintu rumah dengan cara yang tidak sopan, katanya disuruh pengirimnya begitu. Dasar cewek rese. Gue cuma bisa senyum jaim ke mas ojek dan memberinya sedikit tip karena sudah mengantarkan perasaan ini dengan selamat.


            Kotak itu berisi helm berwarna kuning yang silau banget, lalu secarik kertas dengan tulisan “awas kalo nggak dipake!!!!!” ya ampun, tanda serunya banyak banget, udah kayak golok. Helm ini… saking noraknya bikin kepala jadi mendadak pusing. Belum sempat gue menangisi tragedi helm kuning ini, handphone gue sudah berbunyi. Sambil menyeret kaki gue yang masih diperban, gue raih handphone gue, “Halo?” sambil menghempaskan tubuh gue di sofa.

            “Dasar nggak tahu terima kasih!” suara cempreng di seberang hampir bikin gendang telinga gue meletus.

            “Eh, selow dong. Thanks ya, sayang,” gue seneng banget denger si cempreng yang nelpon gue duluan. Ahey.

            “Helm-nya dipake!”

         “Lah, orang helm gue baik-baik aja. Ngapain kirim-kirim helm norak gitu sih—maksud aku, kamu ngapain sih repot-repot? Mending, kirim diri kamu aja, aku kangen.”

            “OGAH!”

Lalu telepon terputus. Gue tatapi handphone gue yang bertuliskan ‘call ended’ dengan takjub. Wanita macam apa ini. Tapi, jangan panggil gue Haris kalo kemudian gue ke pojokan dan nangis sambil keramas. Gue telepon lagi nomor itu, bersabar menunggu nada sambung sampai akhirnya… dijawab juga.

            “Jadi, Ris, gue jelasin ya. Itu bukan helm. Itu jimat. Udah gue suruh Oma gue buat jampi-jampiin, supaya lu selalu selamat sentosa setiap kali lu di jalan.” Nggak pake halo, nggak pake basa-basi, Priscilla langsung nyerocos panjang lebar.

            “Kalo mau aku selamat mah gampang, kamu tebengin aku tiap hari. Aku pasti bawa motornya bae-bae. Nggak ngebut, nggak nerobos lampu merah, nggak pura-pura jaim depan polisi. Hehehe.” ujar gue santai, udah nggak sabar mau diomelin lagi sama cewek ini.

            “Lu pasti protes sama warnanya, kan? Gue udah bilang sama Oma, beli yang warna biru aja, tapi kata Oma, jimat itu hanya bakal ampuh kalo warnanya kuning. Dipake helm-nya, Ris, soalnya mustahil gue mau nebeng elu.”

            “Iya, seakan-akan kalo gue ngomong ‘kame-kameha,’ itu helm bisa langsung keluar api, lho.” balas gue males.

            “DIPAKE RIS, HELM-NYA.”

            “Iye, iyeeee. Bawel, gue pake deh ntar.”

            “Ris.” Suara Priscilla terdengar masih tegas-tegas mampus.

            “Iya, sayang?”

         “Dipake sekarang helm-nya. Oma gue udah siap di depan menyan, siap ngirimin jampi-jampi keselamatan ke elu.”

         Eh buset. Gue hanya bisa menganga menatap helm yang bahkan belum gue keluarkan dari dalam kotak. Priscilla mau gue make helm di dalam ruangan? Dipikir gue bakal head-stand terus muter-muter sampe pingsan kali, ya. “Iye, udah gue pake.” jawab gue asal, masih melototi helm yang mengkilat itu.

            “PAKE GAK?” suara cempreng Priscilla membelah langit dan bumi.

        “EH IYA, IYA!” refleks, gue melepaskan handphone gue ke sofa dan langsung memakai helm itu. Plek. Bau helm baru selalu enak dicium. Gue nyalain speaker handphone dan suara Priscilla sudah kembali normal.

            “Ris… lu inget sesuatu, nggak?” tanyanya.

         “Hah?” Gue masih membetulkan letak helm norak yang sekarang sudah sukses bertengger di kepala gue. 

            “Setelah donor ginjal ke elu, gue sempet demam tinggi dua mingguan,”

            “Ya iyalah, aku inget!” jawab gue sewot, Pri pikir gue tipe cowok yang nggak ngerti balas budi apa, gue masih ingat kebaikan Priscilla yang bersedia menjadi donor ginjal dan menyelamatkan gue dari vonis dokter yang menyatakan bahwa gue bakal segera mati. Priscilla Owen, yang notabene-nya adalah sahabat baik Yuna. Priscilla, yang bukan siapa-siapa gue, tapi mau membagikan salah satu organ tubuhnya kepada gue, di saat Yuna hanya bisa menangis tanpa tindakan apa-apa. Gue bener-bener berhutang dan memuja Priscilla banget. Bagi gue, dia adalah cewek paling cantik dan tajir seantero semesta. Hatinya cantik, jiwanya tajir. Gue pengen banget melindungi dia seumur hidup gue, sayangnya gue kadang suka jiper dan berasa nggak pantes. Intinya, waktu itu gue panik banget mendapati Priscilla demam tinggi setelah proses donor selesai, sampe-sampe Priscilla dirujuk ke Rumah Sakit di Malaysia untuk mendapat pengobatan yang lebih mutakhir. Setelah itu, gue sama sekali nggak pernah dapat kabar apa-apa lagi dari Priscilla, sampai akhirnya gue ketemu dia di reunian itu. Coba pikirkan, gimana gue nggak hepi-jungkir-balik ketemu the savior of my life?!

            “Setelah gue sembuh dari demam itu, gue… jadi bisa ngeliat Oma gue lagi.” suara Priscilla mengecil.

          Gue berusaha mencerna kata-kata Pri. Jadi bisa ngeliat Oma… lagi? Ada hawa dingin yang tiba-tiba menjalar di tengkuk gue, sial, gue merinding.

            “Oma gue sekarang masih di depan lu, lagi ngasih pemberkatan ke elu.”

            “Pri… nggak lucu!” anjrit, suara gue jadi gemeteran gini, tangan gue refleks ingin mencopot helm penuh misteri ini dan membuangnya jauh-jauh.

            “Eeeh! Jangan dibuka! Kalo lu buka helm itu sekarang, lu bisa ngeliat Oma gue. Sumpah!”

Anjrit! Gue hanya bisa merutuk dalam hati, memandangi sekeliling gue dengan penuh kewaspadaan, bisa saja tiba-tiba ada ‘yang lewat.’ Punggung gue langsung bereaksi mengeluarkan keringat dingin, gue juga nggak bisa teriak karena bonyok gue juga lagi di luar kota. Rumah ini kosong, tinggal gue doang. Sialan kau, Priscilla, sialan!

            “Oke, oke. Jadi, kapan kamu mau dateng ke sini temenin aku?” gue berusaha berbicara dengan nada yang biasa-biasa saja, daripada mikirin si Oma yang spooky, mending gue ngegombalin Pri aja.

            “Lah, gue udah di depan lu, kok.”
DEG!
            “Hahahaha… Udah ah, gue mau mandi.”

            “Pri…”

           “Oma gue tadi titip pesen, katanya jampi-jampi sentosanya kira-kira setengah jam. Lu jangan lepas helm, ya.”

            “Pri… kenapa kaki aku… rasanya dingin-dingin gitu?”

            “Lagi dipegang sama Oma, biar cepet sembuh. Satu, Ris, yang perlu lu ketahui, gue sempet nyesel banget nggak bisa donor darah ke Oma pas beliau kecelakaan, jadi lu adalah alasan kenapa gue bersedia donor ginjal.”

            “Oh…” Gue speechless. Kaki gue masih terasa dingin, rasanya pengen pipis di celana.
            “Itu satu-satunya alasan gue. Bukan karena lu ganteng, jadi lu jangan sok kegantengan!” suara Priscilla jadi galak lagi. “Ya udah, hati-hati ya.” Priscilla mematikan teleponnya, sementara gue masih nanar mencerna semua kata-kata yang terdengar kayak bahasa asing.

Setiap kali ke luar rumah atau pamitan, kita seringkali mendengar “Hati-hati, ya!” dan segera kita balas dengan anggukan. Kenapa hatinya mesti ada dua kali?

            Apa karena hati bukan ginjal? Karena hati bukan ginjal yang ada dua dan bisa dibagi. Karena hati adalah nyawa yang lebih berharga dari umpatan di jalan raya yang macet, waktu yang mepet untuk sampai ke tempat tujuan, ataupun aspal mulus yang menggoda stang kanan untuk diputar lebih pol. Karena nyawa yang dibahas di sini lebih mahal dari nyawa HP (hit point) atau MP (magic point) yang ada di game, nyawa ini tidak bisa di-restore. Cupu emang. Gue juga nggak ngerti, walaupun sudah hampir sekarat dan hidup lagi berkat ginjal dari Priscilla, gue nggak pernah merasa ada salah apa-apa kalau ngebut di jalanan. Udah biasa, semua orang juga begitu. Terbiasa ngebut, terbiasa maki-maki, terbiasa ngambil jalan busway, nyalip bus dan mobil, apa sih salahnya? Hidup di Jakarta memang keras, men, semua dituntut serba cepat.

            “Hati-hati, ya!” suara itu lagi-lagi menggema di pikiran gue. Gue rasa helm ini dipakein perekam suara, deh. Gue bergidik sambil mengingat-ingat lagi, nyawa manusia memang nggak bisa di-restore kayak di game, tapi setidaknya gue bisa pake skill supaya nggak cepet-cepet amat ko’it nya. setidaknya menghargai usaha Priscilla yang udah repot-repot manggil Oma-nya ke rumah gue. Gue meringsek ke depan sambil meraih kotak yang tadinya berisi helm, masih ada secarik kertas di dalamnya. Gue hampir jejingkrakan dan salto ketika melihat tulisan Priscilla: take care, take care of yourself = take care of me.

           Iya, sayang, gue bakal jaga ginjal ini baik-baik, sampe gue bisa menjaga seluruh hidup lu suatu hari nanti. Amin! Dan entah kenapa, helm kuning ini berubah menjadi biasa-biasa aja, nggak norak lagi. Dan entah kenapa, memakai helm di dalam ruangan seperti ini, sendirian, dan (mungkin) ditemani makhluk halus juga jadi biasa-biasa aja. Dan entah kenapa gue yakin, tiap kali gue pake helm ini ke manapun, suara Priscilla yang ‘hati-hati’ akan selalu terngiang di kepala gue.

            Iya, Priscilla, iyaaaaaa.