Friday, October 10, 2014

In the Darkest Time

Kemerdekaan ternyata bisa dicicip dengan rasa lain, di antah berantah yang benar-benar baru, gunung dan pulau, seberang Jakarta. Kemerdekaan tidak berarti segala yang menyenangkan, tapi bertemu kesempatan untuk mencabik segala kesombongan dan kebaikan yang saya pikir telah cukup saya kumpulkan dan saya pamerkan.

Sakit yang mengoyak segala kepercayaan, ketidaknyamanan yang hampir membuat saya gila. Frustasi, karena terkungkung dalam ruang dengan oksigen yang kurang, bagi seekor burung hantu yang gemar berkelana lalu mengeluh lelah... semua bagai neraka. Saya tidak tahu harus bercerita kepada siapa, dan kalaupun saya sudah bercerita kepada teman-teman dekat saya, semua penghiburan mereka akan bertahan sejenak, lalu saya kembali tenggelam lagi dalam emosi yang menghimpit kebebasan untuk bernafas. Ini sebenarnya aneh, bahkan catatan-catatan akan masa berjaya, segala carik motivasi dan kebenaran yang berlembar-lembar, kadang hanya bertahan beberapa jam saja, lalu ketika saya menatap jari saya yang membengkak dan mulai berpusar dalam kekhawatiran... saya terlalu takut untuk menahan tangis dan... entahlah, mari dinamakan dengan emosi negatif.

Seperti bisa mendengar denyut sakitnya, yang kadang seperti mencubit gemas, kadang menggelitik sampai meringis. Saya hanya terus berusaha untuk menjadi waras, bertekad menjaganya sebaik yang saya bisa. Berkat sakit seperti ini, barulah saya benar-benar berhubungan dengan tangan saya, jari saya, tubuh saya. Satu saja bagian kecil yang terluka, ternyata berpengaruh di seluruh hidup saya. Satu utas jari, di tangan kanan, retak tulangnya dan dibebat sampai kaku. Semua demi kesembuhan, semua demi cinta, dan produktivitas. Kini, bekas bebatannya masih sedikit lebam dan bengkak, namun saya sudah bisa mengetik dan menulis dengan normal, setelah hampir dua bulanan menjadi sangat lamban.

Sakit, bisa membawa diri ke pemahaman diri sendiri pada tahap yang lebih dalam. Sakit, memaksa untuk berdamai dengan diri sendiri, lalu mencintai dan menerimanya apa adanya. Sakit, mendorong untuk melihat segala fenomena seperti adanya, hadir bersama rasa sakit dengan tulus, karena... tidak ada lagi yang bisa diupayakan, selain menerima.

Pelajaran dahsyat bagi saya, setelah bersenang-senang dan huru-hara dengan segala kebaikan yang selalu saya terima; hingga terperanjat ketika terseret dalam ketidakberdayaan. Tiada yang bisa dilakukan, selain menerima bahwa saya pernah sangat sombong, bahwa saya masih terus harus belajar, untuk menjadi tulus dan bersabar... pada diri sendiri, pada keadaan, pada pengalaman dan semua orang.

Menangislah, agar terus kuat.

Lalu berpalinglah dari sosok yang berpaling dari sinar mentari, lalu dengan keyakinan yang telah susah payah dipungut, jadilah percaya diri.

Dan sadar sepenuhnya, bahwa tidak ada yang tidak bisa dihadapi.

In the mean time,
when all my thoughts sink into negativity and lost hopes,
thank you for each occasions that made me realize how lucky i am. 

In the darkest moment,
i realized that it just me who turned aside from the sunshine.
And for every second of struggling with insanity,
i'm thankful for (still) embracing my inner peace inside my heart
... and still counting.


Rise.
Like the Sun.

Lalu,
bagaimana cara menghadapi segala ketidakberdayaan?
Menjadi bersyukur, dan melihat segala yang datang sebagai berkah, manusia-manusia yang membantu pertumbuhan, dan mengulurkan segala bantuan yang diperlukan.

Sulit memang, tapi setidaknya, akan ada lega di sela-sela sesak.

Mungkin itulah alasan, mengapa hati sebaiknya senantiasa terbuka, setiap saatnya.

No comments: