Friday, August 22, 2014

Hari-hari Hebat di Belabar 2014: Mementang Busur Baja Trisakti - Tiga Jalan Satu Sasaran

Setahun sudah, dan ini adalah kali kedua saya mencicip dharma yang praktis nan dalam sambil berpesta dalam hingar-bingar keakraban dan kedamaian. Apa yang saya dapatkan dari Belabar selalu menggelitik hidup saya, dalam skala kecil-kecil yang kadang mengantarkan pada penggugahan sesaat—kadang pada penyesalan pula, dengan anggapan masih kurang optimal dalam memberikan effort dalam hidup ini, namun setelah ditilik ternyata begitu banyak yang tidak disadari sudah berhasil dilakukan dengan baik. Apa yang disampaikan Om pada Belabar kali ini pun rasanya tidak jauh berbeda intinya dengan tahun lalu—setidaknya itu yang saya rasakan di awal, namun lamat-lamat... semua yang terdengar, terlihat sama, membawa ke tingkat pemahaman yang berbeda, ada yang sekedar melengkapkan pemahaman, atau pula yang tertangkap sebagai pengertian yang baru—intinya tetap saja berasa seperti kepala saya ditoyor, untung saja kali ini sudah tidak nyut-nyutan lagi. Hehe.. lebih-lebih pada rasa penasaran yang membuncah, kadang berhasil ditenggelamkan kantuk dan diselamatkan kembali dengan beberapa permen atau sesi cuci muka, mengantarkan pada momen ‘Oh..’, ‘Hah?’ dan ‘Wow!’

“Apakah salah matahari dan bulan, 
bila si buta tidak dapat melihatnya?” 

Awal sekali, Om tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang berakhir dengan tugas menulis surat apresiasi—yang pada akhirnya menggeliatkan compassion yang begitu menyentuh hati. Well, Om is the expert dalam acara ‘ngerjain’ orang sampai menangis bombay—tangis bermakna sejuta yang menggelegak dari dasar hati, yang entah kenapa melahirkan ketulusan yang terenyuh. Saya juga tidak mengerti, semua yang diungkapkan Om sepertinya tidak menjamin apa-apa, namun rasanya segalanya terjamin! Om selalu mengingatkan bahwa segala kejadian yang kita alami dalam hidup ini adalah rentetan pengalaman, tapi bukan berarti setelah mengetahui ini, maka semua akan baik-baik saja. Sakit itu pasti, tapi kita sendiri yang memilih, mau menderita atau tidak? Rasanya seakan terhenyak dari mimpi, kala seseorang membangunkan kita lalu bertanya, “Jadi kamu mau tidur terus, atau ikut berjelajah?” Tidak ada yang menjamin, dalam penjelajahan ini… entah akan terjatuh atau melayang; terkapar atau terpukau… yang jelas, jangan lupa bahwa kita selalu punya kebebasan memilih, untuk in charge terhadap segala yang terjadi. Kebebasan untuk merespon dan bukan lagi bereaksi, dengan mengembangkan atensi dan kepedulian terhadap orang lain.

meditasi pagi yang paling berkesan: open channel, warm heart, dan untuk segalanya... welcome!

Lalu Om mengajak kami memeriksa, mengerik isi sutta-sutta yang awalnya mengernyitkan dahi setiap peserta, mengerutkan kening saat sesi diskusi yang acapkali heboh akan pendapat dan komentar, dan berakhir dengan penjelasan Om yang membuat kami mengangguk pelan—masih dengan jidat yang agak keriting—tak jarang berlanjut sampai ke ruang belakang Baktisala, setelah jam 10 malam! Apalagi setelah topik Amastaka, yang terseret-seret sampai ke dalam mimpi! Masih tercengang, masih terpaku, masih… tidak mempercayai bahwa saya bisa menyentuh dan merasakan amastaka, walaupun hanya sejenak—seperti analogi babi licin, di saat rasanya sudah terpegang, tapi ternyata tidak. Seperti mengerti, namun seperti tidak mengerti pula. Lagi-lagi, itu tidak jadi masalah, imprint sudah tertanam, setidaknya kala segala emosi muncul sampai rasa-rasanya tak tertahankan, saya cukup mengangkat telunjuk ke depan wajah saya sambil menanyakan diri sendiri, "apa ini?", "siapa ini?" lalu ego... sense of i... rontok perlahan. Tidak mudah, bila dilakukan secara berlebihan akan mengancam kejulingan (haha, kidding anyway!), namun efektif untuk membuat kita tenang sejenak, lalu menimbang kembali tindakan yang lebih tepat. Karena amastaka, karena tidak bisa melihat siapa sebenarnya yang dianggap 'saya' ini, saya merasa lebih dekat dengan diri sejati saya. Di saat bersamaan, juga dengan semua yang ada di sekitar... mungkin pula bukan lebih dekat, namun tak berjarak. Dengan begitu, anjuran tentang menjadi bermanfaat bagi orang lain; mengembangkan kepedulian dan cinta kasih tak berbatas menjadi masuk akal. Ah, saya masih tercengang. Banyak pertanyaan yang dulunya menghantam benak saya bertubi-tubi, seakan redam dan jadi sunyi, saya kira mereka pun sudah menemukan 'rumah'-nya.

Kadang saya suka merasa bersalah, mungkin lebih tepatnya gemas dengan cara pikir sendiri. Suasana Belabar ini seakan jadi candu, bertemu dengan Om dan teman-teman yang begitu nyaman, seakan segala kondisi buruk yang selalu kita khawatirkan di luar sana tewas begitu saja. Nyaman, sampai-sampai kami tidak peduli dengan waktu tidur yang sudah berdemo. Hangat, karena dipeluk oleh suara tawa yang berasal dari 3 generasi. Aman, bahkan nyanyian jangkrik dan letupan kembang api yang tiada henti pun terdengar begitu menawan. Bebas, semua teman-teman menunjukkan sisi terbaik mereka—tidak berpura-pura dan apa adanya. Candu yang mungkin menyehatkan, karena menjadi pengingat dan tekad bagi saya, bahwa setelah saya kembali dari Belabar, saya tidak mungkin menjadi orang yang sama lagi dengan saya yang dulu—nyatanya semua memang hanya berupa pengalaman, bukan? Dan kita, punya kapasitas dan pilihan untuk mencipta pengalaman, whatever we want it to be!


belabar kali ini lebih berwarna karena dilukis dengan kehadiran anak-anak,
dan tentu saja tawa riang mereka yang khas!

Belabar membuka banyak sekali kemungkinan tentang apa yang dulunya saya pikir terletak nun jauh di sana. Tentang nibbana, yang berarti keadaan pikiran yang bebas dari lobha (ketertarikan; kelekatan), dosa (penolakan), dan moha (delusi). Sebenarnya, kita seringkali mencicip nibbana berjangka sedetik dua detik, yang sangat cepat menghilang begitu muncul keinginan kita untuk mempertahankan keadaan seperti itu agar berlangsung selamanya. Ini tentu kabar gembira, karena berarti saya bisa 'bikin' kondisi untuk mencicip nibbana, dong! Begitupun dengan magga alias jalan yang ditunjukkan Buddha. Buddha memberitahu cara untuk mengalami nibbana, karena menurut Buddha cara tersebut works for him. Kita pula-lah, yang membuat jalan kita sendiri—balik lagi, karena segalanya adalah first person experience dan kita pun hidup di 'alam' kita sendiri.

"Mendapatkan sesuatu, kehilangan sesuatu, 
mendapat nama baik, nama buruk, 
dicela, dipuji, 
mengalami sukha dan dukha. 
Inilah delapan loka dhamma berpusarnya dunia, 
dan berpusarnya dunia adalah seputar delapan loka dhamma ini."

Sutta Lokavipatti: Berpusarnya Dunia
Dutiyalokadhamma suttam
[Anguttara Nikaya 8.1.1.6]

Saya pernah mendengar, less knowledge is dangerous. Lalu, pengetahuan mengenai hal ini sungguh mengherankan, sekaligus melegakan. Heran karena sutta ini seperti tidak menawarkan jalan keluar, ‘hanya’ memberi tahu apapun sebagaimana adanya, 8 mata angin yang membuat 'alam' kita berputar. Cara menanggulanginya pun cukup sederhana: bila mengalami hal baik, ia tidak mendambakannya; bila mengalami hal buruk, ia tidak menolaknya. Dengan begitu, nibbana bisa dirasakan sekarang dan saat ini juga. Persis seperti bunyi dhammanussati yang sering kita lantunkan: dhamma bisa dirasakan dan dikenali seketika, di sini dan saat ini, secara langsung karena seketika itu pula kita ‘ngeh’ dengan pergolakan batin kita (entah itu adalah pendambaan atau penolakan) serta mengalaminya secara penuh, praktis untuk diterapkan dan dialami oleh mereka yang tahu dan mengerti.

Banyak sekali hal lama yang dialami secara baru, tapi saya senang sekali dengan kata-kata Om setelah penjelasan panjang yang dibungkus dengan, “Now, you know!” Rasanya seperti anak kecil sehabis bermain lumpur seharian, lalu orangtua dengan ringan memandikannya sambil bercerita tentang kisah lumpur dan elemen-elemen di dalamnya, sesekali anak kecil itu mengeluhkan rasa uwek lumpur yang tak sengaja termakan ketika asik melempari gumpalan lumpur ke kepala temannya, atau cacing besar yang membuatnya terlonjak—namun tetap begitu kangen akan hangat kubangan dan tawa teman sepermainan... tunggu, tunggu, ini kisah anak manusia atau anak babi?! Well, terlepas dari kisah yang mendadak lewat di kepala ini, setelah Om ‘memandikan’ kami dengan rentetan pengalamannya (yang menjelma jadi pengalaman kami juga), kami didorong untuk bersenang-senang lagi dalam... lumpur. Haha! Lumpur, kolam cokelat, ruang tak berbatas, apapun! Lagipula, semua itu tergantung bagaimana kita sendiri memaknainya, bukan?

Setiap gurat senyum, cara Om membuat bunyi dari bibirnya yang sedikit memiring sambil berkata, "exactly!"—kadang dengan lengan terlipat di dada dan satu tangan lainnya yang menopang dagu, tiap humor yang keluar bersamaan dengan bahak kami, semua kehangatan yang membaur ketika Om bercerita kisah haru, raut seriusnya yang charming kala menjelaskan hal-hal 'berat' maupun 'tidak-dalam', segala... segala bentuk pemahaman yang berusaha Om sampaikan dengan bahasa manusiawi beserta bonus contoh hingga kami mengangguk-angguk (atau mungkin tetap melongo, entahlah). Untuk segalanya, lagi-lagi saya bersyukur, untuk dipertemukan dengan pengalaman seperti ini.
Oh ya, satu lagi, mata Om yang terpejam, larut dan hanyut di tiap pagi kami melagukan paritta—kadang saya suka mengintip... lalu diam-diam tersentuh. Terima kasih, Om. Terima kasih untuk semuanya, rentangan tangan dan pelukan hangat, nasehat yang pekat akan ide untuk menjadi lebih kreatif dan skillful, to do my personal best with multiple confidence, more compassionate, and of course, beneficial with an open heart!

senyum ini, seakan menjanjikan pertemuan, yang tidak perlu dinanti-nanti,
seakan membahasakan petualangan-petualangan yang sudah siap menanti,
lalu ketika waktunya tiba lagi,
kita semua bisa bersama-sama merayakan dalam berbagi.
dari lubuk terdasar, yang seringkali tersentuh dan terenyuh,
terima kasih banyak, Om Salim.


thank you, a lot, belabar 2014.
i learn a lot,
laugh a lot,
touched a lot,
reflect a lot.

"good is not always good, bad is not always bad."
Punya hati yang selalu terbuka, apapun yang terjadi,
dengan begitu tidak akan gentar menghadapi apapun,
dan mengerti bahwa segalanya indah seperti adanya.


photo courtesy : here
Welcoming you to read Belabar 2013 too, for more inspiration.

No comments: