Tuesday, January 12, 2016

Sepotong pizza dan kebiasaan yang belum padam. #Cerpen

Hari ini gue kepingin memesan pizza, seloyang, tapi yang tidak ada daging sapinya. 
Gue akan memakannya sendiri, iya, iya, gue jamin bakalan habis, kok. Lalu, kalau elu tanya, mengapa harus pizza dan bukan roti goreng, gue sudah tahu gue harus menjawab apa. Merayakan kesedihan. Ingat Sadness dalam film Inside Out itu? Iya, iya, seperti itu. Kesedihan kadang-kadang perlu dirayakan, sampai di titik tertentu, sedih melebur begitu saja, menguap entah jadi apa. Di situ, pelan-pelan gue akan tersadar. Perasaan ini bukan semata-mata kesedihan. 
Ini kangen.

Komala, gue kangen. 



***

“Aku suka pizza, jenis apa saja!” gue inget waktu itu mulut lu berdecap, suara lu nyaring dan cempreng, minta ditempeleng.

“Alasannya? Kamu tanya alasannya? Simpel! Karena…. Pizza itu dari Prancis!” suara lu yang cempreng itu terdengar begitu pongah, gue sudah tidak akan terjebak lagi—gue tidak akan terperangah dengan segala yang lu bacotin.

“Oh iya! Dari Italia, maksudnya. Namanya juga suka. Kadang, suka sesuatu bikin kita jadi salting dan bego. Kadang, suka sesuatu itu juga nggak mengenal alasan, kan?” mata lu yang belo itu membesar, ekspresi lu benar-benar menyebalkan, seperti mencari ‘teman’ supaya tidak dipersalahkan sendirian, apalagi kalau hanya tentang perkara asal muasal pizza dari Italia dan bukan dari Prancis.

Italia, adalah Negara impian seorang akuntan seperti gue ini, yang sudah bekerja 4 tahun di kantor yang sama tanpa pernah mengeluh, membantu setiap karyawan yang membutuhkan pertolongan tanpa pernah merasa dimanfaatkan, dengan mata yang selalu dipenuhi bara setiap kali ada rapat dan dikasih pekerjaan. Sepanjang perjalanan karir semenjak lulus kuliah hanyalah mengabdi pada satu perusahaan, di sinilah gue berada dan bertemu Komala.

“Pesen pizza, gih!” lu berseru dari cubicle sebelah.

Di kantor ini, pizza sangat identik dengan perayaan. Perayaan ulangtahun, naik gaji, naik jabatan atau sekedar merayakan deadline yang berhasil di skip. Tapi kali ini, entah kenapa rasanya gue ingin meledak, gue ingin memarahi operator di seberang yang suaranya terdengar sok akrab, gue ingin pizza itu tidak sampai dalam kurun 30 menit, kalau perlu tidak perlu sampai sekalian. Persetan kalau lu harus marah-marah sambil mengelus perut lu, kemudian mengucapkan jenis-jenis topping seperti merapal mantra, dengan gaya lu yang persis seperti pendongeng ulung.

Ah, rasanya gue benar-benar tidak ingin merayakan apapun lagi dengan pizza. 
Muak. 
Rasa muak ini tidak semuak ketika gue pertama kali ketemu elu dan senyum lu yang penuh kepura-puraan itu, tidak semuak ketika lu merampas jatah roti goreng gue ketika kita dibelikan Bos, tidak semuak… ketika akhirnya gue malah mulai terbiasa makan bekal di pantry sambil memelototi elu menghabiskan sayur bayam yang menjadi menu utama. Katanya, elu sudah makan bayam sejak kecil, setiap hari, mungkin sejenis keterikatan jodoh dengan tumbuh-tumbuhan.

“Kalau pizza dengan topping bayam, ada yang mau invent nggak, ya?” Lu muncul, tepat setelah gue mematikan pesawat telepon dengan operator. Suara lu terdengar begitu ringan, sepertinya tidak ingin memberat-beratkan keputusan ini.

“Kalaupun akhirnya ada topping bayam, mungkin itu typo. Maksudnya, topping ayam, keleus.” gue balas mencecar lu.

Mendengar jawaban gue, lu hanya bisa menggertakkan gigi dengan gemas sambil menggaruk-garuk lengan gue, “Iiiih! Siapa tau beneran, kan bayam itu bergiziiii….” Kemudian lu mulai mencerocos lagi, satu-satunya yang bisa menyelamatkan kondisi seperti ini hanyalah… sinetron tentang Hello Kitty yang katanya perebut suami orang itu. Dasar emak-emak drama! Seheboh apapun lu mendramatisir segala-galanya, bahkan sampai lu membuat gue terpingkal-pingkal, ternyata gue masih bisa merayakan rindu seperti ini.

Manusia, adalah makhluk yang sangat mudah beradaptasi. 
Kadang gue pikir, sekalipun hal yang paling berat; perpisahan paling telak sekalipun, akan bisa kita hadapi. Di samping tidak ada pilihan lain, waktu pun akan merubah semuanya.
Bukan waktu, tapi kemampuan manusia beradaptasi. Pemberian semesta ini, begitu berharga, karena semua akan terjalin kembali melalui kebiasaan.

Seperti lu yang nantinya akan terbiasa makan pizza dibandingkan makan nasi. Terbiasa minum coke setelah makan pizza, dan bukan air putih. Sampai-sampai, terbiasa memesan pizza… untuk sebuah perayaan.

Seperti gue yang akan pelan-pelan terbiasa makan siang di pantry sendirian. Terbiasa mengambil satu gelas besar air putih untuk membasuh tangan sebelum shalat. Sampai-sampai, terbiasa memesan pizza… untuk sebuah perayaan perpisahan resign sudah bukan hal yang membuat sedih lagi.

Bagaimanapun, rindu itu tetap ada. 
Rindu masih tetap seperti bayangan sepatu dengan size yang pas tapi tak sempat terbeli ketika sale, lalu hilang dari peredaran begitu saja, sehingga lu terus-menerus memikirkannya… kadang-kadang. 

Rindu pun lihai bermain petak umpet, ia hanya datang di saat-saat kau merasa sedikit terpuruk dan butuh sedikit pukpuk, sambil berandai-andai alangkah menenangkannya bila orang itu ada di sini dengan segala petuah dan omelan yang menyebalkan sekaligus membangun sekaligus menyentuh sekaligus ngangenin. 

Gue kangen, Komala. Gue kangen.  

Untung saja, kenangan abadi. Serpih-serpihnya masih rapih, masih bisa menyalakan kobar untuk berjuang, secara independen, tidak lagi bergelantungan seperti monyet karena takut dianggap lemah.

Tapi, kali ini, biarkan gue sejenak menjadi cengeng, lalu mengakui bahwa saat-saat seperti ini, gue rindu sekali sama omelan lu.


***

Beberapa partikel dalam #Cerpen ini, nyata.