Wednesday, January 27, 2016

Matahari, bulan dan garis-garis di antaranya. #NyarisPuitis

1. Pernahkah kamu, begitu 'gemes' dengan orang yang terlihat polos,
tidak menginginkan apa-apa?
Orang-orang yang dunianya hanya ada "hitam" dan "putih"


2. Ada pula manusia yang masuk terlalu dalam,
percaya bahwa ia berdiam di dunia yang kejam
Bagi orang-orang yang dunianya hanya ada "hitam" dan "putih"
mereka-mereka ini adalah petaka.


3. Dan ya,
sayangnya mereka hidup di dunia yang sama.


4. Ia takut.


5. Ia juga takut.


6. Namun, apa yang lebih penting daripada
menjaga rasa damai di hati masing-masing?
Persahabatan, kadang bisa jadi jawaban.


7. Apalah manusia ini, 
hanya makhluk bernafas yang...
takut tidak diakui
dan
takut kesepian.



Monday, January 25, 2016

Sarah Kay & Phil Kaye in Jakarta! (A Night for Spoken Word - Project Voice)

"When love arrives, say, 
welcome, make yourself comfortable."

It was about one year ago, my best friend showed me their show in Youtube and it took no effort to fall in love with 'When Love Arrives.' Performing Spoken word, Sarah Kay and Phil Kaye translated their connectivity in a weird way, but beautiful enough to fly butterflies around stomach. I always love how they connect all the coincidences into beautiful lines and precise; punctual meaning. But the nice performance was once forgotten until i met Ayu Meutia performed her spoken words in a writing workshop. Spoken word, turned out to be a way to express feeling with a very personal way, that not-so-poetic, rationally smart, importantly minimalist and yet still left the audience heart-touched.

Sarah Kay and Phil Kaye shared their stories in Goethe Haus, Central Jakarta.

Yeah, i was heart-touched and verrrrrry excited in the same time when Sarah Kay and Phil Kaye finally appeared in front of Indonesian audience. Actually, my very basic reason to watch them is to feel the atmosphere, you know, this kind of show was not the type of 'take-home delivery' as you watch them streaming, it need to be enjoyed in time. So I was so glad to share breathless breaths (of their amazing performance) with all of those ‘weird’ audience that night, sharing the same time and space. And everything, still hanging in the air, i could still hear their voices banging in my head, from bicycle, tire, toothpaste, separation, 24 years old, candy, beach with waves turns to golden, and another stories, another stories. Their voices are still sharp and clear, i barely can hear the particles sprinkle around my fingers, ready to turn them into another writings. 

and yes, it's 'A Light Bulb Symphony.' Signed by The Poet: Phil Kaye!

Eventually, the most interesting part was letting myself being dragged by their continuous-unrelated-too much imagination stories. I was like… voluntarily, willingly plunge to a space where they mix all their fantasies and realities into tens of spoken words, flying here and there without questioning any further. Sometimes, their spoken words are pointless, but i enjoyed to the tiniest bit. Getting carried away, trapped in between, lost in screaming and hand-clapping, out of expectation, melting in how they adorn and torn the sentences… and Phil Kaye definitely cracked me up when he told about how he lost his virginity. Lol!

And i looove how Phil danced, witty! :3

Well, sometimes, dreams are so reachable yet in sight, it was kind of unbelievable to finally meet them in persons. Because the exclusiveness of enjoying this kind of show was they couldn’t be kept by any forms, by any stories… because how they made me feel was priceless and particular! Oh, maybe i could bring home my numb palms because i was clapping too often, my warmer heartbeat and my tired lips because i smiled ear to ear too often. Well, impressive show.



"Thank you for stopping by.”



Sneak a peak their interview with Jakarta Globe, here.

Tuesday, January 19, 2016

Tentang Monster dari Bawah Ranjang. #FaceYourMonster #Cerpen

Bakat menjadi kalong sudah mendarah-daging dalam tubuh Olin sejak ia kecil, Bunda sering menggunakan berbagai macam cara untuk mengajaknya tidur, mulai dari membacakannya dongengyang berakhir dengan pertanyaan membanjir dan ajakan berdebat tentang mengapa Gadis Berkerudung Merah tidak pernah shalat—demikian pula dengan menimangnya sambil mengelus-elus rambutnya, karena Olin akan sangat gampang untuk tertidur dengan cara seperti itu. Cara lain? Bunda akan memarahi Olin dengan sepenuh hati, karena Bunda sudah teramat lelah dengan mata Olin yang tak kunjung terpejam kala lampu-lampu kota sudah padam.

Memarahi Olin adalah cara paling ampuh untuk membuat gadis ini meringkuk di dalam selimut tebalnya, ditambah dengan bumbu "Kalau kamu tidak tidur juga, hati-hati dengan monster dari bawah ranjang yang akan menerkammu!" Lengkap dengan deskripsi monster tersebut: taring yang mengilat, senyum yang penuh kepura-puraan, kurus ceking—kulit tipisnya yang bersisik dan berlendir hijau hanya berfungsi melapisi tulang di tubuhnya, yang bisa patah kapan saja. Tapi jangan salah, sekali monster ini berhasil menangkap salah satu bagian tubuh dari manusia manapun, seketika manusia itu akan menjadi seperti rupa si monster. Sama persis! Dengan cara itu, Bunda bisa tersenyum tenang sambil melirik jam dinding, pukul 11 dan Olin yang mendengkur halus, misi Bunda untuk hari itu akhirnya selesai juga.

Sampai Olin dewasa, ia tetap mencintai statusnya sebagai kalong. Menjadi desainer in house di sebuah agensi periklanan mengharuskan ia tetap terjaga di tengah malam buta, kadang dengan minuman isotonik dengan label kesehatan. Sambil bersandar di ujung ranjangnya, kaki yang berselonjor, laptop di pangkuan dan tirai jendela yang menari malas terkena angin malam. Ia sering tertidur ketika hampir subuh dengan jendela yang terbuka, karena ia takut ketika kakinya menyentuh lantai saat hendak menutup jendela, kakinya akan ditarik monster dari kolong ranjang. Tangan monster yang berlendir hijau dan bersisik akan menggenggam kuat pergelangan kaki Olin, sambil menggeram halus, Olin akan terseret masuk ke dalam kolong ranjang sambil meronta-ronta, mengikis lantai dengan kuku-kuku dan keberaniannya yang tersisa. Persis seperti film horor Jepang! Hiiiy! Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk berdisko! Makanya, Olin memutuskan untuk bersembunyi saja di balik selimut tebalnya, berhemat menggunakan oksigen secukupnya. Inilah rutinitasnya sejak kecil.

Kadang, khayalan Olin suka mengawang di langit-langit kamarnya sendiri. Tentang desainnya yang lebih banyak ditolak klien dan pertimbangan untuk loncat ke perusahaan lain yang lebih menghargainya, tentang Patrick yang sepertinya tertarik padanya tapi lebih tertarik dengan hobi otomotifnya, tentang orangtuanya yang mewanti-wanti Olin untuk tidak memutuskan hal yang 'abnormal' yang bisa mendadak dilakukannya: pergi ke bar bersama teman yang baru dikenalnya dari tempat ibadah, traveling ke pulau Buru di Maluku bersama teman-teman sekantor karena ia percaya di sana ada alien, menjual seluruh buku referensi desainnya untuk menyewa truk berwarna pink cerah supaya ia bisa menjual es krim keliling, dan... ide-ide absurd lainnya. 

Kadang mimpi-mimpi absurd itu bercampur dengan bagaimana jika ternyata di bar ada cicak yang berenang di gelas bir-nya, bagaimana kalau alien itu ternyata memiliki rupa yang sama dengan monster di bawah ranjang atau pembunuh berdarah dingin yang sudah lama mengincarnya itu akan menyekapnya di siang bolong ketika ia sedang berjualan es krim. Lama-lama, Olin capek hidup dalam khayalannya sendiri!
"Bunda, apa benar ada monster di bawah ranjangku?" 
Tentu saja pertanyaan ini tidak pernah sampai ke telinga Bunda, atau Olin akan mendekam di Rumah Sakit Jiwa. Tapi, setiap malam, di depan cermin, Olin selalu menanyakan pertanyaan yang sama. Yang sama. Yang sama. Yang sama. Sampai semua hanya seperti gaung-gaung yang menggantung di udara. Sampai-sampai ia sampai pada jawaban, bahwa monster di bawah ranjang sudah menjelma menjadi cicak di gelas bir, wajah alien, pembunuh berdarah dingin, ketidakpastiannya terhadap Patrick, hasil-hasil desain yang ditolak dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain!

Malam itu, Olin mendengar suara berderak dari bawah ranjangnya.
"Semakin lama kau berlari, semakin besar pula ketakutanmu, sampai akhirnya kau sudah tak punya keberanian untuk menghadapinya lagi."
Your monster, your... face?

"Bunda, apa benar ada monster di bawah ranjangku?"

Bunda tak berhak menjawab pertanyaan ini lagi. Karena, Olin bertanggungjawab atas kamar Olin sendiri.

Olin mengambil sapu di samping wastafel nya, mengendap-endap menuju ranjangnya sendiri.



-----
Credits:
Cerpen ini ditulis karena begitu tersentil dengan tutur seorang Adriano Qolbi,  stand-up comedian yang awalnya saya pikir hanya bisa membahas hal-hal dangkal yang mengocok perut. Tapi, yang ini bermakna. Terutama di bagian monster, pelarian, musik, menjadi lebih 'cuek'—dan hal-hal absurd lainnya. Well, i like the way you laugh (even laughing at yourself, lol). Terima kasih, ya. 

Juga kepada The Lovely Mas Adjie Silarus yang membuka kesempatan, untuk saling menemukan kesempatan di Sane Step. Terima kasih, ya.

Tuesday, January 12, 2016

Sepotong pizza dan kebiasaan yang belum padam. #Cerpen

Hari ini gue kepingin memesan pizza, seloyang, tapi yang tidak ada daging sapinya. 
Gue akan memakannya sendiri, iya, iya, gue jamin bakalan habis, kok. Lalu, kalau elu tanya, mengapa harus pizza dan bukan roti goreng, gue sudah tahu gue harus menjawab apa. Merayakan kesedihan. Ingat Sadness dalam film Inside Out itu? Iya, iya, seperti itu. Kesedihan kadang-kadang perlu dirayakan, sampai di titik tertentu, sedih melebur begitu saja, menguap entah jadi apa. Di situ, pelan-pelan gue akan tersadar. Perasaan ini bukan semata-mata kesedihan. 
Ini kangen.

Komala, gue kangen. 



***

“Aku suka pizza, jenis apa saja!” gue inget waktu itu mulut lu berdecap, suara lu nyaring dan cempreng, minta ditempeleng.

“Alasannya? Kamu tanya alasannya? Simpel! Karena…. Pizza itu dari Prancis!” suara lu yang cempreng itu terdengar begitu pongah, gue sudah tidak akan terjebak lagi—gue tidak akan terperangah dengan segala yang lu bacotin.

“Oh iya! Dari Italia, maksudnya. Namanya juga suka. Kadang, suka sesuatu bikin kita jadi salting dan bego. Kadang, suka sesuatu itu juga nggak mengenal alasan, kan?” mata lu yang belo itu membesar, ekspresi lu benar-benar menyebalkan, seperti mencari ‘teman’ supaya tidak dipersalahkan sendirian, apalagi kalau hanya tentang perkara asal muasal pizza dari Italia dan bukan dari Prancis.

Italia, adalah Negara impian seorang akuntan seperti gue ini, yang sudah bekerja 4 tahun di kantor yang sama tanpa pernah mengeluh, membantu setiap karyawan yang membutuhkan pertolongan tanpa pernah merasa dimanfaatkan, dengan mata yang selalu dipenuhi bara setiap kali ada rapat dan dikasih pekerjaan. Sepanjang perjalanan karir semenjak lulus kuliah hanyalah mengabdi pada satu perusahaan, di sinilah gue berada dan bertemu Komala.

“Pesen pizza, gih!” lu berseru dari cubicle sebelah.

Di kantor ini, pizza sangat identik dengan perayaan. Perayaan ulangtahun, naik gaji, naik jabatan atau sekedar merayakan deadline yang berhasil di skip. Tapi kali ini, entah kenapa rasanya gue ingin meledak, gue ingin memarahi operator di seberang yang suaranya terdengar sok akrab, gue ingin pizza itu tidak sampai dalam kurun 30 menit, kalau perlu tidak perlu sampai sekalian. Persetan kalau lu harus marah-marah sambil mengelus perut lu, kemudian mengucapkan jenis-jenis topping seperti merapal mantra, dengan gaya lu yang persis seperti pendongeng ulung.

Ah, rasanya gue benar-benar tidak ingin merayakan apapun lagi dengan pizza. 
Muak. 
Rasa muak ini tidak semuak ketika gue pertama kali ketemu elu dan senyum lu yang penuh kepura-puraan itu, tidak semuak ketika lu merampas jatah roti goreng gue ketika kita dibelikan Bos, tidak semuak… ketika akhirnya gue malah mulai terbiasa makan bekal di pantry sambil memelototi elu menghabiskan sayur bayam yang menjadi menu utama. Katanya, elu sudah makan bayam sejak kecil, setiap hari, mungkin sejenis keterikatan jodoh dengan tumbuh-tumbuhan.

“Kalau pizza dengan topping bayam, ada yang mau invent nggak, ya?” Lu muncul, tepat setelah gue mematikan pesawat telepon dengan operator. Suara lu terdengar begitu ringan, sepertinya tidak ingin memberat-beratkan keputusan ini.

“Kalaupun akhirnya ada topping bayam, mungkin itu typo. Maksudnya, topping ayam, keleus.” gue balas mencecar lu.

Mendengar jawaban gue, lu hanya bisa menggertakkan gigi dengan gemas sambil menggaruk-garuk lengan gue, “Iiiih! Siapa tau beneran, kan bayam itu bergiziiii….” Kemudian lu mulai mencerocos lagi, satu-satunya yang bisa menyelamatkan kondisi seperti ini hanyalah… sinetron tentang Hello Kitty yang katanya perebut suami orang itu. Dasar emak-emak drama! Seheboh apapun lu mendramatisir segala-galanya, bahkan sampai lu membuat gue terpingkal-pingkal, ternyata gue masih bisa merayakan rindu seperti ini.

Manusia, adalah makhluk yang sangat mudah beradaptasi. 
Kadang gue pikir, sekalipun hal yang paling berat; perpisahan paling telak sekalipun, akan bisa kita hadapi. Di samping tidak ada pilihan lain, waktu pun akan merubah semuanya.
Bukan waktu, tapi kemampuan manusia beradaptasi. Pemberian semesta ini, begitu berharga, karena semua akan terjalin kembali melalui kebiasaan.

Seperti lu yang nantinya akan terbiasa makan pizza dibandingkan makan nasi. Terbiasa minum coke setelah makan pizza, dan bukan air putih. Sampai-sampai, terbiasa memesan pizza… untuk sebuah perayaan.

Seperti gue yang akan pelan-pelan terbiasa makan siang di pantry sendirian. Terbiasa mengambil satu gelas besar air putih untuk membasuh tangan sebelum shalat. Sampai-sampai, terbiasa memesan pizza… untuk sebuah perayaan perpisahan resign sudah bukan hal yang membuat sedih lagi.

Bagaimanapun, rindu itu tetap ada. 
Rindu masih tetap seperti bayangan sepatu dengan size yang pas tapi tak sempat terbeli ketika sale, lalu hilang dari peredaran begitu saja, sehingga lu terus-menerus memikirkannya… kadang-kadang. 

Rindu pun lihai bermain petak umpet, ia hanya datang di saat-saat kau merasa sedikit terpuruk dan butuh sedikit pukpuk, sambil berandai-andai alangkah menenangkannya bila orang itu ada di sini dengan segala petuah dan omelan yang menyebalkan sekaligus membangun sekaligus menyentuh sekaligus ngangenin. 

Gue kangen, Komala. Gue kangen.  

Untung saja, kenangan abadi. Serpih-serpihnya masih rapih, masih bisa menyalakan kobar untuk berjuang, secara independen, tidak lagi bergelantungan seperti monyet karena takut dianggap lemah.

Tapi, kali ini, biarkan gue sejenak menjadi cengeng, lalu mengakui bahwa saat-saat seperti ini, gue rindu sekali sama omelan lu.


***

Beberapa partikel dalam #Cerpen ini, nyata.

Tuesday, January 5, 2016

Sinopsis Go Lala Go 2: Satu-satunya yang bisa kamu miliki hanyalah pekerjaan?

Spoiler dulu nih ya, guys:
Oke, ini (lagi-lagi) merupakan review film yang sangat subjektif karena saya memang nge-fans banget sama Ariel Lin. Setelah penampilan terakhir Ariel Lin dalam drama seri In Time with You (我可能不会爱你) tahun 2012 lalu, saya pun bertanya-tanya, apa mungkin Ariel Lin akan berduet bareng Chen Bolin, menciptakan chemistry yang sama akrabnya dengan kisah 'persahabatan' antara Cheng Youqing - Li Daren? 



Go Lala Go 2 (杜拉拉追婚记) merupakan sekuel dari Go Lala Go (杜拉拉升职记) dengan konsep yang tidak jauh berbeda: wanita independen yang berusaha menyeimbangkan kehidupan karir dan cinta. Bila di film pertama, karakter Lala sebagai staf yang mengejar karirnya dengan semangat penuh hingga akhirnya berhasil naik pangkat (serta - as always - berhasil menggaet Bos yang ganteng itu), sekuel Go Lala Go 2 lebih berfokus pada "what's next after your career seems like more settled, but you know you have to reach more?" 

Diperankan oleh orang yang berbeda dari versi film pertama, kali ini bukan hanya jenjang karir lebih tinggi yang menjadi target Lala, namun juga masalah klasik tiap wanita di usia 30an: 'jenjang status' pun harus dipastikan. Menyorot fenomena pasangan belum menikah yang tinggal satu atap, Lala dan pacarnya, David (diperankan oleh... Vic Zhou! Horeee!) menjalani hubungan yang terlihat baik-baik saja. Lala dengan semangat ngantor yang membara dan terkadang suka terbawa emosi selalu bisa diimbangi David si fotografer yang artsy dan santai, mengajaknya bermimpi dan travelling. Namun, David tidak pernah ingin membahas tentang pernikahan, yang akhirnya selalu menjadi sebab tersulutnya pertengkaran. Di sisi lain, untuk mempertahankan karirnya, Lala terpaksa berpura-pura menjadi Vice President, mengurusi pekerjaan yang bukan merupakan area of expertise-nya sebagai HR dan... as expected, Lala pun tidak bisa menolak Stanley (diperankan Chen Bolin), business partner potensial untuk perusahaan mereka yang terlihat jelas tertarik banget sama Lala.


Sekilas, daya tarik film ini memang hanya bertumpu pada jam terbang dan penampilan tiga karakter utamanya: Ariel Lin, Vic Zhou dan Chen Bolin, ditambah personil girlband korea, Nana After School yang membuat film ini semakin 'kekinian.' Soundtrack film ini nggak kalah greget, dinyanyikan oleh Hebe Tien [姐 Pretty Woman] dan Yoga Lin [如果我变成一首歌 If I Were a Song].

Lalu, apa menariknya film ini sehingga bisa menjadi bermakna?

* Manusia tidak bisa betul-betul menjadi dewasa. Ada beberapa hal yang seringkali kita pikir akan bisa kita selesaikan seiring bertambahnya usia. Contohnya, setelah tumbuh dewasa, kita pasti akan lebih mudah mengambil keputusan dan lebih bijaksana dalam menghadapi tantangan. Namun, Lala juga tidak bisa mengontrol kecemburuannya dan rasa tersaingi, ketika pacarnya memperhatikan cewek yang lebih muda; yang jelas-jelas menunjukkan ketertarikan terhadap pacarnya ini. Yes, she is not really jealous, but the feeling of competition just pissed her off. Demikian pula, ketika cewek muda ini menjadi asisten di kantornya, mengerjakan pekerjaan dengan cara yang lebih santai dan nyeleneh (bahkan sampai main Candy Crush di jam kantor!), tapi tetap dikagumi oleh atasannya.

Pelajaran moral? Setiap saatnya, semua hal berubah, tidak semua hal bisa dilakukan dengan cara yang sama. Seperti perbincangan santai ini:



Lala: "Kamu ini gadis yang cerdas, jadi tak perlu bersaing dengan cara seperti itu untuk dipromosikan. Selama kamu bekerja keras, kamu pasti akan mendapatkan hasil yang layak."
Shan shan: "Di sini, saya mau bekerja, bukan mencari teman. Saya mau, dalam waktu setahun, saya bisa menduduki posisi kamu sekarang, bukan lima tahun. Tahun depan, di tanggal ini, saya akan mendapatkan semua yang kamu punya sekarang." 

* Masalah wanita selalu berkaitan dengan ketidakpastian; masalah pria selalu berkaitan dengan ketidaksiapan. Di setiap kesempatan, Lala selalu mendesak David untuk segera menikahinya, sedangkan David selalu 'nanti-dulu-deh' dan berfokus mematangkan karirnya, dengan harapan tidak lagi bergantung dengan pendapatan Lala yang lebih tinggi. Lalu, kapan rasa ketidakpastian dan kesiapan sampai di titik temu? 


Lala: "Kamu adalah David, kamu dan kesombonganmu." 
David: "Kamu juga, Lala. Lala yang dipenuhi desakan." 
Lala: "Aku kira kamu tidak mengerti." 
David: "Aku kira kamu tidak akan berubah."




Karena ketidakpastian yang dibangun Lala begitu megah, ia pun menjadi sama bingungnya ketika Stanley mengungkapkan kekagumannya pada Lala. Kalau memang pernikahan dan kepastian yang Lala mau, ia bisa langsung menjalaninya dengan Stanley. Bukankah begitu?



jarang-jarang lihat Chen Bolin ganteng-bandel begini :3

* Sama seperti film romantic comedy yang diusung pada umumnya, apalagi dengan setting pekerja kantoran dan suasana kota metropolitan, saya suka dengan konsistensi penggambaran 'wanita sebaiknya menjadi cinderella setiap hari,' yang selalu menitikberatkan bahwa penampilan adalah kartu nama bagi setiap wanita. And of course, i love Lala's red lipstick and her (particular) outfits! 

Overall, film ini cukup manis dengan ending yang hangat, sederhana walaupun kurang rapih, tapi cukup menyegarkan pikiran, seperti minum susu cokelat hangat sebelum tidur. 

Eye candy? Yes, of course!

Waktu kecil,
ada satu kisah tentang seorang gadis kecil yang diberi hadiah sepatu.
Sepatu itu sangat indah, gadis kecil itu memakainya dan menari,
mendapat banyak pujian. 
Namun, semakin ia menari, 
sepatu itu seperti dipasangi sihir, 
ia tak bisa berhenti!
Sehingga, yang bisa ia lakukan hanyalah menari... dan terus menari.
-Go Lala Go 2.