Sunday, December 30, 2012

dear stranger

To : a stranger

Every time the rain bend down and kiss the soil where I stood
Your smell always bubbling up, tickling my nose
Driving my mind and soul
To remember all the little single moves that you created
Sending me shivering, longing to see you again
Do you still remember the first time our eyes met?
I did.
 I always did.

Hujan. 
Kopi yang mengepul. 
Laptop yang menyala.
 Cerita tentangmu masih mengayun-ayun di sela-sela jemari, menterjemahkan huruf-huruf yang menari di monitor. Aku tak mampu berkedip, menyaksikan betapa memori tentangmu masih bergelayutan di batas benak, yang lama kelamaan menjadi tidak wajar. 
Sulit melupakan wajahmu yang tersembunyi di balik payung yang disinari lampu jalanan temaram berwarna keemasan itu. 
saat kau sekejap berbalik dan rambutmu memantulkan cahaya keemasan itu…begitu mempesona. 
Lalu percikan air-air hujan yang bersemayam di payung kita masing-masing membuncah tinggi saat kita tidak sengaja bersinggungan.

Hujan yang mereda. 
Kopi yang mendingin. 
Laptop yang masih menyala.
Lalu, apa kabar dengan kita?
Kau hanya tersenyum sopan sambil berkata, “apa kabar” sementara aku mati-matian menahan lenganku untuk dilemparkan ke kedua bahumu yang kini terlihat semakin mendingin itu. aku ingin sekali melihat binar itu memancar kembali di wajahmu, layaknya saat kita pertama bertemu, berjuta-juta detik yang lalu. 
Saat kita tidak usah memakai dua payung saat hujan mendera begini. 
Saat kau bisa dengan lega berkata, “Untung ada kamu, ini adalah kebahagiaan yang patut disyukuri.” 
Saat aku muncul melindungimu dengan payung berwarna pelangiku dari tangan-tangan hujan yang hendak menjamah tubuhmu.

Hujan yang mengering. 
Kopi yang telah tandas. 
Laptop yang kini menutup.
“hujannya sudah reda nih, yuk gue antar pulang.”
Aku melempar senyum padamu yang kini sibuk bersiap-siap, mengumpulkan seluruh gadget mu yang dari tadi berserakan di meja kita. Semua raut wajahmu masih saja seperti dulu, kecuali sepasang mata yang tersimpan di balik bingkai hitam kacamatamu itu, tak lagi menyorotkan perasaan itu. matamu, tenang bagai telaga.
“I wanna have one more…” tenggorokanku tercekat. Alismu terangkat. “…cup of coffee. So, you go home first.”

Aku masih ingin mencecap sisa-sisa kenangan yang tak bersisa, tanpamu...

Dear stranger, 
how can you take care of me without loving me? 
Don’t help me to forget you with this way, 
we shouldn’t be friends, 
we should be strangers.

Dan gelas kopi yang lain datang, mengepulkan aromamu. 
Dan bagaimana caranya aku bisa melupakan seorang kamu yang terus menerus aku butuhkan? As…everything.
Semoga semua kafein yang kutenggak ini, perlahan bisa memberi jawaban.

Bip. 
another bip from you.

Take care. 
Go home before 7 ya, 
I’ll be there at 8, bringing books you want. 
See ya (:

another 'let's say it as a teaser' of my new writing.
this curiosity driving me to think, will it works to take someone you ever loved (and you still loving him) (and he ever loved you too) as a purely friend? since he is your everything.
and frankly said, i wanna join Bentangpustaka's writing competition again for this year. 
so, wish me luck.
this gonna be another sleepless night in front of my PC again. 
getting my emotions, feelings involved again.
*iket kepala*
jiayou!

No comments: