Wednesday, May 6, 2015

Dee - I See Story

“I see story.”

Ungkapan-ungkapan yang berlimpah dari Dee berhasil ‘menampar’ saya, sekaligus membuat saya merinding.

Well, i do see story. 
But, where are they now? 

Mungkin, saya meninggalkan ide-ide yang bertamu hingga debuan, dan jarang saya terjemahkan menjadi cerita.

Bertemu dan berguru dengan Dee, sosok yang begitu senior di dunia penulisan—serta penulis lokal yang paling saya kagumi, tentu saja sukses bikin saya kebat-kebit. Saya bersyukur bisa menjadi salah satu ‘kelinci percobaan’ dalam Coaching Clinic ini, selayak mendengar orkestra live dari maestro-nya, yang biasa hanya bisa saya dengar dari radio! 

Sama halnya dengan alasan mengapa saya ingin mengikuti Coaching Clinic: mempelajari bijaksana dari Dee, saya berhasil menemukannya, mulai dari “Mengapa seorang Dee menulis?” dan “Apa yang Dee lakukan dengan cerita-ceritanya?” semua terjawab walau saya tak sempat mengacungkan tangan di forum yang ramai dengan rasa penasaran itu.

Dee mulai dengan "kalian semua akan jadi kelinci percobaan. Kalau mau kabur juga udah terlambat.
Panitia! Tutup pintunya!" #dengansenyumjahat
Ya elah, Mbak Dee, kami terlalu males untuk berusaha kabur #dudukmanis #ketawatawa 

Dee menulis, untuk dirinya sendiri. Karena masih banyak buku yang ingin ia baca. So, she writes to read. Satu hal yang bikin saya merasa ia begitu spesial adalah Dee yang belajar menulis secara otodidak juga, berhasil mengeluarkan novel pertamanya di usia 25 tahun, which is untuk menjadi sukses seperti sekarang pun, ia butuh waktu yang puanjaaang, meeeeen!

Petuah-petuah dari Mak Suri yang menjadi guru menulis kita selama setengah hari itu saya rangkum menjadi poin di bawah ini:
  • Deskripsikan ceritamu dengan cara dicicil. Biarkan pembaca mengenal karaktermu pelan-pelan, layaknya persahabatan yang dikenal perlahan.
  • Sebelum itu, tentu saja kamu sendiri yang harus mengenal baik karakter-karaktermu sendiri. Setelah kenal, barulah kamu perkenalkan dengan pembacamu. Pikirkan nama karakter dengan serius, enak didengar, pokoknya seperti kasih nama anak. Tahu zodiak, hobi, cita-cita dari karakter tersebut. I think, that’s the most brilliant way to create your characters and make them alive. Menghidupkan karakter, awalnya penulis sendiri harus yakin dulu.
  • Menulis dengan bumbu yang pas, tidak berlebihan dengan metafora—kecuali kalau tulisanmu pendek. Formulanya: just right. Pelan-pelan, kamu akan tahu sendiri. So, for me, writing is also an experience. You feel it, just feel it. Perasaan yang sangat pribadi dan mengenal diri sendiri lebih dalam lagi—dengan mempersilahkan ide-ide untuk masuk dari dirimu.
  • Tulisan Dee, membuat pembaca seperti bisa merasakan suara dari tiap tokohnya. Ada jiwa dalam tiap karakternya. Dee menyarankan kita untuk membaca ulang tulisan kita KERAS-KERAS, kalau terdengar seperti satu suara—yaitu suara penulisnya sendiri—berarti ada yang salah di sana.
  • Dee juga menekankan pentingnya premis dalam menulis. Cerita apa yang ingin kamu baca? Tentang apa? Fiksi, non-fiksi? Berapa halaman? Kapan selesainya? Penerbitnya? Jawab sendiri pertanyaan-pertanyaan ini, karena premis bagaikan DNA—harapan yang kamu berikan pada para pembacamu kelak. Oke, ini menampar.
  • Disiplin juga merupakan kunci penting berikutnya. Tidak harus lebai mesti menulis tiap hari—penulis bukan mesin. Tentukan waktu kerja dan waktu libur kita, hitung berapa halaman efektif setiap hari kerjanya dan taati. Menulis pun butuh jeda, tidak bisa kerja setiap hari. Namun, penting untuk membuat deadline, sebagai alat untuk penulis. Agar kereta kencana yang mengawang-awang di khayalan kita bisa menjadi sesuatu yang nyata di alam nyata: entah itu bajaj, bus, pokoknya bisa jalan dan maju! Oke, menampar!
Dee dan corat-coretnya: ibarat dosen canggih. Mahasiswa kagak ngantuk!
  • Dari Coaching Clinic hari itu, saya juga menyadari kalau Dee adalah pengkhayal kelas kakap, pokoknya kalau ibarat Mafia Hongkong, Dee sudah kelas big boss. Bedanya, Dee mempersilakan dirinya untuk dicari ide. Untuk dicari nafkah #eh. Dee mengatur idenya dengan mencatat semua ide yang muncul, dan menuliskannya sesuai dengan skema cerita yang sudah ia bangun. Membuat idenya mengantri. Equal relationship dengan ide, terbukti dari pertanyaan seorang peserta, “Saya suka ngga bisa tidur kalau tiba-tiba banyak ide sebelum tidur.” Jangan jadi budak ide. Catat. Recognize them.
  • Membuat mind map. Bagian mana twist-nya? Bagian mana yang paling ingin dikenang? Itulah sebabnya, Dee membuat Skenario 3 Babak: Karakter berada di status quo, adanya calon-calon konflik di mana karakter dipaksa keluar dari zona nyaman, terjadinya hal-hal tak diinginkan sampai akhirnya karakter menemukan solusi. Ini memang tak asing lagi bagi penulis, untuk membuat 3 babak ini hidup, catatlah adegan-adegan yang tiba-tiba kepikiran, sifat dari karakter-karakter beserta latar belakang mereka dalam format mind map. Itu akan memudahkan kita.
  • Buatlah karakter yang berpikir. Bukan penulis yang berpikir.
  • Menulis seperti menggali permata. Awal-awal hanya terlihat lumpur. It’s okay. Naskah pertama. Segala kekurangan. Just embrace it. Namun, jangan berhenti menulis karena kita tak akan pernah tahu kapan akan terjadi.
  • Story is the boss. Dari cerita, membentuk karakter-karakter. Misalkan dalam Gelombang, Dee ingin bercerita tentang Mimpi. Alfa ‘diisi’ dengan karakter yang seorang perantau yang pekerja keras, sehingga ia bisa tahan cobaan untuk ‘mencapai’ makna dari mimpinya itu.
Dengan mengalami event ini, saya merasa mimpi saya menjadi lebih dekat. Dee juga selalu menekankan kita untuk punya conviction, tahu pasti apa yang ingin kita tulis, apa yang ingin kita baca, apa yang kita suka. Menulis pun bukan untuk alter ego, bila ada kemiripan pun, itu hanyalah serpihan dari diri penulisnya, bukan penulisnya itu sendiri. Menulis adalah seni, rasa yang dimiliki tiap individu—entah ketika menulis atau kelak membacanya. Setiap seniman, hidup di dua dunia: dunia ide dan dunia manusia.

Terima kasih untuk cerita 'kompartemen' nya, Mbak Dee.
For me, it's mean a lot.
As i always believe in, hug is a way to transferring energy and blessing.
And, Mak Suri... is warm.
Thank you Pak Edy from Bank Indonesia - you freeze the precious moment!
Karena hidup manusia begitu ricuh dengan logika, maka manusia pun butuh kisah-kisah indah. Bukan untuk membius, bukan pula untuk lari dari kenyataan. Jauh dari itu semua, nilai-nilai yang patut manusia pegang dan perjuangkan. Untuk utuh dan hidup sepenuhnya. Oleh karena itu, penulis cerita, story teller hadir di tengah-tengahnya. Oleh karena itu, kalangan manusia butuh seniman; butuh alien. Alien yang mungkin berwujud seperti manusia, kadang-kadang.

Oleh karena itu, saya menulis.

Terima kasih, Dee. Saya telah temukan alasan saya menulis, yang sudah menunggu lama untuk ditemukan. I write for value, for meaning, either from myself or everything around, and i let the reader tastes it personally.

Begitu banyak hal yang begitu pribadi, dan pembaca layak merayakannya dengan bebas. Interpretasi. Seperti halnya pembaca Dee yang kecewa Bukit Jambul dan Kopi Tiwus itu fiktif; seperti halnya saya yang terkagum-kagum dengan sifat Alfa Sagala, sama dengan pembaca-pembaca Dee lainnya.

Terima kasih, Dee, si penunjuk jalan. Agar penulis lain tidak jatuh di salah yang sama, agar penulis seperti kita bisa mengeksplor diri lebih kaya lagi, semoga lahir penulis-penulis muda yang siap berjaya dalam misteri dan galaksi!
#abaikankalimatterakhir
#selamatmenulis!


Foto bersama sebelum kelas dimulai!
Tebak siapa bintang tamu kece?? Trinity, Amrazing, Jenny Jusuf! I am soooo lucky!!
last but not least, ini surat cinta untuk Mak Suri yang diselipkan ke novel saya
yang masih self-published.
Dengan harapan, semoga suatu ketika bisa sehebat Dee. *fingercrossed* #blessme

No comments: