Tuesday, August 18, 2015

Saya gagal menjadi orang gagal.

Saya terlalu banyak berpikir. Kepala memang tidak pecah, namun segalanya terbelah. 
Antah berantah. 
Apakah ini yang benar, apakah itu yang benar, ataukah sebenarnya tidak ada yang benar-benar benar dan tidak ada pula yang benar-benar tidak benar. Lalu, apa pula itu benar?

Terlepas dari segalanya, kebenaran mungkin bukan hal penting yang patut diperjuangkan. Di atas segalanya, saya mengandalkan hati. Hati tahu segala yang perlu tindaklanjut ketika tidak sedang teraduk emosi. Hati tahu jalan apa yang bisa dilewati ketika segala pikir sedang berkecamuk.

Dan hati saya, sekarang teramat tidak nyaman.

Mengapa sulit menyingkirkan perasaan sesal karena melakukan hal yang sudah tahu tidak tepat? 
Apakah karena di waktu itu tidak tahu bahwa hal itu ternyata tidak tepat? 
Saya benci penyesalan yang datangnya belakangan, walaupun yang datang duluan itu biasanya pendaftaran. 
Saya benci perasaan tidak mampu mengelola perasaan, karena saya tahu saya bisa lebih mampu dengan pengetahuan yang sudah saya pelajari.

Kadang dunia ini lucu, atau saya-nya yang lebih lucu. 
Untuk apa dunia berkata yang tidak benar tentang saya? 
Untuk apa saya menganggap dunia telah berkata hal yang tidak benar tentang saya? 
Lalu, apakah saya berhak melarang dunia beserta seluruh anggapannya? 
Atau, saya berhak dilarang dunia untuk berpikir bahwa dunia telah menganggap saya sedemikian rupa?

Baiklah, mari tidak membuat ini semua rumit dan terus melulu berputar di dimensi dan derajat yang melelahkan.
Sebut saja, saya sedang berpikir. Terlalu memikirkan.

Sudah malam, pikiran kadang mengecoh, kadang terkecoh. Kalau tidur bisa menyelesaikan masalah - atau hanya menunda masalah untuk kelak menghampiri lagi, baiklah. Saya ingin duduk berhadapan dengan pikiran, bertanya apa maunya dan mengapa ia terus mencipta kabut-kabut membubung yang melesakkan segala emosi saya hingga saya terlihat seperti orang tak punya hati lalu melakukan hal bodoh yang semestinya tidak usah capek-capek saya lakukan.

Sini.
Ke sini kau.

Dan hati saya, sekarang teramat sedih.

Pikiran-pikiran menggiring ke janji, komitmen pada diri sendiri lagi-lagi tidak sesuai dengan ekspektasi. Mungkin - lagi-lagi mungkin, saya terlalu banyak berkutat pada kemungkinan yang tak mungkin senyap... Hei, mengapa pula kau bersedih? Apakah karena rasa sesal tercecap seperti membohongi diri sendiri?

Saya hanya ingin hari ini menjadi bermakna, sehingga saya bisa menghadiahkan makna hari ini pada seseorang yang sangat saya hormati yang sedang berulangtahun. Saya sedih, karena saya merasa tak bisa maksimal mempersembahkan sesuatu.  

Hidup yang berani. Saya tak boleh melesak terlalu lama, saya sudah boleh melesat dan kembali bertanggungjawab dengan apapun yang telah saya perbuat, dengan berani.

Hari ini,
saya berkenalan lebih dalam lagi dengan sosok saya yang selalu mengutamakan "saya," dengan sosok peragu yang ingin segera lekat dengan kebenaran sesungguhnya, 
sosok yang berbisik halus di hati, "Jangan paksakan rumput untuk tumbuh. Ia akan tumbuh sendiri." 

Bertumbuh dalam pengalaman apapun yang ada.
Mengalami pertumbuhan apa adanya, tanpa pestisida, tanpa harus meresahkan akan menjadi ilalang atau bunga. 

Bertumbuh, saja.

Saat-saat paling sepi,
sisi-sisi paling sunyi,
kau dapat dengar kicau dari benakmu meracau,
kacau balau yang parau,
dan kau tetap terpukau.
Kau... jatuh hati lagi.

Jakarta, 18 Agustus 2015

No comments: